Mongabay.co.id

Meski Harga Gurita Merosot Tajam, Nelayan Ende Tetap Melaut

 

Menjelang akhir Agustus, laut pantai selatan Kabupaten Ende tampak tidak bersahabat. Siang itu, Rabu (26/8/2020) nelayan pemancing gurita Kampung Arubara, Kelurahan Tetandara, Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) memilih tidak melaut.

“Angin sedang kencang sehingga laut bergelombang. Kita memilih beristirahat dahulu menunggu laut bersahabat baru pergi menangkap gurita,” kata Iksan Ahmad, nelayan pemancing gurita di Kampung Arubara, saat ditemui Mongabay Indonesia.

Iksan berceritera, orang tuanya sudah lama memancing gurita. Dirinya pun tidak tamat kuliah di Universitas Flores dan sejak tahun 2015 melakoni profesi serupa bersama sang ayah.

Ia beralasan, memancing gurita hasilnya lumayan dan banyak waktu untuk beristirahat. Pagi berangkat memancing dan siang hari sudah kembali dan beristirahat hingga esok paginya baru kembali melaut.

“Buat apa memaksakan diri melaut hingga sore. Rezeki sudah diatur sama Allah. Lagipula harga gurita sedang merosot tajam,” ucapnya beralasan.

baca : Jerit Hati Nelayan Gurita di Banggai, Tidak Punya Penghasilan Akibat Pandemi Corona

 

Perahu nelayan yang dipergunakan nelayan Kampung Arubara, Kelurahan Tetandara, Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende, NTT yang biasa dipergunakan memancing gurita. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Harga Turun

Rata-rata nelayan pemancing gurita di Kabupaten Ende memancing gurita dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari pesisir pantai di wilayahya. Perahu ukuran 2 GT dipergunakan untuk memancing dengan kapasitas 2 orang.

“Paling sejauh 4 kilometer dari desa gunakan perahu 2 GT. Kami  memancing menggunakan umpan seperti kepiting yang dibuat sendiri, dicat dan dipasang kail. Ada yang berbentuk mirip gurita untuk memancing gurita jantan,” jelasnya.

Sebelum umpan dilepas, Iksan mengaku harus memiringkan perahu sambil meneropong ke dasar laut memakai kaca mata selam. Ia beralasan, harus melihat apakah ada karang di dasar laut yang jadi habitat gurita.

Sehari bisa didapat 10 gurita dengan berat minimal 2 kg. Ia mengaku pernah menjual sebanyak 42 kilogram ke penampung di desa dengan harga jual Rp30 ribu/kg tahun 2019 lalu.

“Sekarang harga jualnya menurun drastis sejak merebaknya pandemi Corona. Saat ini harganya Rp16 ribu/kg sehingga nelayan merasa dirugikan,” ucapnya.

Sedangkan nelayan Desa Persiapan Maurongga Kecamatan Nangapenda, Imran Tabri mengaku sejak tahun 2017 mencari gurita secara manual.

Imran mengatakan dulu ia menyelam dan menikam gurita menggunakan semacam tombak dari besi yang bagian ujungnya diruncing menyerupai kail. Alat ini pun biasa dipergunakan mencari gurrita di pesisir pantai saat air laut surut.

“Sebelum Corona menangkap hingga 20 ekor dengan berat 20 bahkan 30 kilogram. Harga jualnya Rp40 ribu/kg, tapi saat corona turun hingga Rp15 ribu/kg,” ucapnya.

Imran senang bisa dapat puluhan juta sebulan saat musim gurita bulan Juli hingga September. Banyak guritanya berukuran besar diatas 2 kg dan ia hanya menangkap gurita kecil berat 1 kg sebanyak 2-3 ekor untuk konsumsi sendiri.

baca juga : Tidak Sembarang, Berburu Gurita Ada Aturannya [Bagian 2]

 

Baiq Asmini (kiri) dan Ifan H Ahmadin, petugas enumerator pencatat gurita di Kampung Arubara, Kelurahan Tetandara, Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende, NTT sedang memperlihatkan gurita yang sobek di mulutnya. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Jaga Keberlanjutan

Direktur Yayasan Tananua Flores Hironimus Pala kepada Mongabay Indonesia menyebutkan pihaknya bekerjasama dengan Blue Ventures memfasilitasi nelayan gurita di dua desa tersebut.

Hironimus menyebutkan pihaknya memberikan pemahaman kepada nelayan agar tidak menangkap gurita berukuran kecil dibawah dua kg agar gurita bisa berkembang biak.

“Kami juga memberikan pemahaman agar apabila melihat gurita sedang berada di dalam lubang batu dan menutupnya jangan ditangkap. Biarkan gurita betina tersebut bertelur,” jelasnya.

Yayasan Tananua merekrut dua enumerator di setiap desa dampingan untuk mendata gurita hasil tangkapan nelayan.

Dari hasil tersebut sebutnya, akan dilihat bulan berapa panennya melimpah, saat panen berukuran kecil dan bulan berapa di wilayah tertentu panennya melimpah.

“Data tersebut dijadikan acuan untuk membuat kebijakan. Kami memberikan pengetahuan dan penyadaran kepada nelayan berdasarkan data tersebut,” ungkapnya.

Hironimus menjelaskan gurita bertelur di lubang karang sebanyak 3 ribu telur dan mengeraminya selama sebulan. Setelah 3-4 bulan gurita menetap di karang dan saat berumur 8-10 bulan gurita betina pindah ke karang yang lebih dalam untuk bertelur.

“Ketika gurita hidup di karang saat umur sebulan beratnya 100 gram dan setiap bulan beratnya bisa bertambah dua kali lipat. Umur 6 bulan beratnya bisa mencapai 3,2 kilogram dan 7 bulan mencapai 6,4 kilogram,” ungkapnya.

Iksan dan Imran mengaku bersyukur sebab berkat pendampingan Yayasan Tananua, nelayan akhirnya memahami menangkap gurita secara berkelanjutan. Keduanya mengaku sebelum didampingi, gurita berukuran besar dan kecil semuanya ditangkap termasuk gurita yang sedang bertelur.

Iksan mengenang, sebelum tahun 2019 semua gurita ditangkap termasuk berukuran dibawah satu kg sehingga nelayan kesulitan mendapatkan gurita. Akhirnya kata dia, nelayan bersepakat tidak menangkap gurita ukuran kecil agar  bisa berkembangbiak dahulu.

“Untuk menjaga keberlanjutan disepakati 6 bulan memancing ke arah barat dan timur desa dan setelah 6 bulannya lagi memancing di depan perairan wilayah desa. Dengan begitu saat musim angin kencang, nelayan bisa memancing di perairan desa saja,” ucapnya.

Imran menambahkan Yayasan Tananua mendampingi nelayan supaya proses perkembangbiakan gurita dijaga dan ekosistem lautnya juga dijaga dengan tidak membuang sampah ke laut.

Dirinya paham bila menangkap gurita yang masih bertelur dan kecil, lama-lama guritanya habis. Dulu sebelum adanya Tananua semua jenis gurita besar dan kecil dia tangkap.

menarik dibaca : Asyiknya Melihat Nelayan Berburu Gurita di Siau

 

Saliha, perempuan pencari gurita di Kampung Arubara, Kelurahan Tetandara, Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende, NTT memperlihatkan gurita hasil tangkapannya. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Perbaikan Harga

Anjloknya harga jual gurita bukan saja dikeluhkan nelayan pemancing gurita, tapi juga para perempuan yang mencari gurita di pesisir pantai.

Saliha, perempuan pencari gurita di Desa Arubara mengaku dalam sebulan sekitar 10 hari mencari gurita di pesisir pantai saat air laut pasang  pagi atau sore hari. Sehari ia bisa dapat 2 sampai 3 ekor dengan berat hingga 5 kg per ekornya.

“Saat air laut  surutnya siang atau sore baru saya mencari gurita, kalau malam tidak. Lumayan uangnya bisa menambah beli kebutuhan keluarga, tapi mau bagaimana kalau harganya sangat murah,” ungkapnya.

Imran pun mengaku selama pandemi Corona mencari gurita dan menjualnya di rumah makan atau kepada pengendara yang lewat di jalan negara trans Flores Ende-Ngada tak jauh dari rumahnya.

Ia beralasan harga jualnya lebik baik bila dijual ke penampung dimana seekornya untuk ukuran dua kilogram bisa laku Rp50 ribu.

Penampung gurita dari nelayan Arubara, Fudin Ali saat ditemui di rumahnya mengaku sebelum pandemi Corona, ada beberapa perusahaan pembeli gurita termasuk dari Kota Larantuka, Kabupaten Flores Timur sehingga harga jualnya mahal.

Semenjak pandemi Corona, perusahaan pembeli gurita hanya satu saja di Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka saja sehingga mau tidak mau semua gurita yang ditampungnya dijual ke perusahaan ini.

“Harga paling tinggi Rp40 ribu/kg tahun 2018 tapi sejak Corona harga menurun hingga Rp15 ribu/kg. Kualitasnya juga berbeda dan sortirnya jadi ketat,” ungkapnya.

Fudin mengaku tidak mengetahui klasifikasi gurita dan kualitas yang dibeli perusahaan. Ia sebutkan ada standar kualitas dari A sampai D padahal dirinya membeli dari nelayan berdasarkan ukuran berat saja.

Dia membeli gurita dengan cara menimbang menggunakan karung tanpa membedakan gurita kecil dan besar sebab kasihan kalau tidak membeli gurita tangkapan nelayan di desanya.

“Saya tidak sortir dulu, biar di perusahaan saja yang sortir. Kadang kalau ditolak perusahaan guritanya saya jual ke rumah makan. Kalau saya hanya mau mengambil yang utuh saja terus yang sobek nelayan jual kemana. Harapan saya nelayan saat memancing gurita jangan sampai sobek kepalanya,” pesannya.

Iksan dan Imran berharap ada bantuan alat tangkap dari pemerintah untuk nelayan pemancing gurita. Sementara Fudin meminta agar pemerintah bisa mendatangkan beberapa investor untuk membeli gurita  agar ada persaingan harga.

 

Exit mobile version