Mongabay.co.id

Dampak Pandemi di Pesisir Makassar : Dari Penggantian Wali Kota hingga Belitan ‘Patron Client’ Perikanan  [Bagian 1]

 

Ibarat puting beliung, pandemi COVID-19 meluluhlantakkan tatanan sosial, ekonomi dan lingkungan di desa, kota, pesisir dan pulau-pulau, termasuk di Sulawesi Selatan. Di Makassar, pandemi berdampak pada rasa tak percaya lagi Gubernur Sulawesi Selatan pada penanganan COVID-19 dan mengganti Pejabat Wali Kota Makassar.

“Kita butuh strong leader yang bisa merangkul semua elemen masyarakat yang bisa mengendalikan pemerintahan, untuk mengendalikan COVID-19 di Sulsel.” Begitu alasan Gubernur. Tak sampai dua bulan menjabat, Pj Wali Kota yang dijabat Prof Yusran Yusuf, sahabatnya, di penghujung Juni 2020. Yusran berhenti, seperti lakon drama sinetron yang berganti dalam hitungan menit.

Pemerintah Sulawesi Selatan harus mengamankan warganya, dari puncak gunung, pelosok pedalaman, hingga pulau-pulau yang mencapai 300-an itu.

 

Ekonomi Terpukul

Kadis Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulawesi Selatan, Sulkaf S. Latief saat menjadi pembicara webinar yang digelar Mongabay Indonesia, Jumat (17/7/2020) terkait dampak pandemi COVID-19 terhadap masyarakat pesisir dan pulau-pulau mengakui warga pulau adalah kelompok yang sangat terdampak COVID-19 ini.

“Di Makassar, restoran banyak yang tutup, padahal dari restoran inilah masyarakat nelayan bisa mendapatkan harga yang bagus. Ikan-ikan dijual ke sana. Rumput laut pun harganya turun, hanya udang yang bertahan,” katanya,

“Dampaknya bisa dirasakan nelayan dan pengusaha apalagi sejak ditutupnya akses masuk ke wilayah kota atau sebaliknya. Kami di dinas, tidak ada anggaran khusus, kami bekerja sama dengan swasta dan pemda,” bebernya.

baca : Terdampak COVID-19, Nelayan Harus Diberi Perhatian Khusus

 

Nelayan adalah salah satu kelompok masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19, di sisi lain peran mereka penting dalam rangka produksi kebutuhan pangan masyarakat. Perlu intervensi khusus untuk mereka. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Laporan lalulintas perikanan ekspor dari Kota Makassar semester I tahun 2019 oleh Balai Besar Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Makassar menyebutkan volume komoditi perikanan mencapai 44 ton dengan total nilai komoditi mencapai 2,4 triliun.

“Ada lima komoditi teratas yaitu, rumput laut 79%, lalu karagenan 6%, udang vanamei 3%, tuna 2% dan gurita 1%. Komoditi campuran – seperti aneka ikan karang, pelagis hingga kekerangan – lainnya mencapai 9%,” sebut Sitti Chadijah, kepala BKIPM KKP Makassar saat dihubungi, Rabu (19/8/2020).

“Pada semester yang sama pada tahun 2020, komposisi dan jumlahnya berubah atau turun,” imbuhnya.

Dari data yang disediakan BKIPM Makassar nampak bahwa rumput laut masih dominan hingga 75,9%, lalu karaginan 8,7%, vanamei 5,5%, gurita 1,8% dan tuna 1,7%. Total komoditi 65 ton dengan nilai Rp2,36 triliun dan komoditi lain, 7% atau turun sekitar 2% dimana tahun lalu terdapat 6.683, 453 ton senilai Rp 627,1 miliar menjadi 4.586,64 ton senilai Rp489,06 miliar.

baca juga : Menggali Potensi Ekonomi di Kepulauan Makassar dan Pangkep Saat Pandemi

 

Lalulintas komoditas hasil perikanan ekspor melalui BKIPM Makassar pada semester 1 tahun 2020. Sumber : BKIPM Makassar

 

Curhat pengusaha

Ray Suryadi, anggota DPRD Kota Makassar yang juga eksportir hasil laut berbagi pandangan atas pandemi dan dampaknya bagi masyarakat pesisir. Anggota Komisi A, dari Fraksi Partai Demokrat ini adalah Direktur PT Artibuana Lautan Indoneia dan PT Makassar Singapore Fishery.

“Sebagaimana kita tahu mata rantai perikanan ini sudah jelas, nelayan dibiayai papalele, punggawa, dari nelayan ke suplier, lalu memberikan hasil produk perikanan ke eksportir, itu mata rantainya,” jelas Ray. Papalele atau punggawa bersama sawi adalah bagian dalam sistem patron client bisnis dan sosial di pesisir Makassar.

“Perekonomian kita tidak lagi berjalan normal. Tidak semua pemodal punya kekuatan finansial, jadi banyak juga yang terpukul. Artinya apa, tidak semua nelayan dapat modal lagi untuk melakukan kegiatan perikanan,” sebut Ray.

Dia ke Pulau Barrang Lompo, ke Pelelangan Ikan Paotere atau di Pangkalan Pendaratan Ikan Paotere terkait dampak pandemi ini.  “Kita tahu sendiri relasi antara nelayan dan pengusaha (papalele atau punggawa) pada semua aspek keuangan. Semua terdampak, dari proses usaha penangkapan ikan hingga pemasaran,” jelasnya.

“Jika nelayan ke punggawa, punggawa ke supplier, lalu ke eksportir. Eksportir ke buyers di luar negeri. Antara supplier dan eksportir juga mengalami keadaan yang sama. Supplier tidak mampu membeli karena krisis tapi yang paling terdampak adalah eksportir apalagi jika sudah ambil uang bank,” jelasnya.

“Beberapa negara lockdown, ada penutupan, rantai kerja di dalam tapi pengiriman untuk luar negeri. Biasanya mengirim ikan paling dekat Singapura. Sekalipun tidak di-lockdown, tetapi banyak sekali maskapai tidak berjalan normal. Yang dulu ada lima maskapai, ada lima tujuan sekarang cuma satu,” sebutnya.

Karena itu, lanjut Ray, kapasitas atau volume yang dikirim, dari beratus ton hanya menjadi beberapa ton.

“Kuota ini pun dibagi oleh pengusaha ekspor di Makassar dan Sulsel. Kalau jatah untuk Sulsel 20 ton, maka itulah yang dibagi-bagi antar eskportir. Apa yang menjadi permasalahan? Pengekspor ini mendapatkan beban pembayaran kargo yang malah kian mahal,” ungkapnya.

“Dapat dipahami bahwa pesawat itu kan mendapat biaya tutup kargo dari penumpang, tapi kalau penumpang tidak ada? Makanya biaya kargo ditingkatkan. Untuk menutup biaya operasional pesawat, biayanya sampai 300 persen. Ini pelaku usaha yang sulit, sudah memberatkan dikarenakan tidak adanya pemodal,” katanya.

perlu dibaca : Perjuangan Industri Perikanan Tangkap Keluar dari Jurang COVID-19

 

Ray Suryadi saat melakukan reses di Pangkalan Pendaratan Ikan Paotere. Foto : Ray Suryadi/Pelakita.ID/Mongabay Indonesia

 

Ray bilang karena terbatasnya pemodal, mereka yang sebelumnya membeli ikan ke nelayan tidak terlalu mahal, tapi harus mengelurkan biaya berlipat pada kargo. “Kalau ikan ikan harga 50, kargo bisa 60,” imbuhnya.

“Ini masih dirasakan dan berdampak ke produksi nelayan. Memang masih ada beberapa pengusaha yang bertahan meski masih sangat terbatas. Memang, saat ini sudah ada jadwal penerbangan tapi itu tadi, biaya kargo masih mahal,” imbuhnya.

Dia menyebut bahwa turunnya harga ikan itu dapat dirasakan seperti harga ikan tenggiri. Jika selama ini mencapai Rp70 ribu/kg untuk kemudian diekspor, namun belakangan ini harganya jatuh ke Rp50 ribu/kg.

Ray dan jaringan bisnis hasil lautnya meliingkupi sekurangnya 200 unit kapal ikan. Dampak pandemi itu dia bisa rasakan dari respon anggota dan jaringan bisnisnya ini. Dia terhubung dengan nelayan-nelayan di Sulawesi Selatan, mulai dari Makassar, Barru, Pangkep, Sinjai hingga Selayar.

“Volume dan nilai bisnis perikanan saya kira terpangkas hingga 80 persen, artinya, yang masih berjalan antara 10 hingga 20 persen ini perlu didukung, diberi kemudahan, setidaknya ada komunikasi yang terjaga,” imbuhnya.

Dia berharap program antisipatif Pemkot Makassar terkait pandemi ini digelar. “Masih ada yang perlu dipertajam, apa itu? Pendampingan ke pengusaha. Harus ada kemudahan akses, Pemkot harus membangun komunikasi ke pengusaha,” katanya saat ditanya pandangannya atas inisiatif Pemkot Makassar.

Maksud Ray adalah bagaimana Pemkot mendekati semua pengusaha untuk mencari tahu bagaimana dampak pandemi ini.

“Seperti media ini (Pelakita.id dan Mongabay.co.id) yang membangun komunikasi dengan kami. Pemkot melalui Dinas Perikanan Kota bisa melakukan pendekatan ini, membangun pola komunikasi yang baik,” kata alumni FISIP Universitas Hasanuddin angkatan 2009 ini.

“Kalau saya ini kan sektor perikanan, tapi perlu diketahui juga ada sektor UMKM yang tumbuh. Mereka butuh pasokan ikan juga. Jadi harus ada pelatihan-pelatihan, yang secara masif. Misalnya bagaimana bikin produk olahah, kerupuk, krispi yang diminati warga,” katanya.

“Jadi Pemkot harus kreatif, menghasilkan differensiasi, lebih kreatif untuk warga yang bekerja di sektor ini. Masyarakat pesisir ini potensi adalah bahwa mereka mau bekerja, mereka punya talenta,” tutup Ray.

perlu dibaca : Ini Skema Jaring Pengaman Sosial untuk Nelayan dan Pekerja Perikanan

 

Seorang nelayan memperlihatkan gurita hasil tangkapannya di Pulau Lumu-Lumu. Harga gurita jatuh di tengah pandemi COVID-19. Foto : Pelakita.id/Mongabay Indonesia

 

Pandangan pakar

Pengajar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Dr. Syafyuddin Yusuf, menyebut ada tiga alasan mengapa pesisir dan pulau-pulau kecil perlu menjadi perhatian bersama di tengah pandemi.

“Pertama, karena keterbatasan akses dan fasilitas umum, kedua karena masih rendahnya tingkat pendidikan yang mempengaruhi cara pandang atau dengan kata lain sulit keluar dari paradigma lama serta keterbatasan aparatur negara yang bekerja di sana, baik bidang pendidikan dan kesehatan,” kata peneliti yang sudah berkecimpung selama hampir 30 tahun meneliti pesisir dan pulau-pulau Makassar ini.

“Masyarakat pulau kecil beda pesisir di daratan utama seperti  Makassar, Maros atau Takalar atau hingga Selayar.  Pulau kecil  ada yang jauh dari peradaban kota, ada pula yang dekat seperti Lae-Lae, Barrang Caddi hingga Barrang Lompo,” katanya.

“Sehingga, jika kita berbicara tentang pengaruh COVID-19 dari sisi kesehatan, masyarakat pulau kecil yang dekat dengan peradaban kota, maka mereka inilah yang paling berpeluang terjangkiti virus, seperti pulau-pulau dekat Kota Makassar atau misalnya, Kepulauan Seribu di Jakarta,” imbuhnya.

“Pertanyaannya, jika peduduk yang kebetulan ke daerah pademi Covid  kemudian masuk kembali ke pulau kediamannya, apakah mereka juga agen penyebar?  Bisa ya, juga bisa tidak,” lanjutnya.

Menurutnya, hingga kini dia belum pernah dengar penduduk pulau-pulau terjauh terjangkit virus corona hingga saat ini. “Kecuali Pulau Barrang Lompo sebagai pusat Kecamatan Sangkarrang dengan intensitas koneksi setiap hari minimal 100 orang pergi dan pulang ke Makassar. Intensitas ini memberi peluang besar terjangkit,” lanjutnya.

 

Rumah para pengumpul ikan dengan coldbox yang kosong melompong. Foto : Pelakita.id/Mongabay Indonesia

 

Apa yang disebut oleh Ray Suryadi dan Dr Syafyudin di atas dibenarkan pengamat ekonomi dan bisnis Universitas Hasanuddin, Dr. Anas Iswanto Makkatutu.

“Hampir semua elemen bisnis termasuk usaha berbasis kelautan dan perikanan di Kota Makassar terdampak pandemi ini. Masing-masing beda level dampak dan implikasi ekonominya,” katanya saat dihubungi Kamis (27/8/2020).

“Selain faktor produksi yang terganggu, rantai pasaran juga terdampak. Pemerintah Pusat memang sudah menyiapkan kerangka dan program respon cepat tetapi kita harus lihat seberapa efektif ini sampai ke pulau-pulau yang jauh, apalagi Sulsel ini pulaunya banyak. Dari Pangkep, Sinjai hingga Selayar,” katanya.

Anas menyebut, strategi yang juga disiapkan kementerian terkait seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) misalnya terkait Sistem Resi Gudang (SRG) ikan atau dikenal dengan sistem tunda jual merupakan hal yang baik. Konsep ini sangat bagus sebagai katup pengaman sosial di pesisir.

“Tantangannya, bagaimana nelayan bisa menitipkan produk mereka dan ada uang cash di tangan. Gagasan agar tidak mengalami kerugian dengan menitipkan produknya di gudang beku (cold storage) sangat inovatif, tapi seberapa efektif ini di wiayah jauh seperti pulau-pulau di Sulsel itu?” tanyanya.

“Kalaupun dalam skala nasional itu sudah dijalankan terutama pada sentra-sentra kelautan dan perikanan atau pusat bisnis ikan yang sudah mapan, namun ini perlu diantisipasi pada skala mkro seperti pulau-pulau di Makassar itu. Apalagi nelayan terbiasa model patron client yang sudah mengakar dan cenderung membelit itu,” katanya.

“Resi gudang, mungkin cocok untuk komoditas seperti rumput laut, tapi kalau ikan-ikan produksi nelayan skala kecil? Palingan jatuhnya ke punggawa atau papalele yang kadang dianggap tidak fair tapi tetapi diterima di pesisir pulau-pulau itu,” tutupnya.

perlu dibaca : Memecahkan Kendala Pemasaran Produk Perikanan dengan Sistem Resi Gudang

***

 

*Rizki Latjindung, Muhammad Syukri, Kamarudin Azis. Mereka adalah jurnalis pelakita.id Sulawesi Selatan. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version