Mongabay.co.id

Dua Tahun Berjalan, Bagaimana Implementasi Inpres Moratorium Sawit?

Begini penampakan kayu di hutan adat Kinipan, yang bersengketa dengan perusahaan sawit. Foto: Save Kinipan

 

 

 

 

Dua tahun lalu, pada 19 September 2018, Presiden Joko Widodo menandatangani Instruksi Presiden Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit. Penghentian izin sementara ini selama masa tiga tahun. Dua tahun berlalu, kebijakan yang memberikan harapan dalam perbaikan tata kelola kebun sawit ini masih belum berjalan optimal. Keterbukaan atau transparansi, antara lain masih jadi masalah utama.

Dalam dua tahun inpres ini, pemerintah baru menetapkan luas dan peta kebun sawit 16,38 juta hektar dan 3,1 juta perkebunan sawit di kawasan hutan yang tersebar di 26 provinsi.

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menilai, dalam dua tahun Inpres Moratorium Sawit berjalan belum tampak kemajuan menuju tata kelola lebih baik.

Baca juga: Akhirnya Inpres Moratorium Sawit Terbit

Hasil pantauan Yayasan Madani Berkelanjutan, katanya, secara umum, lima provinsi dan lima kabupaten menyatakan komitmen tindaklanjut Inpres Moratorium Sawit, satu provinsi dan tiga kabupaten membentuk kebijakan daerah. Sedangkan yang lain, 19 provinsi dan 239 kabupaten, kota belum merespon.

Meskipun respon pemerintah daerah minim dan kelambatan implementasi inpres secara nasional, ada beberapa pemerintah daerah cukup progresif, seperti Papua Barat.

Urusan perizinan dan status kebun atau lahan sawit pun belum jelas. Analisis Yayasan Madani Berkelanjutan dengan menghimpun data pemerintah pusat, daerah, swasta maupun lembaga swadaya masyarakat, perkebunan sawit di Indonesia sampai 2019 seluas 31,1 juta hektar.

Rinciannya, ada 11,9 juta hektar izin sawit belum terbangun dengan 11 juta hektar milik perusahaan, 347.000 hektar BUMN dan 453.000 hektar tak terdata. Kemudian, sekitar 10,7 juta hektar izin sudah ditanam sawit, dengan 6.3 juta hektar punya perusahaan, 2,6 jta hektar tak diketahui, 1,3 juta hektar pemain kecil, 413.000 sawit muda. Lalu, sebesar 8,4 juta hektar sawit tak berizin, dengan rincian 1,4 juta hektar pola perusahaan, 4 juta hektar tak diketahui, 2,3 juta hektar smallholders dan 400.000 hektar sawit muda.

“Data ini, bisa menjadi pintu masuk dalam penyelesaian tata kelola, katanya dalam diskusi daring Dua Tahun Moratorium Sawit: Meneruskan Langkah Maju. Perbaikan tata kelola akan berjalan, kalau urusan perizinan diselesaikan.

 

Sawit dan hutan hujan di sekitar kawasan Proyek Tanah Merah, 2017. Foto oleh Nanang Sujana

 

Teguh juga menyoroti soal keterbukaan data minim. Dia bilang, membuka izin atau akses perizinan, sebenarnya menguntungkan bagi industri dan pemerintah. “Karena akan ada proses check and balance dari masyarakat.”

Seharusnya, kata Teguh, pemerintah tak menutup data bulat-bulat tetapi mengatur detil data yang bisa terbuka.

“Kalau dalam peta itu kan ada atribut, mungkin atribut-atribut yang sifatnya privacy itu yang ditutup. Tak perlu kalau lokasi, nama pemilik perusahaan.”

Dengan data terbuka, katanya, saat ada masalah di lapangan atau masyarakat ingin komplain atau pelaporan lebih mudah dan lebih cepat penyelesaian.

Baca juga: Bagaimana Implementasi Inpres Moratorium Sawit dalam Tataran Petani?

Dia contohkan, ada jutaan hektar lahan sawit ilegal. “Gimana masyarakat bisa berkontribusi untuk memperbaiki ini, gak ada yang tau datanya. Salah-salah kita dilaporkan ke polisi kan pencemaran nama baik dan seterusnya dan seterusnya. Ini masalah.”

Tiur Rumondang, Direktur Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Indonesia, mengamini transparansi itu penting pada era sekarang.

“Di zaman sustainable ini, keterbukaan memang menjadi satu kunci. Bukan hanya milik pemerintah, kami mengharapkan tonggak capaian semacam ini dapat ditunjukkan dalam kebijakan moratorium dalam skala implementasinya. Tujuannya untuk memenuhi maksud kebijakan itu sendiri,” katanya.

Dia bilang, dalam proses moratorium ini, keterbukaan masih belum tampak. Informasi terkait evaluasi HGU perkebunan sawit, katanya, masih tertutup. Padahal, informasi itu sangat perlu bagi sejumlah pihak di luar pemerintah guna mempromosikan sawit yang baik di Indonesia.

Tiur cerita seputar data perusahaan sawit di Indonesia, yang tak boleh terakses publik dengan bebas.

Melalui resolusi, kata Tiur, RSPO meminta seluruh anggota yang menguasai konsesi sawit agar buka informasi perkebunan dan luasan dalam bentuk shapefile. Jadi, di website RSPO akan menampilkan peta konsesi para anggota, termasuk dari Indonesia.

Kala itu, katanya, saat proses klarifikasi, pemerintah sempat berikan sinyal boleh buka. RSPO pun mulai bekerja dan memproses bikin Geo-RSPO untuk tampilan konsesi anggota RSPO di seluruh dunia.

Saat itu, RSPO belum mendapatkan dukungan pemerintah Malaysia. Hanya negara bagian Sabah yang bisa mempublikasikan data. “Tetapi bagian lain gak bisa. Indonesia bisa.”

RSPO pun menyiapkan teknis agar informasi perusahaan bisa masuk Geo-RSPO dan bisa terakses publik dalam bentuk shapefile.

“Pada saat kami proses membuka semua dan mempublikasikan dalam website RSPO itu, tiba-tiba ada imbauan dari pemerintah Indonesia,” katanya. Imbauan itu agar perusahaan tak memberikan informasi kepada publik.

“Tak ditujukan kepada RSPO tetapi pelaku usaha d Indonesia untuk tak membuka informasi itu,” kata Tiur.

Kemudian, informasi atau surat imbauan juga datang ke RSPO. Saat itu, katanya, RSPO tak langsung menanggapi dengan tindakan karena memang data belum sempat dibuka dan belum bisa terakses publik dalam bentuk shapefile.

RSPO pun, katanya, mengupayakan dialog dan berbagai macam pendekatan kepada pemerintah baik langsung maupun melalui anggota RSPO di Indonesia.

“Kami akhirnya mendapatkan kesempatan klarifikasi langsung dari [Kementerian] ATR/BPN melalui sebuah meeting dan surat.” Dalam rapat itu tetap menyatakan, informasi perusahaan tak bisa dibuka.

“Jadi sekarang, khusus untuk Indonesia itu tak dipublikasikan dalam bentuk shapefile. Hanya bisa dilihat tampilan datanya, tetapi tak bisa diakses untuk proses selanjutnya oleh pihak luar.”

Pada dasarnya, kata Tiur, anggota RSPO sendiri sangat terbuka. “Mereka mau membuka data-data untuk analisis dan monitoring serta verifikasi oleh audit. Yang tak boleh dibuka untuk publik.”

Tiur juga menyebutkan, sertifikasi RSPO di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2020, ada kenaikan 50%. Meskipun begitu, katanya, kenaikan angka ini tak merefleksikan keterhubungan dengan kebijakan moratorium sawit di Indonesia.

“Proses sertifikasi ini dilakukan perusahaan maupun petani dimotori para anggota yang sudah mendapatkan kejelasan hukum atas status lahan,” katanya.

Konflik lahan, katanya, juga masih terus terjadi. Inpres moratoium sawit, belum bisa mengakomodasi penyelesaian konflik lahan ini.

 

Dinamika di daerah

Djukmarian, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Boven Digoel dalam diskusi sama nyatakan, kalau Boven Digoel berupaya jalankan Inpres Moratoirum Izin Sawit. Mereka tak berikan izin-izin baru dan sedang evaluasi izin-izin lama.

Djukmarian menilai, transparansi penting. Ke depan, Pemerintah Boven Digoel akan menampilkan segala informasi mengenai perusahaan perkebunan sawit di laman resmi mereka.

Nanti, mereka akan mengalihkan seluruh proses perizinan manual menjadi elektronik, melalui online single submission (OSS) dan aplikasi cerdas layanan perizinan publik.

 

Kebakaran di konsesi perusahaan sawit PT Kumai Sentosa pada 5-22 Agustus 2019.

 

Dalam proses evaluasi izin sawit ini, salah satu temuan masalah terkait hak ulayat. Pemetaan dan pengakuan hutan adat di Boven Digoel, katanya, masih kurang padahal penting dalam perbaikan tata kelola perizinan di Papua.

Franky Simparante, Direktur Yayasan Pusaka, menilai, dua tahun kebijakan ini belum ada perkembangan berarti di Papua. Yayasan Pusaka, bekerja di wilayah Selatan Papua seperti Merauke dan Boven Digoel dan Sorong serta Sorong Selatan di Papua Barat.

“Yang cukup berarti selama dua tahun ini hanya di Sorong. Bupati mengeluarkan surat keputusan mencabut izin yang mereka keluarkan sebelumnya, baik izin lokasi maupun lingkungan dan izin usaha perkebunan,” katanya. Kalau di tempat lain, dia belum mendengarkan ada satu terobosan.

Keputusan Bupati Sorong pun, katanya, tak diketahui apakah berkait langsung dengan impelementasi Inpres Moratorium atau murni inisiatif bupati karena desakan masyarakat ulayat.

Inpres Moratorium Sawit ini, katanya, perlu ada koordinasi antar instansi pemerintah untuk evaluasi dan kaji ulang perizinan.

Meski pernah ada tim lintas instansi dibentuk untuk koordinasi, namun belum diketahui apa hasil kerja mereka.

Di Papua, terbit Inpres Moratorium sawit bersamaan dengan deklarasi Gerakan Penyelamatanan Sumber Daya Alam (GNPSDA), inisasi Komisi Pemberantasan Korupsi. Sektor perkebunan sawit menjadi salah satu perhatian.

“Saya lihat GNPSDA memang memfasiltasi koordinasi di tingkat instansi pemerintah dengan dinas-dinas terkait untuk mencegah praktik izin-izin dikeluarkan dengan cara korupsi. Sejauh ini, proses yang dibangun GNPSDA terutama di level daerah tidak terbuka dengan organisasi masyarakat sipil atau dengan masyarakat.”

Padahal, katanya, masyarakat dan organisasi masyarakat sipil yang banyak mengetahui informasi lapangan. Mereka lebih banyak pengawasan dibanding dinas-dinas berwenang.

Selain itu, katanya, tanpa tindak lanjut dalam bentuk program khusus yang didukung pendanaan, Inpres Moratorium dan GNPSDA tak akan membawa dampak pada perbaikan tata kelola perkebunan sawit di Papua.

Di Papua, dalam dua tahun Inpres Moratorium, protes masyarakat adat Papua terjadi di banyak tempat.

Di Boven Digoel, masyarakat suku Awyu aksi di Kantor DPRD dan Kantor Bupati pada Jumat, 28 Agustus 2020. Mereka menuntut pemerintah mencabut izin perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi dan sedang merencanakan perluasan lahan di wilayah adat Awyu.

Di Kabupaten Jayapura, masyarakat Kampung Garusa dan Kaptiauw melaporkan masalah mereka dengan PT. Rimba Matoa Lestari. Perusahaan ini disebutkan tidak memenuhi hak 20% plasma untuk warga pemilik ulayat. Sebagai ganti, warga mendapat uang Rp100.000 per keluarga per bulan.

 


Masyarakat merasa dirugikan dengan sistem pembagian ini dan meminta mengelola sendiri kebun plasma mereka.

Warga Kaptiauw di wilayah Muara Kalo Poroway mengeluhkan pencemaran sungai dan erosi. Kepiting, ikan, dan bia yang turun temurun jadi sumber pangan dan penghasilan warga ditemukan mati. Kematian ini diduga dampak pencemaran dari limbah pabrik.

Tingginya debit air dari drainase lahan perkebunan juga disebut-sebut mengakibatkan erosi di muara sungai dan mengancam keberadaan kampung.

Di Sorong Selatan, Suku Tehit yang berdomisili di Distrik Teminabuan dan Distrik Konda, menolak rencana ekspansi dua perusahaan sawit PT. Anugerah Sakti Internusa dan PT. Persada Utama Agromulia.

Sisi lain, rencana penanaman kembali sawit oleh petani plasma yang tergabung dalam koperasi Engkawa di PTNPN Arso Keerom, terhenti. Konflik dengan masyarakat adat membuat rencana penanaman kembali sawit di areal seluas 265 hektar itu tidak bisa lanjut.

“Saya rasa pelaksanaan [Inpres Moratorium Sawit] masih minim, bukan hanya di Papua, nasional juga sama.”

Kalimantan Barat juga berupaya implementasi Inpres Moratorium Sawit. Pemerintah Kalbar, sedang evaluasi perizinan kebun sawit.

Pada Oktober 2018, Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji, menyatakan, akan moratorium izin perkebunan sawit. Tak hanya lantaran ada Instruksi presiden, juga didorong banyak izin membebani Kalbar.

Midji menilai, perkebunan sawit hanya menguntungkan pengusaha besar yang membayar pajak di Jakarta.

Dengan evaluasi, harapan gubernur, petani sawit dan masyarakat di sekitar kebun merasakan langsung manfaat perusahaan.

Heronimus Hero, Kepala Dinas Perkebunan Kalbar, mengatakan, Gubernur Kalbar membuat surat tugas untuk verifikasi perizinan perkebunan sawit, tertanggal 29 Juli 2019.

“Jadi, yang kami lakukan penguatan data dan verifikasi. Tadinya target kami selesai tahun ini, tapi terkendala COVID-19,” katanya, kepada Mongabay.

Dalam proses verifikasi data, katanya, termasuk wilayah perkebunan sawit rakyat yang masuk dalam kawasan hutan. Menurut dia, rasionalisasi data luasan perkebunan sawit pun harus segera dilakukan untuk mengetahui pasti, berapa luasan perkebunan sawit berizin. Dia menekankan, luasan izin lokasi usaha perkebunan, tak serta merta hak guna usaha.

Untuk itu, rasionalisasi penting agar perusahaan perkebunan dapat mengoptimalkan lahan mereka. Kalau tidak mampu menanam, lebih baik kembalikan ke negara.

Hero bilang, batas waktu izin lokasi perkebunan, hanya satu tahun. Evaluasi ini, katanya, secara tak langsung membantu perusahaan karena lahan terbengkalai dapat menyebabkan masalah bagi perusahaan, seperti digunakan pihak tertentu atau terjadi kebakaran lahan.

Pemerintah Kalbar, katanya, sedang verifikasi pada 378 perusahaan perkebunan sawit terdaftar. Dari jumlah itu, 373 izin keluar di kabupaten. Hanya lima izin keluar di provinsi. Verifikasi data ini, katanya, melibatkan seluruh kabupaten dan kota.

“Kita baru verifikasi di Sambas, Landak dan Bengkayang, sebelum terkendala COVID-19,” katanya.

 

 

Dalam masa moratorium izin sawit, katanya, memang tak ada keluar izin baru, tetapi bukan mustahil luasan wilayah konsesi perusahaan bertambah. “Ini bisa jadi karena ada akuisisi perusahaan. Sepanjang areal perusahaan yang mengakuisisi tidak melebih batas areal yang ditentukan.”

Agus Sutomo, Manager Advokasi Yayasan Earth Equalizer, mengatakan, evaluasi menyeluruh atas izin-izin berbasis lahan dan hutan di Kalbar, mutlak.

Tomo memandang, Inpres Moratorium Sawit merupakan kebijakan bagus tetapi belum bisa menyetop deforestasi di konsesi.

Di Kalbar, katanya, indikasi deforestasi di dalam konsesi perusahaan sejak 2016- Agustus 2020 seluas 565.336 hektar.

Dia meyakini, areal di luar konsesi lebih besar lagi.

Kebun sawit di Kalbar didominasi perkebunan swasta dengan luas mencapai 1,09 juta hektar, kebun rakyat hanya 413.000 hektar dan perkebunan negara 56.700 hektar.

Erlangga, peneliti Yayasan Madani Berkelanjutan baru-baru ini menyatakan, periode 2011-2018, perkebunan swasta di Kalbar mengalami peningkatan luasan tertanam paling signifikan, 91.500 hektar, perkebunan rakyat rata-rata 19.700 hektar pertahun dan perkebunan negara justru berkurang 770 hektar.

Dari segi produktivitas, hasil kajian Madani menemukan, meskipun sering dipandang sebelah mata karena luasan kecil, perkebunan negara di Landak dan Sanggau, justru memiliki rata-rata produktivitas tertinggi dibandingkan perkebunan swasta dan rakyat.

 

Pemerintah berniat perbaiki tata kelola kebun sawit, salah satu lewat Inpres Moratorium Sawit. FotoL Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Pada 2017, produktivitas sawit perkebunan negara di dua kabupaten itu mencapai 3,3 ton perhektar, perkebunan swasta (kecuali Kota Singkawang) hanya 2,2 ton perhektar dan perkebunan rakyat hanya 2,1 ton perhektar.

Bagaimana kabar dari Jambi? Rudiansyah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi mendorong, moratorium tidak hanya setop pemberian izin baru, juga evaluasi izin yang diberikan.

Izin di gambut paling jadi sorotan di Jambi. Dalam catatan Walhi Jambi, sekitar 70% dari 751.000 hektar lahan gambut di Jambi terbebani izin konsesi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI).

Ratusan kanal dibuat perusahaan untuk mengeringkan gambut. Hasilnya, tak sedikit kubah gambut rusak. Rudi bilang, kondisi ini sangat rawan karena dapat menimbulkan dampak serius pada lingkungan.

“Tanpa moratorium pun sebenarnya izin baru itu tidak akan ada lagi. Kawasan sudah habis. Misalpun ada itu paling 100 hektar.”

Dengan evaluasi izin, katanya, pemerintah akan mendapatkan kepastian hukum dan berdampak positif pada investasi.

“Evaluasi izin itu salah satu mengevaluasi legal dan formal izin perusahaan, berapa luas, apa saja yang harus dia bayar. Kalau ini tidak dilakukan ada celah perusahaan akan berlindung di balik penguasaan lahan itu. Misal, izin 100 hektar tapi yang dikuasai lebih dari itu, maka perlu evaluasi,” kata Rudi.

Ancaman kebakaran hutan dan lahan tiap tahun di Jambi, katanya, bisa dicegah dengan evaluasi izin konsesi, terutama di kawasan gambut.

“Karena pemerintah bisa memastikan siapa yang punya hak, siapa yang bertanggung jawab jika kebakaran terjadi, jadi tidak bisa berkilah lagi.”

Banyak alihfungsi lahan gambut, memicu rentetan masalah yang kini dihadapi warga, mulai krisis air, hama pertanian, karhutla hingga konflik. “Kayak coklat di Kumpeh Ilir, dulu produktif setelah wilayah sekitar jadi izin sawit, mati pucuk kata orang, daun kuning, buah banyak ulat di dalam.”

Ada moratorium ikut memperlambat proses pengajuan izin perhutanan sosial, karena terkendala ada di wilayah moratorium (hutan), Namun, Rudi tetap mendorong terus lanjut untuk melindungai kawasan gambut di Jambi.

Agusrizal, Kepala Dinas Perkebunan Jambi mengatakan, sejak empat tahun lalu pemerintah tidak lagi mengeluarkan izin baru.

Saat ini, luas perkebunan sawit di Jambi mencapai 1,1 juta hektar. Lebih dari separuh milik masyarakat.

 

 

Keterangan foto utama: Konflik warga dan perusahaan sawit terus terjadi. Begini penampakan kayu di hutan adat Kinipan, yang bersengketa dengan perusahaan sawit. Inpres Moratorium Sawit, yang menandatkan evaluasi izin, belum menyentuh persoalan ini. Foto: Save Kinipan

 

Exit mobile version