Mongabay.co.id

Koalisi Masyarakat Bengkulu: Omnibus Law Tidak Memihak Lingkungan

 

 

Koalisi Masyarakat Bengkulu menggelar aksi penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, di Simpang Lima Kota Bengkulu, Selasa [08/9/2020] sore pukul 15.00 WIB.

Koordinator aksi koalisi, Uli Arta Siagian mengatakan, kehadiran aturan tersebut hanya akan meningkatkan eskalasi konflik agraria di Bengkulu. Sebab, dalam rancangannya tidak memihak kelestarian lingkungan dan kemaslahatan kaum buruh, petani, jurnalis maupun masyarakat cilik. Pihak yang diuntungkan adalah korporasi.

Uli memberikan contoh poin-poin yang akan berpihak kepada korporasi dalam draf RUU Omnibus Law, yaitu Pasal 24 sampai 29. Pasal ini membahas soal amdal dan izin lingkungan. Izin lingkungan jadi bagian izin usaha, sedangkan amdal bukan lagi menjadi prasyarat, tapi cuma faktor mempertimbangkan.

“Padahal sebelumnya amdal dan izin lingkungan menjadi syarat izin usaha. Bahkan tanpa amdal, izin lingkungan tak bisa terbit. Fakta ini menunjukkan kualitas yang menurun,” katanya.

Koalisi juga menilai, RUU terlalu memihak pelaku usaha minerba [mineral batubara]. Pasal 40 tentang Ketentuan Undang-Undang Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2009, juga pada Pasal 83 poin H yang berisi jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus batubara, dalam undang-undang ini diberikan selama 30 tahun, lalu dapat diperpanjang setiap 10 tahun hingga seumur hidup.

“Hal ini menjadi kabar baik bagi pelaku pertambangan,” terangnya.

Aturan baru tersebut, kata Uli, sangat merugikan masyarakat Bengkulu. Sebab, potensi batubara Bengkulu berada di kawasan hulu di bentang Bukit Barisan yang saat ini masih menjadi kawasan hutan.

“Dengan mudahnya izin pertambangan, Bengkulu akan terancam pembongkaran hutan. Hal ini akan menimbulkan bencana ekologis, misalnya banjir dan longsor,” paparnya.

Baca: Bisa Celakakan Lingkungan, Banyak Kalangan Protes RUU Omnibus Law

 

Koalisi Masyarakat Bengkulu menolak adanya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Selasa, 8 September 2020. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Dalam draf RUU itu pemerintah tidak lagi mewajibkan mempertahankan luasan kawasan hutan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai [DAS] dan/atau pulau dengan sebaran proporsional. Ketentuan ini setelah pasal 18, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dihapus dalam RUU Omnibus Law.

“Bila tambang semakin banyak di hulu dan DAS kian terbuka, bencana banjir besar seperti pada April 2019 berpotensi terjadi lagi di Bengkulu,” kata dia.

Uli juga menjelaskan, RUU Omnibus Law juga akan meminggirkan masyarakat adat dari wilayahnya. Data Genesis Bengkulu menunjukkan, saat ini ada 312 desa yang tumpang tindih dengan izin usaha pertambangan dan hak guna perkebunan. “Adanya Omnibus Law, konflik akan terus mengancam dan menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja.”

Baca: Riuhnya Serikat Petani Perempuan Jawa Bali Rapat Akbar Daring Menolak Omnibus Law

 

Kehadiran RUU Omnibus Law Cipta Kerja dianggap akan meningkatkan eskalasi konflik agraria di Bengkulu. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Penolakan dari buruh dan mahasiswa

Aksi demonstrasi juga dihadiri Federasi Serikat Buruh Karya Utama [FSBKU] Bengkulu. Mereka menyuarakan penolakan karena dinilai sangat merugikan kaum buruh. Begitu juga para mahasiswa Bengkulu yang turut menyorot RUU ini karena tidak berpihak pada pekerja.

Abdullah, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu mengatakan, isi RUU Omnibus Law merugikan karena menghapus ketentuan upah minimum di kabupaten/kota, dan juga dapat menurunkan pesangon.

RUU ini juga mengubah ketentuan cuti khusus atau izin yang tercantum dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 59 tentang Ketenagakerjaan.

Aturan tersebut memberikan ruang bagi pengusaha mengontrak seorang pekerja atau buruh tanpa batas waktu. “Kita tolak agar pemerintah lebih peduli pada pekerja,” tutur Abdul.

Baca: Nasib Nelayan Kecil dalam Ancaman RUU Omnibus Law

 

Lubang tambang batubara di wilayah DAS Air Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Foto: Dok. Genesis

 

Penolakan jurnalis

Ketua Aliansi Jurnalis Independen [AJI] Bengkulu, Harry Siswoyo, menjelaskan omnibus law berpotensi menjadi masalah praktik jurnalisme di Indonesia, terutama di daerah seperti Bengkulu. Sebab, UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers telah direvisi, seperti Pasal 11 dan 18.

Pasal 11 sebelumnya berisi penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Namun kini direvisi menjadi pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

Sedangkan Pasal 18 UU Pers yang sebelumnya berisi, pertama setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah. Kini diubah menjadi pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak dua miliar Rupiah.

Kedua, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2, serta Pasal 13 dipidana denda paling banyak lima ratus juta Rupiah. Diubah menjadi pidana denda paling banyak dua miliar Rupiah.

Ketiga, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat 2 dan Pasal 12 dipidana denda paling banyak seratus juta Rupiah. Diubah menjadi dikenai sanksi administratif.

Keempat, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

“Perubahan pasal 18 jelas melanggar semangat UU Pers yang mengatur bahwa sangketa pers lebih didorong pada upaya korektif dan edukasi, namun kini direvisi untuk membangkrutkan perusahaan pers,” kata Harry.

Padahal, perusahaan pers di Bengkulu tidak memiliki modal besar untuk ganti rugi sesuai UU hasil revisi omnibus law. “Permasalah akan semakin banyak bila RUU ini disahkan,”tegasnya.

Baca juga: Omnibus Law dalam Teropong Persoalan Ekologis

 

Tambang batubara terbuka di hulu Sungai Bengkulu. Foto: Dok. Genesis

 

Ditargetkan Oktober

Rancangan Undang-Undang Omnibus Law ditargetkan selesai awal Oktober 2020. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal [BKPM] Bahlil Lahadalia mengatakan, pembahasannya tengah digarap Badan Legislasi [Baleg] Dewan Perwakilan Rakyat [DPRI RI].

“Harapannya cepat selesai, kalau bisa awal Oktober lebih baik,” kata Bahlil, Selasa [08/9/2020], dikutip dari medcom.id.

Menurut dia, dengan disahkan RUU ini investasi dalam negeri akan terus tumbuh, sehingga membantu meningkatkan kualitas kinerja BKPM. Juga, memangkas birokrasi berbelit, “Memberikan kepastian dunia usaha, serta memperkuat UMKM,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version