Mongabay.co.id

Antara Pandemi, Deforestasi, dan Nasib Masyarakat Adat

Maraknya pandemi COVID-19 ternyata tidak menyurutkan eksploitasi sumberdaya alam yang di Indonesia. Sebaliknya penelitian dan rilis yang dibuat oleh berbagai lembaga menunjukkan kegiatan pembukaan lahan, illegal logging, dan perdagangan satwa liar tidak menunjukkan tanda-tanda menurun.

Di sisi lain perlindungan masyarakat adat, masih belum mendapatkan kejelasan secara legal dari negara.

Merujuk laporan Rainforest Action Network, di Ekosistem Leuser, Sumatera, -yang merupakan salah satu hotspot keanekaragaman hayati terpenting di dunia, pada April 2020 terjadi kegiatan pembakaran hutan ilegal di konsesi sawit di bagian kawasan yang penting bagi habitat gajah sumatera.

Di bagian timur Indonesia, nasib serupa melanda hutan di Papua. Saat trend deforestasi di kawasan Indonesia lain menurun, di Papua ia malah meningkat.

Dilansir dari laman pusaka.or.id deforestasi terjadi untuk perluasan perkebunan sawit di Papua semakin meningkat selama masa pandemi. Pada periode Januari – Mei 2020, diperkirakan 1.488 hektar hutan di Papua lenyap.

Seperti efek bola salju, hilangnya hutan membawa pengaruh bagi raibnya kekayaan ragam hayati. Sebagai contoh korelasinya, pembukaan lahan dan deforestasi menyebabkan tindak perambahan dan perburuan satwa liar yang meningkat.

Dewan Pembina Biodiversity Society, Wahyudi mengatakan bahwa kerugian negara akibat perdagangan satwa liar mencapai Rp13 trilyun setiap tahunnya, bahkan kemungkinan nilainya lebih besar lagi.  Apalagi jika dikaitkan dengan ekonomi masyarakat yang semakin terdampak akibat pembatasan interaksi sosial.

Pemutusan hubungan kerja yang menjadikan masyarakat pengangguran menjadi salah satu penyebab maraknya perburuan satwa liar. Di negara berkembang seperti Uganda misalnya, sejak lockdown diberlakukan, perburuan satwa liar telah meningkat sebanyak dua kali lipat dari yang biasanya.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Ketika pandemi mulai merebak di Indonesia, transaksi perdagangan trenggiling di kota-kota besar seperti Yogyakarta tetap marak. Anjuran untuk tetap tinggal di rumah saja tidak mempan, dan tidak membuat para pemburu berhenti melakukan aksi jahatnya.

Menurut data Wildlife Conservation Society, dalam sepuluh tahun ini sebanyak 26 ribu trenggiling diselundupkan dari Indonesia ke Tiongkok. Tidak menutup kemungkinan bahwa trenggiling yang dijual di pasar-pasar hewan di Wuhan pun berasal dari hutan-hutan Indonesia yang dibuka dan dialihfungsikan untuk berbagai macam kepentingan.

Baca juga: Berawal Konflik Lahan, Berujung Jerat Hukum Orang Kinipan

 

Hutan menyediakan sumber pangan bagi manusia dan mahluk hutan. Ilustrasi pohon tapang, dengan pucuk biasa terdapat sarang lebah, sebagai sumber madu alami di Hutan Kinipan. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Masyarakat Adat: Sang Penjaga Hutan yang Dikriminalisasi

Masyarakat adat disebut sebagai komunitas yang paling terdampak akan kerusakan lingkungan. Meskipun populasi masyarakat adat kurang dari 5 persen di seluruh dunia, tetapi mereka melindungi 80 persen keanekaragaman hayati global.

Hutan bagi masyarakat adat adalah bagian dari kehidupan: tempat berlindung, penyedia air dan udara bersih, tempat mencari makan dan berburu, juga sumber obat-obatan.

Masyarakat adat juga berperan besar dalam menghentikan kepunahan massal dan untuk permasalahan dunia yang lebih besar yaitu ‘krisis iklim’.

Badan Dunia PBB pun mengakui bahwa keberadaan masyarakat adat turut menjaga keseimbangan alam dan kelestarian hutan. Ironisnya, kelompok masyarakat adalah yang paling rentan terhadap pandemi COVID-19.

Untuk Indonesia jumlah populasi masyarakat adat cukup besar, yaitu sekitar 40-50 juta orang, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah populasi masyarakat adat terbesar di dunia.

Namun meskipun demikian, Indonesia belum memberikan pengakuan penuh terhadap hak-hak masyarakat adat. Masyarakat adat di Indonesia hingga saat ini masih berjuang menuju pengakuan hak adat mereka setelah 75 tahun kemerdekaan negara.

Bahkan baru-baru ini ditengah situasi pandemi, seorang tokoh adat Dayak dan beberapa rekannya dari Desa Kinipan, Kalteng sempat ditahan oleh aparat kepolisian dengan tuduhan pencurian gergaji mesin (chainsaw) milik perusahaan sawit.

Dilansir dari Instagram Aliansi Masyarakat Adat Nusantara gergaji mesin tersebut disita oleh seorang warga bernama Riswan dan warga anggota Komunitas Adat Laman Kinipan saat mereka menghentikan penebangan kayu ulin oleh PT SML. Hingga saat ini, konflik legal lahan masih terjadi antara PT SML dengan warga Kinipan.

Nasib dan situasi masyarakat adat di daerah tampak bertolak belakang saat simbol-simbol budaya digunakan di dalam meriahnya pesta kemerdekaan secara virtual pada bulan Agustus lalu.

Presiden Joko Widodo mengenakan pakaian adat Pubabu yang begitu rupawan, meski disaat yang bersamaan masyarakat adat Pubabu mengalami nasib yang sungguh memilukan. Mereka tergusur dari Hutan Adat Pubabu hingga terpaksa mengungsi di bawah pohon, anak-anak Komunitas Pubabu dilaporkan mengalami trauma akibat kejadian ini.

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Rukka Sombolinggi, mengatakan bahwa dibalik baju adat yang dikenakan presiden ada cerita “potret gelap” masyarakat adat seperti yang dirasakan oleh masyarakat adat Pubabu dan masyarakat adat di berbagai daerah lainnya.

Hal sama terjadi dan dirasakan oleh berbagai kelompok masyarakat, seperti Suku Sakai (Riau) dan Tor Nauli (Tapanuli Utara). Ceritanya selalu tidak jauh berbeda, saat berhadapan dengan kekuatan korporasi, mereka selalu berada di pihak yang kalah.

Sangat menyedihkan, ditengah pandemi COVID-19 dan situasi ekonomi yang tidak menentu seperti sekarang ini, masyarakat adat di Indonesia harus berjuang melawan perusakan hutan yang tak kunjung selesai.

Walhasil, tidak jarang pula perjuangan mereka berakhir di bui dalam bentuk kriminalisasi.

Suku Sakai, Tor Nauli, Kinipan hingga Pubabu adalah sebentuk wajah potret masyarakat adat kita di masa pandemi ini. Selain berjuang di tengah ancaman ekonomi dan resesi, mereka juga harus berjuang melawan deforestasi, korporasi hingga kriminalisasi.

Virus corona seharusnya menjadi alarm bagi kita untuk sadar dan menghentikan segala bentuk pengrusakan alam dan perampasan hak-hak masyarakat adat. Pada akhirnya kita harus mengakui, bahwa mereka ‘masyarakat adat’ adalah harapan terbesar kita dalam menjaga keseimbangan alam.

Dimasa pandemi ini adalah saat yang sangat tepat bagi kita untuk berdiri bersama masyarakat adat. Pengakuan akan hak-hak masyarakat adat sangat perlu dan mendesak seiring dengan tindakan pemerintah yang terus menggenjot investasi, yang seringkali berbenturan dengan hak dan kepentingan masyarakat adat.

Upaya ini dapat dilaksanakan jika DPR bersama pemerintah bergegas secara serius untuk mensahkan RUU Masyarakat Adat. Jika hak-hak mereka dapat dipenuhi, kita berharap di kemudian hari kita tidak akan mendengar lagi adanya konflik, perampasan lahan, diskriminasi hingga kriminalisasi terhadap masyarakat adat, -masyarakat penjaga hutan dan kekayaan keragaman hayati kita.

 

* Arrum Harahap. penulis adalah Alumni Youth Leader Climate Change Indonesia dan Delegasi Indonesia di KTT Iklim PBB, 2019. Artikel ini adalah opini penulis.

 

***

Lahan sengketa Kinipan dengan perusahaan PT SML, hutan dibabat untuk sawit. Dok: Laman Kinipan, 9 Mei 2018

 

Exit mobile version