- COP25, yang awalnya dijadwalkan di Brasil, berubah ke Chile, tetapi kemudian dilaksanakan di Madrid yang membahas suhu global, kenaikan permukaan laut, kebakaran hutan, pemutihan karang, kekeringan ekstrim dan badai sebagai topik utama.
- Tetapi, para delegasi telah menetapkan standar relatif rendah untuk KTT ini, dengan tujuan utama COP25 menentukan aturan berdasarkan Artikel 6 dari Perjanjian Iklim Paris 2015 untuk menciptakan pasar karbon di antara negara, kota, dan perusahaan sebagai cara menciptakan insentif dalam strategi pengurangan emisi.
- Pakar kebijakan memperingatkan, konservasi hutan skala global belum secara aktif diinsentifkan sebagai bagian diskusi pasar karbon, yang kemungkinan penyimpangan tersebut tampaknya didukung oleh Brasil dan pemerintahan di bawah kendali Jair Bolsonaro yang telah menyatakan rencananya untuk mengembangkan area Amazon- hutan hujan terbesar yang tersisa di dunia dan yang paling penting menyerap karbon untuk mencegah perubahan iklim.
- COP25 juga tampaknya lalai menghitung karbon biomassa PBB, yang memungkinkan negara-negara untuk mengkonversi penggunaan pabrik batubara yang tidak terpakai untuk membakar pelet kayu untuk menghasilkan energi, dengan anggapan bahwa karbon yang dihasilkan dihitung sebagai “nol emisi” setara dengan matahari dan angin. Para ilmuwan memperingatkan bahwa pembakaran biomassa, jauh dari karbon netral, bahkan sebenarnya lebih buruk daripada membakar batubara.
Taruhannya tidak pernah lebih tinggi, dan krisis alam serta politik di dunia tidak pernah resah seperti ini, karena para delegasi berkumpul untuk acara tahunann KTT Iklim PBB. Indikasi dari urgensi skala global, parlemen Eropa minggu lalu menyatakan “darurat iklim dan lingkungan,” mendesak negara-negara Uni Eropa untuk berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca di angka nol pada 2050.
Namun, ketika delegasi yang mewakili 196 negara berkumpul selama dua minggu di Madrid, Spanyol, untuk COP25, Konferensi Antar-Bangsa, pengamat berharap tidak hanya pada inisiatif terobosan atau janji pengurangan karbon baru yang lebih mendalam saja. Sebaliknya, agar para negosiator dapat menetapkan agenda khusus dengan harapan hasil yang nyata setahun sebelum implementasi Perjanjian Paris 2020 yang disepakati secara resmi.
“COP ini adalah batu loncatan tentang apa yang harus terwujud tahun depan,” jelas David Waskow, Direktur Inisiatif Iklim Internasional World Resource Institute, selama telekonferensi dengan wartawan. “Ini adalah momen untuk mulai beraksi di COP untuk berkumpul di perjanjian multilateral dan menunjukkan bahwa kami dapat memenuhi komitmen yang ambisius dan yang memang dibutuhkan tahun depan.”

Tetapi, moto “Tunggu sampai tahun depan,” yang ibaratnya digaungkan setiap COP sejak Paris 2015, seperti tidak berdampak signifikan ketika emisi karbon global kian melambung ke tingkat rekor terparah dalam 3-5 juta tahun seilam. Suhu menjadi amat sangat tinggi [5 tahun paling hangat di dunia yang tercatat dalam lima tahun terakhir sejak 2014], dan alam yang seperti sedang mengamuk – percepatan kenaikan permukaan laut, diperparah dengan pencairan es, kebakaran hutan, banjir dan kekeringan yang memicu migrasi massal dan kelaparan.
COP tahun ini memiliki prioritas tertinggi dalam penetapan aturan untuk menciptakan pasar karbon di antara negara, kota, dan perusahaan sebagai cara untuk memberikan insentif bagi strategi pengurangan emisi yang agresif di berbagai sektor. Termasuk hutan – yang dianggap penting untuk memperlambat pemanasan global yang tanpa henti ini.
Insentif pengurangan emisi memang jelas diperlukan, tetapi apakah aturan baru tersebut akan dapat diimplementaskan secara efektif, menjadi sebuah pertanyaan lain. Dalam menghadapi meningkatnya bukti dan dampak perubahan iklim, 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia, yang merupakan penyumbang 75% dari semua emisi gas rumah kaca, dengan keras kepala menolak memenuhi komitmen penanganan emisi karbon mereka yang diperlukan untuk memenuhi Perjanjian Paris.

Kesenjangan emisi yang semakin lebar
Setelah gagal dalam upaya di New York pada September oleh Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, dalam rangka membuat pencemar gas rumah kaca utama dunia berkomitmen untuk mengurangi emisi lebih besar, peserta COP25 malah sebagian besar mengumbar harapan mereka pada mekanisme menciptakan pasar karbon dengan tujuan menempatkan harga pada karbon.
Seperti apakah mekanisme tersebut? Artikel 6 Perjanjian Paris -bagian dari buku aturan Paris- dirasa terlalu rumit dan kontroversial untuk dapat diselesaikan sejak setahun lalu di COP24 di Katowice, Polandia.
“Kita semua tahu bahwa ada kesenjangan emisi yang signifikan antara ke mana arah emisi versus ke mana mereka harus menghindari dampak terburuk perubahan,” Kelly Levin, peneliti World Resources Institute mengatakan dalam sebuah conference call. “Kita perlu memastikan gerakan nyata berdasarkan Artikel 6 ketimbang memperdebatkan ambisi Perjanjian Paris.”
Pernyataan Levin mendapat dukungan lebih besar dengan dirilisnya Laporan Kesenjangan Emisi Tahunan oleh PBB pada 26 November 2019. “Ringkasan dari temuan tersebut menggambarkan definisi kesuraman,” menurut laporan itu, dengan emisi yang meningkat terlalu cepat ke arah yang salah, yaitu naik 1,5 persen dalam tahun demi tahun selama dekade terakhir. Untuk tetap berada dalam perkiraan “batas aman” pemanasan global dan menghindari bencana iklim, emisi global harus menurun secara dramatis, sebesar 7,6 persen per tahun antara 2020 dan 2030.

Penjelasan Artikel 6
Dengan rendahnya urgensi yang ditunjukkan hampir semua negara industri, memangkas emisi tahunan signifikan, akan membutuhkan poros kebijakan energi yang agresif agar menjadi jalan keluar terbaik.
“Kegagalan dalam mengindahkan peringatan ini dan penolakan untuk mengambil tindakan drastis untuk mengatasi emisi, sama saja dengan kita akan terus menyaksikan gelombang panas, badai dan polusi mematikan,” kata Sekretaris Jenderal PBB Guterres dalam sebuah pernyataan.
Jadi, bisakah Artikel 6, dengan janjinya memanfaatkan kekuatan pasar, mencapai tujuannya? Begini cara kerjanya: negara-negara dengan emisi rendah akan diizinkan untuk menjual ‘jatah’ polusi yang tidak terpakai kepada penghasil emisi yang lebih besar yang membutuhkan kapasitas jatah polusi lebih besar. Akan ada batasan emisi secara keseluruhan untuk memastikan pengurangan secara bersih. Pasokan dan permintaan jatah emisi tersebut secara ideal mengarahkan pada penetapan harga karbon global yang secara finansial akan menghukum negara-negara yang melebihi janji emisi mereka berdasarkan Perjanjian Paris.
Apa yang salah? Banyak, menurut para ahli. Penghitungan karbon yang akurat menjadi sangat penting. Penghitungan ganda -dengan kedua negara mengklaim pengurangan kredit yang sama- harus dihindari. Demikian juga, proyek-proyek yang didanai yang menawarkan penyeimbangan karbon atau carbon offset [pengembangan energi bersih, misalnya], harus terbukti secara sah dan efektif mengurangi emisi.
“Aturan itu penting; tetapi kami tidak dapat menetapkan aturan pasar karbon yang dapat merusak integritas NDCs. Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional atas pengurangan emisi karbon di bawah Perjanjian Paris,” kata Kelly Kizzier, pakar iklim internasional dengan Environmental Defense Fund. “Pasar karbon yang layak dapat membuat peningkatan yang cukup signifikan tanpa biaya tambahan, tetapi hanya jika kita dapat membuat aturan tepat sasaran.”

Hutan: Peluang yang terlewatkan di Artikel 6?
Karena deforestasi adalah salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca setelah pembangkitan energi, Anda mungkin secara logis berpikir bahwa para delegasi yang bekerja merumuskan Artikel 6 akan membuatnya lebih menarik secara finansial – dan menjadikannya prioritas utama- untuk berinvestasi melestarikan hutan dan mempromosikan reboisasi, sehingga melindungi penyerap karbon yang berharga. Namun ternyata mereka belum melakukannya.
Hutan tidak diabaikan, menurut Levin yang kemudian menambahkan: “Belum ada percakapan sektoral [pertanahan] spesifik tentang hal ini. Ada begitu banyak lagi, masalah yang lebih kritis, perdebatan di sekitar isu-isu integritas lingkungan yang lebih luas, tapi belum ada spesialisasi di sekitar peran hutan.”
Jika ditanyakan apakah potensi penyelamatan berharga yang sejauh ini diabaikan, Lina Barrera, ahli kebijakan iklim bersama dengan Conservation International, mengatakan kepada Mongabay: “Ya, tentu saja. Lebih dari itu, kita tahu, kita tidak dapat mencapai tujuan Perjanjian Paris tanpa alam. Jika kita berhenti menggunakan bahan bakar fosil sekarang dan terus mengeluarkan emisi dari sektor pertanahan, kita tidak akan dapat mencapai tujuan Paris,” dan menahan kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius [2,7 derajat Fahrenheit] pada 2100 di atas 1900 sebagai dasar; kenaikan 1 derajat Celcius [1,8 derajat Fahrenheit] juga telah terjadi.
Tidak mengherankan, politik internasional merupakan jalan keluar yang tampak buntu. Dan Brasil – yang dipimpin oleh pemerintah yang anti terhadap upaya perlindungan Amazon, hutan hujan terbesar dan terpenting di dunia – adalah hambatan utama.
Rishi Bhandary, seorang fellow di lab kebijakan iklim di Universitas Tufts, mengatakan kepada Mongabay bahwa Brasil “sangat menentang” mengenai hutan yang dimasukkan dalam Artikel 6 dan terutama menentang “hubungan nyata antara Artikel 6 dan REDD+.” REDD+ merupakan kebijakan yang ditetapkan untuk “mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi” dengan membayar negara-negara tropis agar hutan tetap berkelanjutan.
Brasil telah menerima dana REDD+ dengan jumlah signifikan, terutama dari Norwegia, dengan tujuan melindungi area besar hutan hujan. Namun, Norwegia bahkan tidak menerima imbalan karbon atasnya, hingga saat ini. Dan pemantauan REDD+ di Brasil sangat kurang, Bhandary menjelaskan. Tapi semua itu ada di masa lalu. Di bawah Presiden Jair Bolsonaro, yang menjabat Januari lalu, Brasil semakin enggan dalam pengawasan dan pertanggungjawaban lebih ketat yang diperlukan berdasarkan Artikel 6. Bolsonaro juga sangat anti-dengan LSM lingkungan, yang seringkali menerima dana proyek REDD+.
“Saya rasa negara-negara ini tidak memiliki keberanian untuk menginisiasi dan berdebat mengenai beberapa sektor tertentu, terutama hutan, sebagai sektor yang harus dikeluarkan dari Artikel 6,” kata Bhandary.
“Jika Artikel 6, yang merupakan prioritas utama COP25 Madrid, tidak secara jelas mendefinisikan insentif untuk memerangi deforestasi, yang merupakan penyebab utama perubahan iklim, hal ini dapat merusak kepercayaan investor terhadap efektivitas perdagangan karbon,” Bhandary memperingatkan. “Sebuah celah pada Artikel 6 konservasi hutan juga akan mengurangi kelayakan Perjanjian Paris, pada saat insentif baru merupakan yang paling dibutuhkan untuk mempromosikan pengurangan perubahan iklim” lanjutnya.

Mengabaikan ‘celah’ biomassa
Dalam sebuah contoh kasus atas apa yang dianggap sebagai ironi oleh para kritikus, delegasi Uni Eropa mengatakan keprihatinan terbesar mereka dalam mengaplikasikan regulasi seperti Artikel 6 dengan tepat, adalah memastikan penghitungan karbon secara akurat. Berdasarkan konfederasi bersama dengan Direktif Energi Terbarukan yang mencakup ‘celah’ penghitungan karbon menurut PBB yang dinilai masih kontroversial- yang memungkinkan pembakaran industri kayu, atau biomassa, dapat dihitung sebagai sumber energi terbarukan setara dengan matahari dan angin.
Standar yang ditetapkan oleh regulasi ini menyatakan emisi karbon yang dihasilkan oleh pembakaran biomassa dihitung nol, tidak termasuk dalam penghitungan karbon PBB. Di atas kertas, negara-negara seperti Inggris, Denmark, dan Belgia sekarang melaporkan pengurangan emisi terkait biomassa 10-30 persen ketika sebenarnya emisinya telah meningkat- ironi yang lebih parah sekarang, menurut para ahli, mengingat deklarasi “darurat iklim” Uni Eropa yang dideklarasikan akhir bulan lalu.
Berdasarkan sebuah studi yang dijalankan satu dekade terakhir, dan sepucuk surat dari hampir 800 orang ilmuwan Uni Eropa awal tahun ini, yang telah menetapkan bahwa pembakaran pelet kayu di bekas pembangkit listrik tenaga batu bara menciptakan lebih banyak emisi daripada penggunaan batubara. Para ilmuwan juga menyimpulkan, ‘offset’ emisi yang diklaim dicapai dengan menanam pohon baru untuk menyerap karbon yang dilepaskan dari yang baru terbakar beberapa tahun belakangan, membutuhkan waktu puluhan tahun, jika bukan berabad, untuk menetralisir karbon yang ada- jangka waktu yang jelas-jelas tidak dimiliki umat manusia.

Keberhasilan COP25 kemungkinan akan dinilai berdasarkan integritas dari aturan final yang ditetapkan sepenuhnya, implementasi Perjanjian Paris pada 2020; tetapi dengan keadaan para negosiator lalai membahas hutan berdasarkan Artikel 6, dan celah dalam penghitungan karbon biomassa. Hal ini tentu bukan merupakan pertanda baik. Tidak mengherankan, mengingat KTT iklim di masa lalu dihindari. Apa yang baru adalah bukti atas kemauan politik yang dibutuhkan untuk kebijakan iklim yang lebih agresif.
“Kita semua sudah terlambat dalam mengambil tindakan yang perlu diambil,” tutur Barrera dari Conservation International. “Dan semakin lama kita menunda mengimplementasikan aturan [Perjanjian Paris] tersebut, kita semua pada dasarnya menempatkan diri kita sendiri dan planet ini dalam bahaya. Sementara, tidak ada waktu tersisa untuk menunda.”
* Justin Catanoso, Profesor Jurnalistik di Universitas Wake Forest, Carolina Utara
Penerjemah: Akita Arum Verselita. Artikel Bahasa Inggris di Mongabay.com dapat Anda baca di tautan ini.