Mongabay.co.id

Menuju COP 26, Pemimpin Dunia Harus Berhenti Beretorika

Krisis kesehatan global telah menggeser jadwal pertemuan internasional tingkat tinggi tentang perubahan iklim (COP) 26, yang mana menurut rencana sebelumnya akan dilaksanakan pada November 2020, ditunda hingga November 2021.

Keputusan untuk menunda konferensi memang sulit dihindari. COP membutuhkan perwakilan dari semua negara untuk hadir, yang tidak akan mungkin terjadi jika negara-negara tersebut berada pada tahap penularan dan penguncian virus yang berbeda.

Di Glasgow, tempat-tempat konferensi untuk sementara diubah menjadi rumah sakit lapangan COVID-19. Pertemuan online telah dipertimbangkan, tetapi ditolak. Para delegasi dengan tepat menyimpulkan bahwa negosiasi yang kompleks tidak dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi pertemuan virtual yang tersedia.

Sementara itu, perubahan iklim juga tidak bisa menunggu. Para pakar lingkungan telah mengingatkan bahwa pandemi ini terjadi dengan latar belakang krisis ekologi —yang mengancam kehidupan jutaan orang dan akan memperburuk risiko yang sudah kita hadapi.

Sama seperti virus yang menyebar cepat, perubahan iklim tidak memperhatikan perbatasan. Jika satu negara tidak aman, tidak ada negara yang aman. Tentunya, penundaan COP 26 bukanlah alasan untuk menunda aksi iklim.

Pada dasarnya Perjanjian Paris tahun 2015 merupakan capaian yang bagus, namun dalam perkembangannya tidak berjalan mulus. Sejak di bawah kepemimpinan Donald Trump, Amerika Serikat sudah enggan terlibat dan bergerak mundur dari kesepakatan.

Pada Konferensi Perubahan Iklim (UNFCCC-COP-25) pada bulan Desember 2019 di Madrid, pun gagal menanggapi keadaan darurat krisis iklim karena pembicaraan tersebut menjadi korban dari perbedaan utama antara negara-negara yang terbukti sulit untuk diselesaikan.

Baca juga: COP25: Kegagalan Menjaga Hutan akan Menempatkan Dampak Perubahan Iklim Pada Fase Kritis

 

Suhu global rata-rata dari 2010 hingga 2019 dibandingkan dengan rata-rata baseline dari 1951 hingga 1978. Sumber: NASA.

 

Ketidak-konsistenan dari sejumlah negara merintangi perundingan-perundingan yang membahas perubahan iklim untuk membuahkan hasil. Menurut Stefan Rahmstorf, biasanya hal ini disebabkan kekuatan lobi industri energi fosil untuk menghambat agenda pengendalian perubahan iklim dan beserta proses kebijakan yang mengarah ke hal itu.

Profesor Fisika Lautan di Universitas Potsdam itu juga menyampaikan bahwa ada lima perusahaan minyak raksasa yang menggelontorkan uang USD 200 juta per tahun untuk memperkuat lobi tersebut.

Sementara UNFCCC memakai prinsip nothing is agreed until everything is agreed dalam kerja mereka. Sistem ini tidak mengenal mekanisme pemungutan suara atau voting ―yang artinya, tanpa kesepakatan penuh dari Contracting Parties, tidak ada yang dihasilkan.

Bahkan lebih konkretnya, Mantan Sekretaris Eksekutif UNFCCC Christiana Figueres menyebut, kesepakatan internasional tidak akan terjadi sebelum cukup diatur secara domestik oleh Negara-negara peserta.

Intinya, Negara-negara peserta harus benar-benar mewujudkan komitmen untuk meredam dampak perubahan iklim dalam kebijakan nasional terlebih dahulu, baru dapat dibawa ke forum internasional.

Pada saat COP 26 semula dijadwalkan, negara-negara diharapkan untuk mengusulkan komitmen baru untuk membawa emisi ke nol bersih. Pada konferensi tersebut akan diusulkan dana tambahan untuk negara-negara berkembang, menepati janji-janji puluhan tahun yang belum ditepati.

Peran pasar karbon yang belum kelar dibahas akan dilanjutkan bersama dengan tanggung jawab negara atas kerusakan yang disebabkan oleh pemanasan global.

Pertemuan tersebut memiliki agenda penuh, dan penundaan selama satu tahun akan memiliki konsekuensi —yang pada akhirnya mempersulit pembatasan kenaikan suhu hingga 1,5–2 ° C di atas tingkat pra-industri, sebagaimana tujuan utama dari perjanjian iklim Paris 2015.

Agenda menciptakan kesepakatan bersama dalam penanganan perubahan iklim pun membutuhkan kepemimpinan global dan dorongan diplomatik yang kuat.

Dalam membangun kredibilitas COP 26, dibutuhkan kepemimpinan yang dapat memberikan contoh dan haluan yang nyata. Itu harus dimulai dari rumah pemimpinnya, Britania Raya, dengan tindakan untuk menempatkan diri di jalur emisi nol bersih.

 

Asap kebakaran hutan di Indonesia pada periode 2015-16, kebakaran hutan menyapu hutan gambut yang kaya karbon dan melepaskan simpanan karbon ke atmosfer. Foto: Rhett A. Butler

 

Britania Raya punya masalah besar untuk itu. Lebih satu dekade terakhir, Keuangan Ekspor Inggris Raya, badan kredit ekspor Inggris Raya (Ukef) telah menyalurkan dana 6 milyar pound ke proyek bahan bakar fosil di seluruh dunia.

Antara 2013 dan 2018, 96 persen dari dukungan Ukef untuk proyek energi global disalurkan ke usaha bahan bakar fosil- sebagian besar berada di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Pada Mei tahun lalu, Komite Perubahan Iklim (CCC) menyatakan bahwa Ukef “tidak selaras dengan tujuan iklim”. Sebulan kemudian, audit lingkungan komite menemukan bahwa kegiatan Ukef “merusak” target pembangunan dan iklim internasional Inggris. UK diminta untuk mengakhiri dukungannya terhadap proyek bahan bakar fosil baru pada tahun 2021.

Pemerintah Britania telah mengabaikan peringatan ini dan peringatan serupa. Pada KTT Investasi Inggris-Afrika awal 2020, 90 persen dari 2 milyar pound diinvestasikan dalam kesepakatan energi masuk ke proyek bahan bakar fosil.

Bulan Juli 2020, The Times melaporkan bahwa Ukef akan memberikan 1 milyar pound jaminan pinjaman untuk pipa gas darat pertama di Mozambik.

Sayangnya selalu ada alasan untuk melestarikan kebiasan buruk. Industri hidrokarbon telah lama mempromosikan gas sebagai “bahan bakar transisi” ke ekonomi bersih, dengan alasan emisi karbonnya yang lebih rendah daripada batu bara saat dibakar.

Total, perusahaan minyak Prancis, menggambarkan bahan bakar dalam strategi gasnya sebagai “pilihan terbaik yang tersedia saat ini untuk memerangi pemanasan global sambil memastikan dunia memiliki akses ke energi yang dibutuhkannya”.

Ini mengutip “skenario pembangunan berkelanjutan” Badan Energi Internasional, di mana konsumsi gas “akan melonjak” untuk memenuhi seperempat dari permintaan energi global pada tahun 2040.

Tetapi semakin banyak penelitian yang menunjukkan kebocoran metana selama proses ekstraksi dan transportasi lebih buruk bagi iklim daripada yang diperkirakan sebelumnya. Dan anggaran karbon untuk menahan pemanasan global hingga 2C, batas atas Perjanjian Paris, hampir habis.

Sudah saatnya pemerintah-pemerintah dunia, terutama yang menjadi pemimpin konferensi perubahan iklim, menyelaraskan retorika perubahan iklimnya yang luhur dengan tindakannya di luar negeri, dan menunjukkan kepada dunia jenis kepemimpinan yang diperlukan untuk menyukseskan COP 26.

Saya sangat sepakat dengan politikus Inggris, Matthew Pennycook, yang menyarankan bahwa harus ada tindakan segera untuk menghentikan pembiayaan proyek bahan bakar fosil baru di luar negeri dan peninjauan kembali keputusan untuk menggunakan uang publik untuk menjamin pipa gas darat yang berpolusi di Mozambik.

Ini berarti mengubah mandat Ukef sehingga semua investasi masa depannya sepenuhnya selaras dengan komitmen iklim internasional dan menggunakan pengaruhnya di antara lembaga kredit ekspor OECD lainnya untuk mendorong mereka untuk mengikutinya.

Itu berarti mengedepankan investasi dan dukungan untuk membantu mereka yang pekerjaannya bergantung pada pembiayaan proyek minyak dan gas di luar negeri untuk memulai transisi ke industri rendah karbon di masa depan. Untuk menjadi kredibel kita harus memimpin dengan memberi contoh.

 

Referensi:

[1] Matthew Pennycook, Britain Can’t be Climate Change Leader and Fund Fossil Fuels Abroad, The Times, 20 Juli, 2020.

[2] Leigh Elston di Maputo dan Megan Darby, Gas Curse: Mozambique’s Multi-Billion Dollar Gamble on LNG, Climate Home News, 10 Juli, 2020.

[3] Wawancara Stefan Rahmstorf oleh Deutsche Welle, 19 Juni 2019, dengan judul Carbon Trade; Solution to the Climate Crisis?,

[4] UN Climate Speech/14 Januari, 2013, 1 st GLOBE Climate Legislation Summit London, Statement by Christiana Figueres, Executive Secretary United Nations Framework Convention on Climate Change.

 

* Alek Karci Kurniawan, penulis belajar Hukum dan Kebijakan Internasional tentang Perubahan Iklim di Universitas Newcastle, Australia. Bekerja untuk prakarsa iklim dan hutan dataran rendah Sumatera di KKI Warsi Artikel ini adalah opini penulis.

 

 

***

Foto utama: Perubahan iklim akan membawa dampak pada krisis global, termasuk kekeringan. Foto: © Hudsӧn di Flickr di bawah lisensi CC BY-NC 2.0.

 

 

 

Exit mobile version