Mongabay.co.id

Mengendus Aksi Kejahatan Satwa Liar di Lampung

 

 

Lampung merupakan wilayah yang harus diawasi sebagai “pintu masuk” perdagangan satwa liar ilegal, yang digunakan jaringan nasional maupun internasional.

“Lampung adalah penghubung Pulau Sumatera dan Pulau Jawa melalui Pelabuhan Bakauheni,” tutur Regional Wildlife Trade Specialist, Wildlife Crime Unit [WCU], Dwi N. Adhiasto, saat menjadi pembicara webinar Mongabay Indonesia bertajuk Mengendus Perburuan Satwa Liar di Lampung, Kamis [30/7/2020].

Dwi bukan orang asing, sudah 20 tahun malang melintang, membongkar bisnis haram yang tak pernah sepi ini. Salah satu jaringan internasional yang memanfaatkan Lampung sebagai pintu gerbang ke Jawa, kata Dwi, adalah komplotan Shia alias Ajhuitu, Yatno alias Yat, Asrin alias Lin, dan Safrizal alias Ijal.

Komplotan itu coba membawa empat singa afrika [Panthera leo melanochaita], seekor macan tutul [Parthera pardus], dan 58 ekor kura-kura Indiana star [Geochelone elegans] yang bernilai ratusan juta Rupiah, pertengahan Desember 2019.

Rute mereka adalah dari perairan Malaysia masuk Indonesia melalui pelabuhan tikus di Kota Dumai, Riau. Lalu, meluncur dengan kendaraan minibus Avanza ke Kota Pekanbaru, lalu menuju Lampung, untuk selanjutnya diseberangkan ke Pulau Jawa.

Penyelundupan ini gagal setelah Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Riau menangkap mereka, sebelum sampai Lampung.

“Pelabuhan Bakauheni Lampung, sama ‘bahayanya’ dengan pelabuhan di Riau yang sering dijadikan pintu gerbang penyelundupan satwa liar,” kata Dwi.

Dalam perkembangannya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menjatuhkan vonis empat tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider tiga bulan kurungan kepada Irawan Shia, Kamis [16/7/2020].

Hakim juga menjatuhkan hukuman kepada Yatno, Asrin, dan Safrizal yang terbukti bersalah, masing-masing mendapatkan dua tahun enam bulan penjara dan denda Rp1 miliar subsider tiga bulan kurungan, sebagaimana diberitakan Antara.

Baca: Lampung, Model Kawasan Konservasi Berbasis Lanskap di Sumatera

 

Gajah sumatera di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Lokasi perburuan

Selain sebagai pintu masuk dan keluar penyelundupan satwa liar, Dwi menegaskan, Lampung juga dijadikan pemburu sebagai area perburuan satwa liar. Satwa yang jadi target adalah badak sumatera yang diambil culanya, lalu harimau sumatera, gajah sumatera, beruang madu, hingga burung rangkong gading.

Kasus perburuan harimau terakhir yang tercatat di Lampung, pada 2 Juli 2019, berlokasi di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, tepatnya di Desa Batu Ampar, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat. Korbannya seekor harimau jantan bernama Batua. Empat jari kaki kanan depannya diamputasi, membusuk akibat jerat. Batu kini dirawat intensif di Taman Konservasi Lembah Hijau, Lampung.

WCU telah memetakan aksi perburuan dan perdagangan satwa liar. Modus operandinya mulai dari penyusupan ke kawasan lindung, pemeliharaan ilegal, pemalsuan dokumen, penyamaran proses pengiriman yaitu satwa liar dibarengi dengan barang lain, pemanfaatan jasa ekspedisi, bahkan ada yang menggunakan jasa pengamanan dari penegak hukum termasuk dari militer.

“Perburuan berkaitan erat dengan perdagangan satwa liar,” tutur Dwi.

Bahkan, untuk melancarkan perbuatan melanggar hukum itu, para pelaku mengakali dengan motif memanfaatkan satwa liar, mulai dari untuk kesenangan, sarana pengobatan, hingga budaya/adat dan kepercayaan.

“Tingginya permintaan tentu meningkatkan perburuan dan perdagangan.”

Baca juga: Disita, Gading Gajah Berbentuk Pipa Rokok di Lampung

 

Badak sumatera di SRS Way Kambas, Lampung. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Pola jaringan

Dwi menegaskan, ada dua pola jaringan pemburu satwa liar. Pertama, yaitu organized criminal group, jaringan yang sangat sistematis dan terkoneksi satu sama lain. Jaringan ini bukan kelompok mencari keuntungan saja, tetapi terstruktur mulai dari pemburu, penampung hasil buruan, hingga ke pembeli.

“Mereka saling komunikasi bila ada permintaan. Bahkan, saling bantu dan bekerja sama untuk memenuhi permintaan tersebut.”

Kedua, yaitu organized crime yang memilih berkompetisi dengan kelompok lain ketimbang kerja sama. Mereka akan memonopoli pasar dan mempunyai hirarki ke keluarga atau etnis.

“Cirinya, anggota mereka terbatas, menggunakan kekerasan untuk menjalankan bisnis dan dipengaruhi kebutuhan pasar,” tutur Dwi.

Kepala Seksi Konservasi Wilayah [SKW] III Lampung, BKSDA Bengkulu-Lampung, Hifzon Zawahiri menegaskan, pihaknya telah bekerja sama dengan Kepolisian Sektor Kawasan Pelabuhan [KSKP] Bakauhuni, Balai Karantina Pertanian Lampung, Flight, dan Jakarta Animal Aid Network [JAAN] untuk menekan aktivitas perdagangan satwa liar yang melewati Pelabuhan Bakauheni.

“Pemeriksaan gabungan di pelabuhan rutin kami lakukan,” kata dia kepada Mongabay, baru-baru ini.

Untuk meminimalisir perburuan di hutan Lampung, Hifzon menuturkan, pihaknya menggiatkan sosialisasi kepada masyarakat di desa penyangga. “Kami melakukannya juga ke pedagang burung serta perusahaan bus agar membantu mengurangi peredaran dan perdagangan satwa liar ilegal.”

 

Harimau Batua yang kini dirawat di Taman Konservasi Lembah Hijau, Lampung. Foto: Dok. SKW III Lampung BKSDA Bengkulu-Lampung

 

Kasus vonis pengadilan

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat [Kabid Humas] Polisi Daerah [Polda] Lampung, Komisaris Besar Polisi Zahwani Pandra Arsyad mengatakan, pihaknya terus mengejar pemburu dan penjual satwa liar di Lampung.

Pelaku yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, kasus terbaru penjual satwa liar dilindungi adalah Fahrizal Syarif [24], berstatus mahasiswa, warga Kotabumi, Lampung Utara.

Fahrizal ditangkap di lapangan parkir Museum Lampung, Jalan ZA Pagar Alam, Gedong Meneng, Rajabasa, Kota Bandar Lampung, pada 2 Juni 2020. Barang bukti yang didapatkan polisi dari tangan pelaku adalah empat anak siamang dan tiga burung hantu.

Modusnya menggunakan media sosial Facebook, memanfaatkan grup jual beli satwa peliharaan. Satu ekor siamang dijual seharga Rp1,7 juta dan burung hantu seharga Rp700 ribu.

Pelaku dijerat Pasal 21 Ayat [2] Huruf A Jo Pasal 40 Ayat [2] Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancamaan pidana paling lama lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp100 juta.

“Kami imbau netizen agar waspada dengan tawaran-tawaran melalui media sosial, karena bila telanjur bertransaksi maka ada pelanggaran pidana dan dapat diproses hukum,” ujar Zahwani, Rabu [26/8/2020].

 

 

 

Pelatihan jaksa lingkungan

Di Provinsi Lampung, Kejaksaan Agung bekerja sama dengan Wildlife Conservation Society Indonesia Program [WCS-IP] telah mengadakan pelatihan peningkatan kapasitas jaksa dalam menangani kasus kejahatan satwa liar ilegal pada 22-24 Agustus 2016.

Pelatihan ini, sebagaimana diberitakan Lampung Post, bertujuan menjadikan para jaksa sebagai garda terdepan untuk memberikan tuntutan maksimal dan memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan satwa liar.

Pendiri PROFAUNA Indonesia, Rosek Nursahid sangat mengapresiasi inisiatif Kejaksaan Agung yang rutin membuat pelatihan kepada kejaksaan tinggi negeri di berbagai provinsi. Menurutnya, pelatihan ini akan meningkatkan kualitas tuntutan jaksa, dengan demikian, tentutannya akan mempengaruhi putusan hakim.

“Semakin tinggi tuntutan jaksa dengan dukungan pembuktian yang kuat, hakim akan mendukung dengan vonis tinggi pula. Kita butuh hukuman yang membuat pelaku tidak mengulangi perbuatannya,” kata, awal September 2020.

 

Sebanyak 36 pipa rokok terbuat dari gading gajah ini diamankan dari para pelaku kejahatan di Lampung, pada 2016 lalu. Foto: Dok. WCU

 

Rosek juga menyorot Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 yang menjadi dasar konstitusi perlindungan tumbuhan dan satwa liar dilindungi di Indonesia. Menurut dia, undang-undang tersebut harus direvisi terkait ancaman pidana dan denda maksimal.

“Undang-undang ini hanya mengamanatkan pidana kurungan maksimal 5 tahun dengan denda paling banyak Rp100 juta. Sementara, hukuman yang dijatuhkan rata-rata satu tahun,” kata dia.

Dia menyarankan, lebih baik dalam undang-undang dinyatakan hukuman minimal saja, sehingga tuntutan jaksa dan vonis hakim bisa maksimal.

“Revisi harus kita dorong bersama, agar hukuman dan denda yang dijatuhkan lebih tinggi. Tujuannya, pelaku kejahatan satwa liar tobat,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version