Mongabay.co.id

Usulan Rumah Kolaborasi Agar Perhutanan Sosial di Sulsel Dapat Dukungan Semua Pihak

 

Amin membongkar sebuah kardus. Di dalamnya terdapat seratusan bibit porang beragam ukuran yang siap tanam. Tren budidaya porang sudah menjalar kemana-mana, dipicu oleh berbagai publikasi harganya yang meroket. Budidaya dan pemasarannya relatif mudah dan hanya butuh lokasi tanam yang kondusif.

Amin adalah salah seorang anggota kelompok HKm Sipatuo 2 yang berlokasi di Desa Mattirotasi, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Kelompok HKm ini berada dalam binaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bila yang menjadi pemangku kawasan hutan seluas kurang lebih 73 ribu hektar di dua daerah, yaitu Kabupaten Sidrap dan Kota Parepare.

Porang sendiri menjadi salah satu target tanaman kelompok ini setelah sukses dengan tanaman mete dan budidaya sapi. Amin menilai potensi porang cukup besar dan telah ada bukti bisa dibudidayakan di lokasi HKm yang dikelolanya.

“Sudah pernah ada hasilnya, sekarang mau ditanam lebih banyak lagi,” tambahnya optimis.

Optimisme Amin disambut baik Haudec Herrawan, Kepala KPH Bila. Apalagi kelompok ini telah membuktikan diri dengan budidaya mete, yang hasilnya telah dinikmati anggota kelompok beberapa tahun terakhir. Belum lagi peternakan sapi yang dikelola secara komunal, yang telah memberi hasil dan kesadaran baru bagi masyarakat terkait manfaat berkelompok.

Menurut Haudec, kehadiran tanaman porang sebagai komoditas baru harus didukung karena memberi keberagaman tanaman yang bisa dikelola dalam kawasan hutan. Harapannya agar bisa menjadi sumber pangan dan sumber ekonomi baru bagi masyarakat.

“Kami berharap hutan bisa berkontribusi terhadap pangan. Bagaimana hutan tetap terjaga tetapi juga bisa menghasilkan. Misalnya tanaman porang yang bisa dimakan. Bisa juga produk  lain seperti jahe, aren, kunyit dan madu hutan.”

Pelan-pelan, jelasnya, masyarakat dialihkan untuk tidak lagi memikirkan produk kayu yang beresiko sementara mereka bisa mengambil hasil dari produk lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip kelestarian hutan.

Haudec mengakui selama ini aktif melakukan komunikasi dengan kelompok, tidak hanya untuk monitor pelaksanaan kegiatan tetapi juga menggali aspirasi kebutuhan masyarakat.

“Biasanya kami tanya bagaimana perkembangan sampai dengan 3 bulan terakhir ini. Apa kendala-kendala yang terjadi dan kemudian apa sih progres-progres yang dilakukan,” lanjutnya.

Menurut Haudec, meskipun sejumlah kelompok memiliki tingkat kemajua yang baik namun menjadi salah satu tantangan yang dihadapi adalah kurangnya pendokumentasian dan lemahnya penataan administrasi kelompok.

Banyak capaian-capaian positif yang belum optimal pendokumentasiannya sehingga menjadi kendala ketika ada kunjungan dari pemerintah pusat.

“Kami sampaikan ke kelompok pentingnya administrasi yang teratur dan rapi. Pihak pusat kalau berkunjung ke sebuah kelompok biasanya memeriksa pendokumentasian kelompok, termasuk perencanaan, struktur organisasi, pencatatan keuangan, capaian-capaian yang telah dilakukan kelompok dan lain-lain, sebagai indikator keaktifan dan progres capaian kinerja kelompok.”

Baca juga: Kisah Sipatuo-2 Kelompok  Tani HKm yang Sukses Kembangkan Mete dan Sapi

 

Monitoring dan pemantauan yang dilakukan oleh KPH Bila. Foto: KPH Bila.

 

Gagasan Rumah Kolaborasi

Menurut Haudec, untuk mengoptimalkan pengelolaan perhutanan sosial sangat penting terjalin sinergitas dan harmonisasi dari berbagai pemangku kepentingan, dia mengusulkan perlunya dibentuk institusi nonformal yang disebut Rumah Kolaborasi Perhutanan Sosial (RKPS).

“Kenapa rumah kolaborasi ini penting, karena perhutanan sosial saat ini sudah harus menjadi perhatian bersama seluruh stakeholders. Kita berharap ada sinergitas untuk dapat lebih mendukung dan saling melengkapi dalam upaya pencapaian tujuan perhutanan sosial,” katanya.

Menurutnya, dengan adanya RKPS ini, instansi lain melihat ada titik temu dengan instansi kehutanan, begitupun dalam hal tanggung jawab pengelolaan hutan dan kawasan sekitarnya harus menjadi tanggung jawab bersama.

“Kalau dikerja bersama maka akan ada tanggung jawab bersama. Bukan hanya kawasan hutan yang harus dijaga, namun di luar kawasan hutan juga harus dijaga dan terkelola dengan baik. Kita berharap hal ini dapat lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan menjadi tanggung jawab semua pihak.”

Dengan RKPS ini, lanjut Haudec, di satu sisi dapat mengajak berbagai pihak bicara dari hati ke hati dan menghilangkan ego sektoral sehingga bisa terjalin harmonisasi yang lebih baik.

“Kami berharap ini gaungnya bisa ke pusat, KLH dan kementerian lain bisa berkolaborasi dan bersinergi dalam mengusung program perhutanan sosial yang benar-benar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengedepankan kelestarian hutan. Kalau ada program dari pusat kita di tingkat provinsi dan kabupaten juga bisa lebih terarah dan berkoordinasi secara bersama untuk menyukseskan program tersebut.”

Melalui RKPS ini Haudec berharap keseimbangan ekonomi, ekologi, dan sosial budaya masyarakat dapat terwujud. Orientasi program pun bisa berkelanjutan dengan mengedepankan kelestarian hutan.

Baca juga: Hutan Adat Marena: Kearifan Lokal yang Dapat Pengakuan Negara

 

Setelah mete, kelompok HKm Sipatuo 2 di Sidrap mencoba budidaya porang. Inisiatif ini mendapat perhatian dan dukungan KPH Bila. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Tantangan dan prospek Perhutanan Sosial

Haudec mengemukakan bahwa perhutanan sosial memiliki tantangan tersendiri. Salah satunya belum sinerginya kebijakan-kebijakan antara sektor kehutanan dan sektor lainnya, agar lebih mendukung secara riil peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan.

Tantangan lainnya adalah ego sektoral instansi dalam menjalankan program yang terkadang merasa paling paham tanpa melihat kondisi di lapangan dan aspirasi dari masyarakat.

“Kebijakan yang bersinergi itu harus memahami kondisi baik sumber daya masyarakat sendiri, daya dukung lahan, kearifan lokal masyarakat serta bagaimana hasil dari produk kehutanan tersebut dapat memiliki maksimal yang didukung oleh pemasaran yang baik dan berkelanjutan.”

Masalah lain adanya keterbatasan sumber daya tenaga penyuluh atau pendamping, sehingga diharapkan adanya peningkatan kapasitas kepada penyuluh kehutanan dan pendamping perhutanan sosial yang akan mendukung perhutanan tersebut.

“Tak kalah pentingnya adalah setiap areal perhutanan sosial harus memiliki basis data dan informasi yang bena-benar menggambarkan kondisi sosial ekonomi, budaya dan ekologi masyarakat, dan terukur.

Selain itu, kelompok-kelompok harus juga diperkuat dengan pelatihan-pelatihan, tidak hanya masalah teknis tetapi juga bagaimana mengambangkan jejaring pasar untuk lebih meningkatkan akses pemasaran dari asil produk perhutanan mereka.”

Untuk program ke depan, Haudec berharap seluruh pihak harus duduk bersama, lintas sektoral harus koordinasi dan sinkronisasi baik saat perencanaan, implementasi dan betul-betul melakukan monitoring dan evaluasi terhadap program yang telah dilaksanakan di lapangan.

“Ke depannya masyarakat harus difasilitasi membangun ekonomi kreatif sehingga tidak tepaku pada satu produk saja namun juga produk-produk lain yang bisa menopang ekonominya dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip kelestarian hutan.”

 

***

Foto utama: Selain untuk budidaya jambu mete, kawasan hutan juga digunakan untuk tempat gembalaan sapi oleh kelompok tani HKm Sipatuo-2. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

 

Exit mobile version