Mongabay.co.id

Pemantik Kebakaran Hutan dan Lahan itu Bernama Regulasi

Kebakaran di PT MAS, Muarojambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Tulisan sebelumnya dalam seri ini: Jejak Korporasi Penyulut Api

 

Dua September lalu, Reynaldo G. Sembiring ikut menyaksikan jalannya rapat via siaran online TV Parlemen, yang menyiarkan langsung pembahasan RUU ini. Direktur Eksekutif Indonesian Centre for Environment Law itu tetap khawatir rancangan ini bakal memperlemah penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan.

“RUU Cipta Kerja ini secara sistematis memperlonggar perizinan, partisipasi publik, dan penegakan hukum. Ini menyangkut aspek hulu dan hilir ekosistem kita,” kata Dodo, panggilan akrabnya, 9 September lalu.

Rapat ini merupakan rangkaian agenda pembahasan RUU Cipta Kerja yang berlangsung sejak pemerintah menyodorkan draf kepada DPR, Februari lalu.

RUU yang bergulir untuk menarik investasi ini sedari awal menuai banyak kritik lantaran dinilai pro-pengusaha. Termasuk yang dianggap bermasalah adalah Pasal 36 dan 37. Dua pasal ini berisi sejumlah rencana perubahan ketentuan dalam Undang-undang Kehutanan.

Dalam kesimpulan rapat itu. Panitia Kerja RUU Cipta Kerja bersepakat menambahkan ayat baru dalam rencana perubahan Pasal 49 Undang-undang Kehutanan. Awalnya, draf RUU hanya berisi satu ayat yang menyatakan pemegang hak atau izin usaha wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di area kerjanya.

Rumusan itu mengubah ketentuan dalam UU Kehutanan yang menyatakan pemegang hak atau izin bertanggungjawab atas kebakaran hutan di area kerjanya. Panitia, dalam kesimpulan rapat menyatakan, ketentuan lama ini tetap dicantumkan sebagai ayat 2.

Masalahnya, panitia masih menunda pembahasan rencana perubahan sejumlah pasal UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang berkaitan pengenaan sanksi. “Pemerintah sedang mereformulasi pasal-pasalnya,” kata Ketua Panitia Kerja RUU Cipta Kerja Supratman Andi Agtas, Kamis, 10 September lalu.

Kalangan pegiat lingkungan khawatir terhadap rencana perubahan pasal sanksi Undang UU PPLH ini. Pasal 98 yang mengatur sanksi pidana dan denda atas perusakan lingkungan hidup. Misal, akan diubah dengan mengutamakan pengenaan denda. Kalau denda tak dibayar, barulah pelaku bisa dipidana.

 

Penampakan konsesi PT KPAM pada 3019 September 2019.Tampak kobaran api di sana.

 

Skema serupa diterapkan dalam rencana perubahan pasal 99-110 yang mengatur sanksi atas kelalaian yang menyebabkan kerusakan lingkungan hingga pelanggaran aturan pengelolaan limbah.

Belum lagi RUU Cipta Kerja juga akan mengubah konsep strict liability alias tanggung jawab mutlak tanpa perlu pembuktian atas kerugian lingkungan yang diatur dalam Pasal 88. Pasal baru dalam omnibus law menghapus frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”.

Dodo menilai, pasal-pasal RUU Cipta Kerja ini mengabaikan aspek lingkungan hidup yang rentan rusak akibat investasi di sektor sumber daya alam. Sebelumnya, pandangan senada disampaikan sejumlah pakar ketika panitia kerja mengundang mereka dalam rapat, 10 Juni lalu.

M Ramdan Andri Gunawan Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, misal, menyoroti rencana perubahan pasal sanksi yang sebelumnya diatur UU PPLH.

Menurut dia, RUU Cipta Kerja mempersempit pemilihan sanksi karena pidana hanya bisa jatuh apabila perusak lingkungan tidak mampu atau tak mau membayar denda. Sanksi pidana hanya berupa kurungan. “RUU ini gagal dalam konstruksi sanksi pidana.”

“Sudah pasti pertanggungjawaban korporasi hilang karena korporasi tidak mungkin dipenjara.”

Bambang Purwanto, anggota panitia kerja, mengatakan semua kesepakatan dalam rapat panitia bisa saja berubah pada pembahasan di tingkat selanjutnya. “Apa yang disepakati ini bisa saja berubah. Nanti, masih akan ada timbul perdebatan, mungkin pasal yang tidak disetujui atau dibahas bisa dimunculkan kembali oleh fraksi.”

Masih terbuka peluang perubahan pasal dalam pembahasan ini pula yang membikin Dodo dan pegiat lingkungan lain ketar-ketir.

 

Kebakaran hutan dan lahan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

***

Bagi Rusmadya Maharudin, Kepala Tim Juru Kampanye Hutan Greenpeace, bahaya lain dari regulasi pemerintah sudah ada di depan mata: Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10/2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut.

Dia menilai, aturan ini sebagai langkah mundur pemerintah dalam pemulihan ekosistem gambut yang semestinya jadi kunci pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

Pokok masalah berada di Pasal 8, yang mengatur soal area di luar puncak kubah gambut. Area ini dinyatakan dapat dimanfaatkan hingga jangka waktu izin berakhir dengan kewajiban menjaga fungsi hidrologis gambut.

Masalahnya, pasal itu juga menyebutkan area di luar puncak kubah gambut dapat berada dalam fungsi lindung ekosistem gambut yang selama ini terlarang untuk dimanfaatkan.

“Gambut yang selama ini dilindungi saja bisa terbakar, apalagi ini tidak lagi dilindungi,” kata Rusmadya, 10 September lalu.

Data Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS), platform pemantauan bumi yang dikelola Pusat Prakiraan Cuaca Jarak Menengah Eropa (ECMWF), memperkirakan total emisi akibat kebakaran hutan di Indonesia pada 2019 hampir menyamai dampak bencana 2015. Padahal, luas area terbakar pada 2019 hanya 1,65 juta hektar, lebih kecil dibanding pada 2015 mencapai 2,6 juta hektar.

ECMWF mensinyalir, pelepasan emisi besar tahun lalu dipicu kebakaran banyak di lahan gambut. “Di Indonesia, pembakaran gambut yang dapat membara pada suhu rendah dan di bawah tanah menjadi perhatian utama karena melepaskan karbon yang telah disimpan selama ribuan tahun,” kata Mark Parrington, peneliti senior ECMWF di CAMS, dalam siaran pers, September 2019.

Analisis kebakaran hutan dan lahan 2015-2019 menunjukkan, kebakaran lahan gambut baru terus meningkat selama periode itu. Kondisi ini diperparah aktivitas izin skala besar yang kini masih membuka kanal yang membuat gambut menjadi kering dan mudah terbakar.

Upaya tim peliputan ini meminta penjelasan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang persoalan ini, tetapi tak membuahkan hasil.

MR Karliansyah, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan dan Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut Sri Parwati Murwani Budisusanti menolak memberikan informasi mengenai implementasi aturan ini juga ancaman kebakaran di lahan gambut.

Teguh Surya, Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan mengkritik implementasi peraturan menteri ini. Dia anggap tak transparan. “Ini menyulitkan pengawasan,” katanya. “Ancaman kebakaran hutan di gambut akan terus terjadi selama pemulihan gambut setengah hati.”

 

 

Tim kolaborasi: Penanggung jawab: Wahyu Dhyatmika (Tempo), Kepala proyek: Agoeng Wijaya (Tempo), Penulis dan penyumbang bahan: Agoeng Wijaya, Agung Sedayu, Ibrahim Arsyad, Aseanty Widaningsih Pahlevi, Aisha Shaidra (Tempo); Kennial Laia (Betahita); Lusia Arumingtyas, Budi Baskoro (Mongabay); Aidila Razak, Koh Jun Lin (Malaysiakini), Tim multimedia: Krisna Adhi Pradipta, Harfin Naqsyabandy, Harry Amijaya (Tempo), Tim analisis data: Dedi Pratama Sukmara, Yustinus Seno, Sesil Maharani, Hafid Azi Darma (Auriga Nusantara), Agoeng Wijaya (Tempo), Koh Jun Lin (Malaysiakini).

 

 

Exit mobile version