Mongabay.co.id

Merajut dan Melestarikan Kebhinekaan Sungai Musi

Setiap perahu berisi lima pendayung anak atau remaja. Mereka calon pendayung perahu bidar dewasa. Foto: Yudi Semai

 

Sumatera Selatan yang luasnya sekitar 9,15 juta hektar, didiami penduduk kurang lebih 7,4 juta jiwa, memiliki topografi perbukitan atau dataran tinggi, dataran rendah, dan pesisir.

Sungai merupakan penghubung tiga topografi tersebut. Semua sungai di Sumatera Selatan berhulu di Bukit Barisan, dan bermuara ke Sungai Musi, sebelum ke Selat Bangka [Pesisir Timur Sumatera].

Delapan sungai besar bermuara di Sungai Musi, yakni Sungai Rawas, Sungai Lakitan, Sungai Kelingi, Sungai Lematang, Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Semangus, dan Batang Hari Leko. Keberadaan sungai tersebut membuat Sumatera Selatan dikenal sebagai “Negeri Batanghari Sembilan”.

Di tepi Sungai Ogan, tepatnya di Padang Bindu [Kabupaten Ogan Komering Ulu], sampai saat ini dipercaya sebagai permukiman awal manusia purba [arkeologi] di Sumatera. Diperkirakan, sekitar 22.000 Sebelum Masehi atau setelah terbentuknya Danau Ranau, akibat gempa bumi dan letusan gunung berapi purba sekitar 55.000 tahun lalu.

Sungai Ogan bermuara di Bukit Nanti wilayah Bukit Barisan, sementara Danau Ranau alirannya membentuk Sungai Komering yang bermuara ke Sungai Musi. Posisi hulu Sungai Ogan dan Sungai Komering masih satu lanskap.

Baca: Rumahku Tidak Mampu Meninggalkan Sungai Musi

 

Perahu bidar merupakan tradisi masyarakat di sepanjang Sungai Musi. Tradisi ini diperlombakan saat perayaan Hari Jadi Kota Palembang [17 Juni] dan Hari Kemerdekaan Indonesia [17 Agustus]. Setiap perahu berisi lima pendayung anak atau remaja. Foto: Yudi Semai

 

Sekitar 2.000 – 3.000 tahun lalu, peradaban megalitikum Pasemah di hulu Sungai Lematang dan Rawas berkembang, tepatnya di sekitar Gunung Dempo dan Bukit Barisan Seblat. Saat ini, peninggalan artefak jejak peradaban megalitikum tersebut ditemukan atau tersebar di Kabupaten Lahat, Pagaralam, dan Musirawas.

Di masa awal masehi, sekitar abad ke-5 hingga ke-6, berdiri Kerajaan Kandali [Kantoli] di Palembang dan sekitar. Kerajaan ini memanfaatkan Sungai Musi dan sejumlah anak sungainya. Kerajaan Kandali diperkirakan dibentuk suku laut atau manusia yang menetap di wilayah pesisir timur Sumatera.

Pada awal abad ke-7, Kerajaan Melayu sempat menguasai Palembang. Beberapa tahun kemudian, pada 682 Masehi, berdiri Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang. Kerajaan ini menguasai hampir seluruh Sumatera selama lima abad.

Setelah Sriwijaya runtuh, Palembang dan sekitarnya dikuasai Kerajaan Chola. Selanjutnya Majapahit, Demak, dan terakhir VOC [Belanda].

Semua kekuasaan ini berkembang berdasarkan peradaban air atau memanfaatkan keberadaan Sungai Musi dan sungai besar lainnya di Sumatera Selatan.

Baca juga: Perahu Bidar dan Tradisi Masyarakat di Sepanjang Sungai Musi

 

Rumah-rumah panggung yang berdiri di pinggiran Sungai Musi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan uraian sekilas sejarah kekuasaan tersebut, kami melihat sungai merupakan sumber peradaban manusia di Sumatera Selatan hingga hari ini. Sungai Musi menjadi pelebur berbagai etnis dan budaya yang datang dan menetap di Palembang [Sumatera Selatan], melahirkan kebudayaan baru. Kebudayaan yang egaliter dan terbuka, yang mewarnai kebudayaan bahari di Nusantara.

Berbagai produk hasil peleburan budaya yang masih terbaca hingga saat ini adalah kuliner [pempek], teknologi perahu, kain songket, rumah panggung [rumah limas], tarian, musik, bahasa dan sastra, seni pertunjukan, dan lainnya. Selain itu, di Palembang juga berkembang berbagai ajaran agama atau kepercayaan, yang hingga saat ini belum tercatat konflik terbuka terkait agama atau kepercayaan tersebut.

Tradisi yang berkembang pada masyarakat di tepian Sungai Musi umumnya bersifat komunal atau tidak individual. Semua kesenian itu melibatkan banyak orang, interaktif: baik musik, tari, maupun sandiwara [teater dan wayang].

Namun peleburan budaya ini berpijak pada etika atau nilai yang sudah berkembang sejak masa peradaban megalitikum atau Kedatuan Sriwijaya, yang menyatakan semua makhluk hidup berkedudukan sama di alam semesta. Ini terbaca dari berbagai artefak megalitikum dan Prasasti Talang Tuwo. Nilai tersebut yakni manusia harus hidup harmonis dengan makhluk hidup lainnya di alam semesta.

Jejak kesadaran itu, terbaca dalam sejumlah ujaran sehari-hari wong Palembang atau Sumatera Selatan pada saat ini, seperti, “jangan lemak dewek [jangan enak sendiri]” atau “jangan nyaroke wong banyak [jangan merugikan orang banyak]”.

 

 

Persoalan utama 

Ada tiga persoalan yang dialami Sungai Musi dan komunitas manusia yang bermukim di sekitarnya, saat ini.

Pertama, kondisi Sungai Musi sekarang cukup memprihatinkan, selain pendangkalan, abrasi, airnya juga mulai dipenuhi limbah. Berbagai faktor menyebabkan kerusakan tersebut, seperti aktivitas perkebunan dan pertambangan di hulunya, juga industri seperti pabrik pengolahan karet, pupuk, perkapalan, serta limbah perkotaan [rumah tangga, pertokoan, hotel, rumah sakit, mall, dan lainnya].

Anak Sungai Musi, banyak yang rusak atau dipenuhi sampah [Sungai Musi kehilangan 221 anaknya]. Saat ini, Sungai Musi pun menjadi jalur transportasi angkutan batubara dari wilayah huluan dengan menggunakan kapal tongkang.

Kondisi buruk ini membuat sebagian masyarakat yang hidup di tepian Sungai Musi tidak lagi memanfaatkannya sebagai sentra kehidupan sehari-hari. Hanya sebagian yang tetap menggunakannya sebagai sarana transportasi. Bahkan, sebagian perilaku mereka menjadikan Sungai Musi dan anaknya ibarat bak sampah atau tempat pembuangan limbah.

Kedua, booming kendaraan bermotor serta pembangunan yang cenderung ke wilayah daratan, menyebabkan masyarakat di tepian Sungai Musi kian menjauh dari aktivitas di sekitar sungai terpanjang di Sumatera Selatan [750 kilometer] tersebut. Bahkan, banyak jembatan yang dibangun melintasi anak Sungai Musi bentuknya tidak melengkung atau sejajar, sehingga perahu tidak dapat dapat melaju di sungai.

Melihat anak Sungai Musi yang tidak lagi berfungsi, sejumlah warga kemudian menimbun tepian sungai tersebut untuk dijadikan lahan bangunan. Bahkan, huluannya seperti rawa ditimbun sebagai lokasi rumah atau perumahan.

Ketiga, akibat perubahan Sungai Musi dan lanskap permukiman sekitarnya, serta perubahan tradisi transportasi [dari air ke darat], memengaruhi pula budaya masyarakatnya. Komunikasi antarkelompok masyarakat mulai menurun.

Akibatnya, berbagai tradisi seperti kesenian komunal mulai ditinggalkan atau jarang ditampilkan. Sebut saja, bedana, bezapin, saropal anam, rodat, bangsawan, abdul muluk, juga wayang Palembang. Pengajian dan sedekah cenderung hanya melibatkan kelompok masyarakat atau keluarga. Tidak heran, fenomena sosial hari ini menunjukkan sering terjadi tawuran atau konflik pemuda antarkampung.

 

Jembatan Ampera, Sungai Musi, dan permukiman masyarakat Palembang yang diselimuti kabut asap akibat karhutla pada Kamis [24/10/2019] lalu. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Seni tari sebagai perajut

Dengan kondisi tersebut perlu dilakukan upaya merajut dan melestarikan nilai-nilai kebhinekaan di Sumatera Selatan dengan melestarikan Sungai Musi. Misalnya melalui karya seni, khususnya seni tari.

Mengapa seni tari? Pertama, seni tari merupakan seni komunal yang tidak membatasi usia, jenis kelamin, etnis, ideologi, maupun kepercayaan. Artinya, seni tari dapat menjadi media komunikasi sesama komunitas maupun antarkomunitas.

Kedua, banyak karya tari merupakan respon atau penanda hubungan manusia dengan lingkungan dan alam semesta. Banyak gerakan tari belajar dari gerakan sejumlah flora dan fauna, atau bahkan bentang alam.

Ketiga, dalam sejarahnya, seni tari banyak melibatkan kaum perempuan. Pada kebudayaan tertentu, perempuan ningrat atau terpelajar diwajibkan pandai menari.

Melihat tiga hal itu, sangat mungkin seni tari dan kaum perempuan menjadi “perajut” nilai-nilai kebhinekaan melalui pelestarian Sungai Musi di Palembang.

 

Kapal Kerajaan Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terukir di Candi Borobudur. Sumber: Wikipedia Commons/MichaelJ Lowe/Atribusi-Berbagi 2.5 Generik

 

Dalil lain.

Pertama, dalam sejarah masyarakat Palembang dikenal tokoh perempuan bernama Ratu Sinuhun. Dia menulis kitab undang-undang adat Simbur Cahaya. Dalam kitab itu, istri Pangeran Sido Ing Kenayan yang memimpin Palembang dari 1636-1642 Masehi, menggunakan pranata hukum dan kelembagaan adat masyarakat di Palembang yang sebagian besar hidup di tepian sungai.

Ini menandakan, meskipun masyarakat yang menetap di Sungai Musi umumnya mengenal budaya patriarki, namun perempuan juga memiliki hak dan peran dalam menata kehidupan sosial atau komunitasnya.

Kedua, sejak dahulu kaum perempuan lebih banyak terlibat dengan aktivitas di sekitar Sungai Musi. Baik rumah tangga, ekonomi, maupun lainnya.

Ketiga, dalam kehidupan sehari-hari, kaum perempuan lebih mampu membangun komunikasi atau menggalang solidaritas terhadap apa yang mereka yakini.

Beranjak dari gambaran yang ada, pelibatan perempuan dalam merajut dan melestarikan nilai-nilai kebhinekaan dan kelestarian Sungai Musi sangat pantas dilakukan. Sungai Musi lestari, manusia hidup bahagia.

 

* Sonia Anisah Utami, koreografer dan akademisi Universitas PGRI Palembang.

** Taufik Wijaya, jurnalis, penyair dan pekerja seni di komunitas Teater Potlot. Menetap di Palembang, Sumatera Selatan.

Artikel ini opini penulis.

 

 

Exit mobile version