Mongabay.co.id

Penanganan Sawit Rakyat di Kawasan Hutan Masih Tak Jelas

Sawit ilegal terus ditebang, untuk dikembalikan fungsinya sebagai hutan di Kawasan Ekosistem Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pembenahan tata kelola persawitan masih panjang, termasuk sawit-sawit rakyat yang ada di dalam kawasan hutan. Hingga kini, penyelesaian masalah kebun sawit rakyat di kawasan hutan belum ada kejelasan. Padahal, legalitas lahan satu hal mendasar bagi petani agar produk dapat diterima pasar.

HICON Law & Policy Strategis dalam rilisnya, awal Agustus ini, mendorong pemerintah agar segera menyelesaikan permasalahan sawit rakyat dengan memasukkan sawit dalam definisi lahan garapan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden No.88/2017 soal Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.

“Kebijakan dan regulasi belum menjawab sengkarut pengelolaan sawit rakyat, hingga rakyat jadi subjek paling dirugikan dengan konflik sawit dalam kawasan hutan,” kata Hifdzil Alim, Direktur HICON Law & Policy Strategies.

Hifdzil menilai, tidak memasukkan frasa sawit dalam lahan garapan sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat 4 Perpres 88 tahun 2017 justru mengakibatkan akar masalah pengelolaan sawit tak terjawab.

Baca juga: Kajian UGM: 2,8 Juta Hektar Kebun Sawit di Kawasan Hutan, 65% Milik Pengusaha

“Pemerintah sebaiknya memperhatikan bagaimana implementasi instrumen hukum dan kebijakan yang dibuat dalam memastikan penyelesaian masalah sawit rakyat dengan menyasar langsung pada akar masalah,” kata eks Wakil Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM ini.

Padahal, dengan potensi sawit sebagai primadona perkebunan, katanya, pemerintah seharusnya memberi perhatian dalam menjawab akar masalah pengelolaan sawit.

HICON juga mengidentifikasi masalah krusial lain, yaitu pola penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan tanpa melihat biaya yang berpotensi muncul dalam penerapan pola penyelesaian itu.

“Contoh, ketika resettlement, apakah pemda mempunyai modal untuk menekan potensi konflik lahan? Atau ketika pemerintah menetapkan status kawasan hutan sebagai perhutanan sosial, apakah ada jaminan lahan dikelola dengan cara-cara berkelanjutan? Pertanyaan ini belum mampu dijawab Perpres 88/2017.”

HICON mencatat ada enam instrumen hukum dan kebijakan terbitan pemerintah selama ini, tetapi belum sepenuhnya memberikan ruang penyelesaian sawit rakyat dalam kawasan hutan.

 

Menandang hutan alam di Taman Nasional tesso Nilo, yang terbabat dan berubah menjadi kebun sawit, Minggu (12/11/17). Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Keenam kebijakan itu yakni, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/ 2016 tentang Perhutanan Sosial (PermenLHK P.83). Lalu, Peraturan Presiden No.88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Perpres 88/2017), Peraturan Presiden No.86/2018 tentang Reforma Agraria (Perpres 86/2018). Ada pula Instruksi Presiden No.8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit.

Baca juga: Menteri Lingkungan Bakal Evaluasi 2,3 Juta Hektar Kebun Sawit di Kawasan Hutan

Kebijakan lain, Instruksi Presiden No.6/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan 2019-2024 (Inpres 6/2019). Terakhir, Peraturan Presiden No.44/2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan (Perpres 44/2020).

Gusti Muhamad Hatta, Dewan Penasihat Yayasan Solidaridad Indonesia, menilai, konsep agroforestry atau kebun campur bisa jadi solusi masalah kebun sawit rakyat dalam kawasan hutan.

Indonesia menargetkan, penataan kembali perkebunan sawit melibatkan berbagai kementerian akan selesai pada 2024. Soal data pun tak seragam. Studi Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) dan CIFOR, terdapat beragam data total luasan perkebunan sawit di kawasan hutan, baik dari pemerintah maupun non pemerintah.

Data Direktorat Jenderal Perkebunan pada 2018 menyebutkan, total perkebunan sawit nasional 14,03 juta hektar, sekitar 2,5 juta hektar atau 21% terindikasi di kawasan hutan. Ia terdiri dari perkebunan perusahaan swasta/BUMN seluas 800.000 hektar dan perkebunan rakyat 1,7 juta hektar.

Berbeda dengan Ditjen Perkebunan, data Auriga Nusantara (2018) menyebutkan, luasan perkebunan sawit mencapai 16.829.282 hektar, sekitar 20,6% dalam kawasan hutan yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. Tidak hanya itu, dalam satu kesempatan, Presiden Joko Widodo menyebut terjadi tumpang tindih perkebunan dengan kawasan hutan 4.44 juta hektar di Kalimantan.

“Beragamnya data luasan perkebunan sawit ditengarai jadi salah satu penghambat dalam pembuatan kebijakan yang bersifat lintas sektoral,” kata Hatta.

 

 

Di Kalimantan Barat, Solidaridad dan pemerintah provinsi kerja sama dalam mengatasi perubahan iklim melalui program national initiative for sustainable and climate smart oil palm smallholders (NISCOPS) atau inisiatif pemerintah untuk petani sawit berkelanjutan dan ramah iklim.

Program NISCOPS ini mulai 2019-2023. Ada tujuh kabupaten di Kalbar akan mendapatkan intervensi program yang menekankan prinsip peningkatan kesejahteraan petani mandiri sawit dan aspek keberlanjutan lingkungan.

Tujuannya, perkebunan sawit tanpa deforestasi, dan perlindungan gambut serta mendorong strategi mitigasi untuk peningkatan cadangan karbon berbasis lahan, adaptasi perubahan iklim, dan perbaikan perikehidupan petani.

Baca juga: Menyoal Jutaan Hektar Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan

Solidaridad menyasar 25.000-an keluarga petani di Kalbar, meliputi 250,000 hektar area perkebunan dan pertanian.

“Sawit di kawasan hutan persoalan pelik. Kita tau keterlanjuran ini sudah terjadi cukup lama,” kata Jimmy Wilopo, Manager Program NISCOPS Solidaridad.

Ibarat pedagang kaki lima yang pakai ruang publik, katanya, pemerintah berhadapan pada pilihan-pilihan eksekusi bersifat persuasif.

Solusi persuasif seperti melalui perhutanan sosial, dan tindakan represif lewat penegakan hukum. Tentunya, pemerintah perlu menimbang dan segera mengambil keputusan dengan melihat tipologi. Juga sejauh mana keterlanjuran mengganggu fungsi lingkungan, ekonomi, dan sosial-budaya untuk mencegah keterlanjuran sawit di kawasan hutan terjadi lebih luas dan makin menahun.

“Persoalan keterlanjuran ini macam-macam, ada yang karena perubahan status lahan padahal sebelumnya sudah ada pekebun sawit. Ada yang memang ilegal perambahan. Jadi, perlu dipilah-pilah dulu, baru dicarikan solusi sesuai persoalan.”

Solidaridad pun membangun diskusi dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalbar. Melalui pertemuan itu dia berharap, dapat menemukan langkah-langkah inovatif dalam menyelesaikan keterlanjuran sawit rakyat di kawasan hutan dengan seoptimal mungkin.

HICON pun nyatakan hal serupa. penyelesaian kebun sawit di kawasan hutan, misal, sawit diganti dalam jangka waktu daur ulang atau menerapkan kebun campur (agroforestry).

 

Panen sawit. Petani kecil usai panen, memuat sawit ke truk untuk dibawa ke pabrik. Sawit, baik punya rakyat maupun perusahaan masih menghadapi masalah, antara lain kebun-kebun yang berada di kawasan hutan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Perlu kehati-hatian

Adi Yani, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalbar mengatakan, upaya mitigasi mengatasi masalah sawit dalam hutan, salah satu dengan skema program tanah objek reforma agraria (tora). “Perlu telaah serta prinsip kehati-hatian dalam pendataan. Kepemilikan sawit rakyat, luasan lahan pasti tidak besar. Kalau besar, ini bisa jadi punya korporasi,” katanya.

Untuk masuk ke program tora, katanya,  terkendala aturan. Dalam program tora, katanya, kebun sawit tak masuk sebagai lahan garapan, pekebun sawit tak termasuk sebagai subjek penerima tora. Selain itu, sebagian besar kebun sawit di kawasan hutan berumur di bawah 20 tahun, dan tak masuk Peta Indikatif Tora.

Kalau gunakan skema perhutanan sosial, lahan sawit dengan umur di bawah tiga harus tahun harus musnah, usia lebih tiga tahun, boleh sampai 12 tahun dengan syarat menanam pohon berkayu minimal 100 pohon per hektar di antara tanaman sawit itu.

“Masalahnya, usia sawit di atas lima tahun itu usia produktif. Petani tentu berpikir lagi untuk memusnahkan,” katanya.

Opsi terakhir, dengan penegakan hukum, yang pasti menimbulkan konflik sosial.

Dinas LHK dan Kuasa Pengelolaan Hutan di Kalbar, tengah pendataan ulang. Pendataan ini untuk mengetahui lokasi dan luasan area, serta kondisi lahan itu.

Kalau mau jujur, katanya, penyebab deforestasi di Kalbar karena alih fungsi hutan untuk perkebunan, tanaman kehutanan serta pertambangan.

Dia berharap, keberadaan KPH menjadi ujung tombak pengelolaan kawasan hutan. Masyarakat di sekitar kawasan hutan, katanya, harus menerima manfaat dengan keberadaan hutan buat penghidupan mereka.

 

Keterangan foto utama:  Sawit ilegal terus ditebang, untuk dikembalikan fungsinya sebagai hutan di Kawasan Ekosistem Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Hutan berubah jadi kebun sawit di Sare Rangan, Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Pilkada korup memicu izin-izin konsesi lahan keluar sebagai modal kampanye politik. Foto: Sandy Watt untuk The Gecko Project.

 

Exit mobile version