Mongabay.co.id

Citarum Harum, Simbol Keseimbangan Hidup Manusia dengan Alam

 

Keberadaan sungai bagi suatu daerah, merupakan hal penting dan strategis. Sungai bukan jalur transportasi semata, tetapi juga sumber kehidupan masyarakat sekaligus lambang kedaulatan.

Citarum adalah bukti nyata. Sungai terbesar dan terpanjang di Tanah Pasundan ini memiliki makna historis pada masyarakatnya. Pada Citarum melekat sejarah Kerajaan Tarumanagara, Galuh, dan Pasundan. Pada Citarum juga, jutaan orang khususnya di Jawa Barat, menggantungkan hidup mulai dari hulunya di Cisanti, Gunung Wayang hingga hilirnya di Muara Gembong.

Namun, seiring banyaknya mayarakat yang bergantung pada Citarum, semakin tinggi pula tingkat kerusakan yang terjadi. Apa masalahnya? Persoalan klasik sebenarnya.

Pertama, pencemaran sungai yang berasal dari rumah tangga atau warga sekitar Daerah Aliran Sungai [DAS] Citarum, membuat sungai ini dijadikan “pusat” segala aktivitas. Kedua, dunia industri yang cenderung mengabaikan instalasi pengolahan air limbah [IPAL] guna pengolahan limbahnya.

Ketiga, adanya kebijakan normalisasi sungai namun cenderung belum dilaksanakan sepenuh hati, tumpang tindih, sehingga terlihat indikasi inkonsistensi. Dampaknya, Citarum menjadi bak sampah besar bagi warga dan dunia industri namun di sisi lain berfungsi juga sebagai sumber PAD daerah, karena geliat ekonomi yang berlangsung di wilayah itu.

Sejak dipahami masalah klasik yang membelit Citarum, banyak program dan kegiatan dilakukan pemerintah. Keberhasilan terbesar saat ini yang terlihat adalah “beresnya” wilayah hulu di sekitar Cisanti, Gunung Wayang, yang dulunya sebagai tempat sampah terbuka. Kini, berubah menjadi wahana rekreasi. Tim dari Kodam III Siliwangi berperan pada upaya ini.

Hal besar yang harus dipikirkan adalah di Citarum terdapat ratusan industri mulai skala kecil, menengah, hingga besar yang memperkerjakan warga di sekitar alirannya. Ini tentunya berhubungan dengan sektor ekonomi dan kepentingan banyak pihak.

Baca: Memaknai Semangat Pancasila dalam Pemulihan Citarum

 

Warga berswafoto di Situ Cisanti, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Sebagai hulu Sungai Citarum, tempat ini juga dijadikan kawasan wisata. Foto: Donny Iqbal/ Mongabay Indonesia

 

Berdaulat

Hal menarik dan sesuai napasnya TNI adalah bagaimana memposisikan dan menjadikan masyarakat sekitar sebagai tuan rumah dan pemilik Citarum. Pemilik yang baik dan bertanggung jawab. Citarum menjadi kotor karena pemiliknya tak bertanggung jawab, tidak ada rasa memiliki. Inilah yang perlu dibangun, dan tugas TNI sebagai tentara rakyat membangkitkan kesadaran tersebut.

Dalam konteks lebih luas, dari sudut pandang bernegara, Citarum bukanlah sungai semata. Citarum melambangkan kekuatan sebuah negara, mengatur masalah-masalah yang membelit masyarakatnya.

Sebuah negara dikatakan berdaulat, apabila negara punya kekuatan dan kekuasaan untuk menciptakan kehidupan yang baik bagi rakyatnya. Kehidupan yang baik tentu saja ditentukan bagaimana menata manusia serta segala unsur yang ada di sekitarnya.

Citarum adalah sumber daya alam [SDA] potensial. Pertanyaannya, seberapa kuat komitmen pemerintah memposisikan Citarum sebagai SDA yang harus dikelola secara berkelanjutan? Inilah bukti kehadiran negara.

Baca juga: Mimpi Pulihkan Citarum, Berharap jadi Inspirasi bagi Pengelolaan Sungai Lain di Indonesia

 

Peninggalan arkeologi di Candi Bonjongmenje di Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Menurut catatan Badan Arkeologi Bandung, Candi Bojongmenje diperkirakan berasal dari peradaban Hindu abad ke-7 dan ke-8. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Penyelesaian Citarum melalui warga sekitar, bisa dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, bangun eksosistem yang menunjang dan berpengaruh terhadap kelestarian sungai. Ekosistem yang dimaksud adalah ekosistem fisik di sekitar sungai. Semua yang rusak, diperbaiki dan ditumbuhkan lagi, terutama sejumlah titik yang memungkinkan ditanami berbagai jenis vegetasi.

Ekosistem dapat juga diartikan hadirnya manusia dalam bagian ekosistem itu sendiri. Semakin banyak manusia yang terlibat, semakin kuat Citarum.

Kedua, tumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa Citarum adalah harta paling berharga. Secara positif, masyarakat harus diyakinkan bahwa menjaga Citarum akan berdampak baik pada kekuatan ekonomi dan kesejahteraan. Ini akan terhubung dengan aktivitas untuk memanfaatkan potensi Citarum tanpa harus merusak.

Selama ini, kemampuan masyarakat untuk menggerakkan sektor ekonomi sangat terbatas sehingga diperlukan stimulan-stimulan dari pihak luar. Stimulan bisa dalam bentuk teknologi terapan, pemasaran, atau inovasi bidang pertanian, yang semuanya diarahkan pada kondisi kenormalan baru. Sentuhan teknologi tentunya sangat penting dan protokol higienis produk harus dinomorsatukan. Semua itu, tidak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara konvensional, harus ke arah lebih maju.

Lahan-lahan yang selama ini diabaikan dan tidak produktif harus dimaksimalkan. Keterbatasan petani diatasi dengan kerja sama pihak luar. Sasaran akhir adalah, keterikatan erat petani dengan kondisi lingkungan yang ada.

Ketiga, bangun komunikasi lingkungan yang seimbang pada semua unsur di Citarum. Rusaknya Citarum salah satunya karena bergesernya makna Citarum di masyarakat. Pola komunikasi yang baik dan intensif dengan masyarakat diperlukan untuk menyelesaikan persoalan yang ada.

 

Candi Jiwa di komplek Situs Batujaya, Desa Segara, Kecamatan Batujaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat yang diperkirakan menjadi salah satu areal candi Buddha tertua di Nusantara. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Aspek sosial budaya dan tradisi masyarakat perlu dikedepankan, sembari memasukkan pesan pentingnya teknologi terapan ramah lingkungan agar kreativitas masyarakat muncul. Pesan terbaik adalah informasi yang sudah terbukti dan terlihat wujudnya, misal teknologi Bios 44 untuk menyuburkan lahan pertanian yang dapat disajikan ke warga.

Komunikasi yang dilakukan tentunya tidak lagi top down, tapi sirkuler dan lintas jaringan. Bisa diawali dari bawah, dari luar, atau perpaduannya.

Citarum adalah kedaulatan kita. Kita harus berdaulat pada SDA yang ada, memiliki kuasa untuk mengolahnya, dan punya tanggung jawab menjaganya.

Menjaga dan memelihara Citarum untuk ditata menjadi harum, merupakan simbol keseimbangan hidup manusia dengan alam. Siapa saja yang merusak dan tidak mendukung keseimbangan itu, kita lawan.

 

* Brigjen TNI Kunto Arief WibowoKasdam III SiliwangiTulisan ini opini penulis.

 

 

Exit mobile version