Mongabay.co.id

Riset dan Pakar Kesehatan Bahas Bahaya Asap Karhutla di Masa Pandemi

Karhutla antara lain penyebab krisis iklim. Petugas BPBD Batanghari berusaha memadamkan api yang membakar lahan gambut. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Asap kebakaran hutan dan lahan terlebih di gambut, meningkatkan risiko terinfeksi Coronavirus Disease 2019 (COVID—19). Keduanya sama-sama menyerang sistem imunitas tubuh dan saluran pernapasan seseorang. Penelitian Greenpeace terbaru makin menguatkan ini.

Dalam penelitian itu, Greenpeace menyatakan, masyarakat di ASEAN akan mengalami kematian dini karena paparan asap karhutla.Terlebih, kebakaran di lahan gambut menciptakan proporsi PM 2.5 lebih tinggi dibandingkan kebakaran hutan dan lahan mineral. Di gambut, partikel halus jadi senyawa mematikan karena mudah terserap dan merusak kesehatan manusia.

Pada 2019, penelitian Universitas Harvard dan Universitas Columbia memprediksi kematian dini dampak asap kebakaran hutan dan lahan pada September-Oktober 2015, bisa 36.000 jiwa per tahun pada periode 2020-2030.

Ancaman nyata bagi penduduk di wilayah rentan terpapar asap karhutla. Tahun ini, risiko itu meningkat dengan ancaman pandemi COVID-19.

Budi Haryanto, Guru Besar Epidemiologi Pencemaran Udara dan Survelians Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia mengatakan, hingga kini pemerintah belum menghitung risiko angka kematian karena kebakaran hutan dan lahan maupun risiko angka kematian COVID-19, kala datang bersamaan dengan asap karhutla.

 

Sejumlah siswa menggunakan masker karena asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Meskom, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Perhitungan angka kematian pemerintah, katanya, bisa berbeda dengan peneliti. “Kalau peneliti kan menghitung prediksi kematian yang akan terjadi,” katanya pada diskusi 9 September lalu.

Prediksi ini dihitung dari intensitas di mana seseorang menghirup asap kebakaran hutan setiap hari, kemudian masuk sebuah modeling atau rumus maupun memperkirakan kematian dua atau tiga tahun lagi.

Penelitian dari Universitas Harvard dan Universitas Birmingham (Amerika Serikat) dan Universitas Bern (Belanda) pun menyebutkan, polusi udara dan partikulat PM 2.5 mampu menaikkan kematian akibat COVID-19.

Kementerian Kesehatan pun menyakini, pasien COVID-19 disertai komorbid atau penyakit penyerta lebih rentan terinfeksi.

Menurut Budi, dalam asap karhutla mengandung banyak bahan kimia yang tak dikenal dan terakumulasi di tubuh dalam waktu panjang hingga menyebabkan penyakit kronis.

Paru-paru manusia, katanya, akan terakumulasi oleh partikel asing ketika terus-menerus terpapar polusi udara. “Tidak semua partikel dihirup dapat keluar alami meski ada mekanisme pembersihan paru-paru secara alami melalui batu. Hingga, partikel itu mengendap di paru dan berbahaya bagi saluran pernapasan.”

Jeanette Siagian, dokter spesialis paru RSUD Doris Sylvanus, Palangkaraya mengatakan, asap karhutla memberikan dampak pada penurunan fungsi paru masyarakat Kalimantan, terutama Palangkaraya. Polusi udara dari asap jadi faktor komorbiditas atau pemberat bagi orang yang terinfeksi COVID-19.

Banyak pasien di RSUD, kata Jeanette, mengalami penurunan bahkan perburukan fungsi paru-paru.

Rusmadya Maharuddin, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia menyebutkan, banyak riset yang menunjukkan asap karhutla menyebabkan kematian dini.

 

Kebakaran hutan dan lahan di Pulau Sumba, NTT. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Bahkan 2017, katanya, riset menyebutkan karhutla di Kalteng membuat penduduk di Palangkara terpapar tingkat konsentrasi partikulat di atas 1.000 mikron gram per meter kubik.

Padahal, standar tingkat konsentrasi polusi PM10 WHO di daerah dalam 24 jam tak boleh melebihi 50 mikron gram per meter kubik.

“Ini merupakan tanggung jawab dari pemerintah terhadap kesehatan dan keselamatan warga negara ke depan. Karena itu, karhutla harus dihentikan.”

Jeanette bilang, asap karhutla menghasilkan partikel seperti PM 2.5, PM 10 dan karbon monoksida yang jadi salah satu penyebab penyakit pernapasan dan dapat terhirup di ruang tertutup.

Virus SARS-CoV-2, dapat menyerang dan mematikan sel paru-paru manusia hingga menyebabakan peradangan dan menghambat aliran oksigen ke paru-paru. Jadi, polusi udara yang dihasilkan asap karhutla dapat jadi komorbiditas bagi pasien terinfeksi COVID-19.

Budi mengingatkan, agar pemerintah mempertimbangkan faktor risiko wilayah yang memiliki polusi udara tinggi rentan terinfeksi COVID-19. “Kasus COVID-19 di Indonesia sudah sangat jelas mengkhawatirkan, perlu upaya drastis, data perlu diperbaiki dan lebih akurat, baik penyebaran maupun penyakitnya.”

 

 

Faktor kesehatan terabaikan

Masa pandemi ini tidak jadi pijakan pemerintah untuk berbenah pada sektor kesehatan dan kehutanan. Malahan DPR dan pemerintah maraton melahirkan RUU Cipta Kerja yang memberikan kelonggaran tanggung jawab korporasi termasuk yang wilayah izin alami karhutla.

“Para pemegang kekuasaan terdahulu sampai sekarang sangat meremehkan skala dampak karhutla terhadap kesehatan manusia. Setelah musim kebakaran yang menghancurkan pada 2015, angka resmi untuk korban tewas 24 nyawa. Sebaliknya, ahli epidemiologi memperkirakan puluhan ribu orang mengalami kematian dini,” kata Rusmadya.

Pembahasan RUU Cipta Kerja, katanya, harus segera setop karena regulasi ini sarat pada kepentingan korporasi.

“Korporasi seolah-olah diberi karpet merah untuk merusak, dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan konsisten tidak menunjukkan empati terhadap kebutuhan riil masyarakat untuk menghirup udara dan lingkungan yang sehat.”

Pemerintah, katanya, sangat penting tegakkan kendali terhadap berbagai regulasi terkait pencegahan pembukaan hutan dan pengeringan lahan gambut, serta meminta pertanggungjawaban industri yang bertindak bebas tanpa hukuman. Juga, memastikan agar kesehatan masyarakat lebih didahulukan daripada keuntungan perusahaan.

 

 

Keterangan foto utama: Asap karhutla makin berbahaya bagi kesehatan di masa pandemi. Petugas BPBD Batanghari berusaha memadamkan api yang membakar lahan gambut. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version