Mongabay.co.id

Bencana Datang, Di Tengah Orang Kinipan Terhalang Jaga Hutan Adat

 

 

Rabu sore pekan lalu, Aloe Dohong, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan rombongan, mestinya tiba di Desa Kinipan, Kecamatan Batangkawa, Lamandau, Kalimantan Tengah. Dia dijadwalkan ke Kinipan guna melihat persoalan konflik lahan antara Komunitas Adat Laman Kinipan dan perusahaan perkebunan sawit, PT Sawit Mandiri Lestari (SML).

Sekitar satu jam perjalanan dari Nanga Bulik, ibukota Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, rombongan itu balik kanan. Ada apa? Ternyata banjir menghadang perjalanan mereka di jalan trans Kalimantan, di Desa Penopa, Lamandau.

“Banjir jalannya. Mobil nggak bisa lewat,” kata Alue, setelah pertemuan dengan manajemen SML, sehari kemudian di sebuah hotel di Pangkalan Bun, kabupaten tetangga Lamandau.

Banjir begitu parah. Hujan mengguyur deras meluapkan sungai dan menggenangi perkampungan. Rombongan kecil organisasi masyarakat sipil, Save Our Borneo (SOB) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah, yang hendak menuju Kinipan dalam waktu hampir bersamaan pun tertahan di Penopa. Mereka tak serta-merta balik kanan. Sampai malam mereka menunggu, berharap air surut, untuk bisa dilewati.

“Kami nunggu air surut, ternyata justru hujan,” kata Safrudin, Direktur Save Our Borneo (SOB) yang ikut rombongan itu.

Mereka pun balik kanan juga malam itu, menginap di Nanga Bulik. Rombongan SOB dan AMAN Kalteng nekat menerobos banjir keesokan harinya. “Sempat masuk juga air ke mobil. Nekat aja kami. Saat berangkat itu, di Penopa banjir sudah di bawah lutut. Aman aja mobil lewat. Yang parah cuma di Karang Taba. Daerah lain banyak surut sudah,” kata Pinarsita Juliana, dari SOB, melalui pesan singkat, Senin malam (14/9/20).

Baca juga: Warga Laman Kinipan Minta Pemimpin Lamandau Lindungi Hutan Adat Mereka

 

 

Sampai di Kinipan, persoalan banjir belum selesai. Dalam beberapa hari terakhir, daerah hulu sungai-sungai di Lamandau hujan deras. Air di Laman Kinipan pun berangsur naik. Beberapa ruas jalan di desa tergenang, seperti di jembatan Sungai Urawan, bermuara di Sungai Batang Kawa, tak nampak lagi, Senin (14/9/20). Pos dermaga desa pun, hanya menyisakan atap yang terlihat.

“Di atas ini masih terputus jalurnya. Air masih pasang. Kalau di sini surut, daerah bawah lagi yang naik airnya. Tadi ada ibu-ibu sama suaminya terpaksa harus naik perahu sampai jalan raya. Selain jembatan yang di Kinipan, di situ (jalan di pinggir hunian desa Kinipan) banjir tinggi juga,” kata Pinar.

Pada Sabtu (12/9/20), Kepala Desa Kinipan, Willem Hengki, mengatakan, ada 21 rumah terendam air. Lima cukup parah. “Di Kina (desa hulu Kinipan), naik lagi air. Jadi turun ke Kinipan,” katanya melalui pesan singkat.

Apa yang terjadi di daerah hulu, termasuk Kinipan, berdampak pada wilayah hilir pada daerah aliran sungai yang sama di wilayah Lamandau.

Edison Dewel, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lamandau, belum menjawab konfirmasi perkembangan penanganan banjir di Lamandau.

Edison terakhir memberi informasi Sabtu (12/9/20), berupa video banjir di jalan trans Kalimantan, di Desa Karangtaba. Dalam video itu, tampak keriuhan warga yang mencoba mengangkat satu mobil ke atas semacam rakit besar terbuat dari kayu.

Seberapa parah banjir di Lamandau ini? Per 10 September, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menyebut banjir berdampak langsung pada 431 keluarga atau 743 jiwa. Selain itu disebut, beberapa rumah dan hewan ternak hanyut, jurung (lumbung padi) terendam dan roboh.

Baca juga:   Begini Nasib Hutan Adat Laman Kinipan Kala Investasi Sawit Datang

 

Kebun sawit tergenang banjir di Kecamatan Batangkawa. Foto: Save Our Borneo

 

Video udara BNPB, Rabu (9/9/20), menunjukkan, banjir menyebar di sejumlah desa di lima kecamatan di Kabupaten Lamandau. Kelima kecamatan itu adalah Belantikan Raya, Batangkawa, Lamandau, Bulik dan Bulik Timur.

BNPB juga memantau situasi banjir di Desa Nanga Belantikan, Bayat, Petarikan, Bintang Mengalih (Kecamatan Belantikan Raya) dan Desa Jemuat, Kina, Kinipan (Kecamatan Batangkawa).

Banjir di Lamandau, termasuk di Laman Kinipan, faktor penyebabnya antara lain tutupan hutan di daerah hulu Kalimantan Tengah ini terus tergerus.

Esau A Tambang, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kalteng dikutip dari Kompas.com, mengatakan, banjir di Lamandau perlu dilihat sebagai dampak dari daya dukung dan daya tampung hutan berkurang.

“Daya dukung dan daya tampung aliran sungai di Lamandau itu sudah terlewatkan dan sudah rusak. Ini banjirnya kan mendadak dan tidak bisa diprediksi. Pasti sudah terlewatkan, makanya sekarang itu yang harus dipikirkan adalah pemulihannya.”

Lain di pernyataan, lain di lapangan. Komunitas adat yang ingin menjaga hutan malah berhadapan dengan masalah, seperti dialami Laman Kinipan. Orang Kinipan khawatir, kala hutan hilang, bencana bakal datang.

Baca juga:   SML Bantah Tudingan Caplok Lahan, Begini Jawaban Tetua Adat Kinipan

 

Banjir di Kinipan September 2020. foto: dokumen warga

 

Jaga hutan, terus berjuang

Bencana di Kinipan, sudah terjadi.  Banjir bukan kali pertama di Kinipan. Juli lalu,  Kinipan juga tergenang. Begitu juga, April 2019,  pemukiman warga Kinipan, dan desa-desa sekitar tergenang. Sementara,  warga Kinipan yang berupaya mempertahankan hutan adat agar alam tetap terjaga dan mencegah bencana, tak mendapatkan perlindungan. Mereka  malah terjerat hukum. Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, bersama empat warga adat pun terhadapan dengan jerat hukum.

Kini, sebagian hutan adat Kinipan sudah bersih. “Sekitar 3.000-an hektar hutan adat sudah ditebang [untuk jadi kebun sawit perusahaan],” kata Buhing, awal September lalu.

Orang Kinipan tak surut memperjuangkan hutan adat mereka. “Kami akan tetap jaga hutan adat itu. Bagaimanapun.”

Buhing cs sempat mendekam di tahanan polisi, mereka kena tuduhan pencurian dengan kekerasan. Kasus berawal saat warga Kinipan, protes pekerja perusahaan yang mau tebang pohon di hutan adat. Warga lalu menyita satu mesin pemotong kayu.  Akhirnya Buhing bebas, namun  empat warga lain baru penangguhan penahanan.

Bebas dari tahanan, Buhing pun bertolak ke Jakarta. Buhing dan sang istri, Elisabeth, bersama Koalisi Keadilan untuk Kinipan, mendatangi berbagai lembaga negara di Pusat, untuk mengadu. Mereka datangi antara lain, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komnas HAM, Kompolnas sampai Propam Mabes Polri. Penangkapan Buhing, dan empat warga adat lain dinilai sewenang-wenang dan menimbulkan trauma bagi warga.

“Sekarang, kalau ada mobil masuk kampung satu dua, warga cepat masuk rumah. Warga trauma. Setelah ada penangkapan itu warga trauma,” kata  Buhing,

Baca juga: Berawal Konflik Lahan, Berujung Jerat Hukum Orang Kinipan

 

Effendi Buhing (tiga dari kanan), bersama Koalisi untuk Keadilan Kinipan mengadu ke Komnas HAM di Jakarta. Foto: Koalisi untuk Keadilan Kinipan

 

 

Laporan masyarakat adat Laman Kinipan ini bukan kali pertama ke lembaga ini. Sebelumnya, Juni 2018 mereka juga datang ke Komnas HAM dan melaporkan konflik lahan antara masyarakat adat Laman Kinipan dan SML.

Pada 4 September itu, kedatangan mereka diterima Sandrayati Moniaga, Komisioner Pengkajian dan Penelitian dan Hairansyah, Komisioner Mediasi Komnas HAM.

“Kepolisian segera investigasi atas perilaku anggotanya di lapangan dan kemudian Kompolnas ikut mengawal,” kata Sandra.

Dia prihatin atas kejadian ini dan meminta lembaga negara memberikan perhatian serius kepada para pembela HAM dan lingkungan. Kasus-kasus seperti ini banyak terjadi di Indonesia, dan menyulitkan kehidupan masyarakat adat.

Hairansyah bilang, akan pemantauan lapangan dalam waktu dekat untuk menyedilidki lebih jauh dugaan pelanggaran saat proses penangkapan.

“Kami akan menurunkan tim untuk konfirmasi terkait prosedur penangkapan dan hal lain.” katanya.

Mereka juga akan berkoordinasi dengan LPSK untuk memberikan perlindungan dan upaya pemulihan atas kejadian penangkapan itu, baik kepada Buhing maupun keluarga. Juga kepada masyarakat yang menyaksikan kejadian itu.

Muhammad Arman, Direktur Advokasi dan HAM AMAN meminta kepada Komnas HAM mengambil langkah-langkah nyata dan beraksi atas kasus kriminalisasi masyarakat Laman Kinipan ini.

“Kami minta perlindungan hukum dan koordinasi dengan LPSK. Kami sudah meminta perlindungan LPSK pada 2 September lalu,” katanya kepada Mongabay.

Dia bilang, dalam bekerja polisi harus bersikap netral karena ada bukan untuk melindungi perusahaan, tetapi melayani masyarakat.

Baca juga: Bupati Lamandau Bahas Wilayah Kinipan, BPN: Masih Bisa Dikeluarkan dari Konsesi

 

Hutan adat Kinipan, yang tumpang tindih dengan perusahaan sawit. Foto: Save Kinipan

 

Aturan  kalah?

Khalisah Khalid dari Walhi Nasional menanggapi konflik Kinipan dan perusahaan sawit ini. Dia mengatakan, presiden berkali-kali berjanji ingin membenahi persoalan sawit, sampailah berbagai aturan keluar seperti Inpres Moratorium Izin yang menekankan evaluasi perizinan dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit.

Sayangnya, kata Alin, biasa dipanggil, kebijakan ini ternyata bertolak belakang dengan realitas politik, di mana penguasa ekonomi dalam lingkar rente sawit juga ada dalam pemerintahan politik baik di parlemen maupun pemerintah.

Jadi, katanya, kekuasaan ekonomi sawit yang akhirnya menyetir kebijakan politik. “Kita punya instrumen hukum yang lumayan tersedia banyak, tetapi politik hukum yang bermasalah, karena berpihak kepada kepentingan rente ekonomi sawit.”

Kondisi ini, katanya, memicu tak pernah ada kebijakan korektif pemerintah.

Kerusakan lingkungan maupun hutan berdampak bencana ekologis seperti banjir dan longsor, katanya, tak pernah masuk dalam logika elit politik, baik di pusat maupun daerah.

Biaya lingkungan atau kerugian lingkungan hidup buntut kebijakan ekonomi dan politik yang eksploitatifm kata Alin, sejak awal sebagai biaya eksternal alias tak masuk perhitungan. Akhirnya, lagi-lagi rakyat atau negara yang menanggung.

Alin mengatakan, kalau pemerintah mau serius mengatasi problem struktural lingkungan hidup dan agraria di perkebunan sawit, maka inpres moratorium harus jalan secara menyeluruh seperti audit dan kaji perizinan, dan penegakan hukum bagi pelanggar.

Kemudian, katanya, jalankan agenda reforma agraria dan segera memulihkan lingkungan hidup yang hancur. Juga memberikan perlindungan terhadap rimba terakhir dan masyarakat adat/lokal sebagai satu kesatuan upaya.

Dalam ranah kebijakan, RUU omnibus law Cipta Kerja harus setop. “Segera sahkan RUU Masyarakat Adat, ini bagian dari pemenuhan janji konstitusi, mengakui, melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat adat, termasuk wilayah adatnya.”

Masa pandemi corona ini, katanya, harusnya jadi peringatan atas kebijakan ekonomi dan politik yang salah. “Sekaligus sebagai momentum perubahan paradigma ke arah kebijakan ekonomi pemulihan dan mengakui hak-hak rakyatnya.”

Dalam tataran internasional, katanya, pemerintah Indonesia juga punya komitmen, seperti soal iklim dan ratifikasi-ratifikasi konvensi lain. “Jadi bukan sekadar komitmen politik basa-basi ya…”

Jadi, bagaimana nasib orang Kinipan dengan wilayah maupun hutan adatnya?

 

Bentang alam dengan tutupan alami sudah hilang. Foto: Save Our Borneo

 

Begini penampakan kayu di hutan adat Kinipan, yang bersengketa dengan perusahaan sawit. Foto: Save Kinipan

 

 

***

Keterangan foto utama:  Pemukiman terendam banjir di Lamandau awal September 2020. Foto: Save Our Borneo

 

 

Exit mobile version