Mongabay.co.id

Dorong Pengesahan, Koalisi Beri Catatan buat Draf RUU Masyarakat Adat

Begini hutan rimba Laman Kinipan, kini...Foto: dokumen Laman Kinipan

 

 

 

 

Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat masih berada di Badan Legislasi DPR. Masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat minta rancangan aturan ini segera masuk pembahasan dan pengesahan. Meski begitu, draf yang ada masih perlu banyak perbaikan, bahkan perlu dirombak.

Setidaknya ada 30 lembaga swadaya masyarakat bergabung dalam Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat. Dewi Rizki, Direktur Program SDG Kemitraan, mengatakan, berbagai kebijakan pemerintah keluarkan menyangkut masyarakat adat saat ini, justru jadi sandungan bagi mereka dalam menuntut hak sebagai bagian dari elemen anak bangsa.

“Perjuangan masyarakat adat selalu diposisikan sebagai penentang, ssebagai pihak yang dituduh dan di beberapa tempat jadi korban kerusakan lingkungan,” katanya dalam talkshow daring soal RUU Masyarakat Adat baru-baru ini.

Negara, katanya, belum memerdekakan hak masyarakat adat secara utuh meski itu mandat konstitusi. Terbukti, masih banyak kriminalisasi dan pembiaran terhadap masyarakat adat.

Dewi contohkan, kriminalisasi baru-baru ini terjadi terhadap orang adat Laman Kinipan yang berusaha mempertahankan hutan dari industri sawit.

Mengutip UUD’45 Pasal 18 b ayat 2, kata Dewi, negara mengakui dan menghormati hak masyarakat adat. Ayat ini ada penegasan kembali dalam Pasal 28 UUD’45 yang menyatakan, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman.

Bicara pengakuan tak hanya soal obyektif, juga subyektif. Ada enam hak dasar masyarakat adat perlu jadi perhatian dalam RUU Masyarakat Adat, yakni, hak atas wilayah adat, budaya dan spiritual, perempuan adat, anak dan pemuda adat. Juga, hak lingkungan hidup, dan hak memberikan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (free, prior and informed consent/FPIC).

Keenam hak ini, kata Dewi, mesti jadi perhatian dalam proses inklusi sosial masyarakat adat.

RUU Masyarakat Adat sudah diperjuangkan sejak 20 tahun lalu saat kongres pertama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Bagi Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN, RUU ini utang konstitusi Indonesia yang tak kunjung terpenuhi.

Alih-alih menerbitkan UU melindungi masyarakat adat–yang sudah terlebih dahulu tinggal di nusantara, bahkan sebelum Indonesia ada–, katanya, malah terbit berbagai UU untuk merampas wilayah dan hutan adat.

“Dari awal Indonesia dianggap negara kosong yang tak ada penduduknya. UU untuk melegalkan perampasan wilayah adat,” kata Rukka.

Berkaca dari kasus Laman Kinipan, katanya, masyarakat adat seperti bola ping pong, lempar sana sini, dari satu kementerian ke kementerian lain.

“Seperti terjebak dalam rumah besar tanpa pintu dan jendela. Tak bisa keluar, tak bisa kemana-mana.”

 

Hamparan tanah sudah bersih, yang sebelumnya hutan adat Malind Anim di Desa Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Nanang Sujana

 

Setelah melaporkan penyerobotan lahan oleh perusahaan sawit ke Komnas HAM, masyarakat adat Laman Kinipan mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Komnas HAM, katanya, tak punya wewenang eksekusi. KLHK lantas mengatakan, izin keluar dari Kementerian ATR/BPN. KATR mengatakan, hanya mengeluarkan izin di wilayah yang sudah dikeluarkan KLHK dari kawasan hutan.

“Dalam berbagai UU dikatakan hutan adat yang diusulkan harus clear and clean. Tidak mungkin masyarakat Kinipan mendapat pengakuan hutan adat dengan kondisi ini,” kata Rukka.

Untuk itu, katanya, RUU Masyarakat Adat perlu segera dibahas dan disahkan sebagai jembatan antara masyarakat adat dan negara. Hingga kini, paradigma pembangunan negara yang hanya untuk para investor, makin mengancam kehidupan masyarakat adat.

Rukka juga menyoroti ego sektoral di kementerian-kementerian yang membuat kebijakan malah mengorbankan masyarakat adat. Dia mengusulkan, ada lembaga permanen dan independen untuk mengatasi masalah sektorialisme ini.

“Sebuah Komnas Masyarakat Adat agar masalah sektoral dan pengaturan parsial saat ini bisa diselesaikan.”

 

Draf perlu perbaikan

Draf RUU di Baleg, katanya, masih jauh dari ideal. Kalau draf ini yang disahkan, tak akan mampu menjawab persoalan jurang antara masyarakat adat dan negara.

Draf ini belum memasukkan restitusi dan rehabilitasi untuk memastikan pemulihan bagi pelanggaran hak masyarakat adat di masa lalu. Pengaturan restitusi ini, katanya, bisa diatur dalam peraturan presiden atau peraturan pemerintah.

Penting juga, kata Rukka, dalam UU ini memastikan ada ketegasan perlindungan terhadap perempuan adat. Bagi AMAN, masyarakat adat lebih egaliter, menempatkan perempuan adat dengan lebih baik, cenderung punya legitimasi. “Ini akan membantu pemerintah bekerja lebih efisien melakukan revolusi internal untuk hal-hal yang tak sesuai nilai kemanusiaan.”

 

Ruang hidup Masyarakat Adat Talang Mamak, makin terhimpit. Pengakuan dan perlindungan pemerintah belum ada hingga wilayah dan hutan mereka sebagian besar sudah jadi bagian izin-izin perusahaan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Draf saat ini, katanya, masih banyak mengandung pasal berbahaya, seperti poin evaluasi yang bertentangan dengan semangat UUD’45.

“Masyarakat adat punya asal usul sebelum negara ini ada, hingga negara tak bisa mengevaluasi atau menghapus masyarakat adat. Ada tidak ada masyarakat adat, itu proses alamiah bukan proses yang bisa di-drive negara.”

Hal krusial lain, terkait penetapan masyarakat adat yang berbelit-belit. Mestinya, UU ini memberikan proses mudah dijangkau dan bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat adat. Cukup dengan identifikasi diri dengan validasi orang sekitar dan disahkan pemerintah.

“Bagaimana proses ini bisa murah dan punya legitimasi.”

 

 

***

Bagaimana pengaturan masyarakat adat saat ini? Kementerian mana yang bertanggungjawab mengakomodasi masalah masyarakat adat?

Beberapa kementerian punya aturan sendiri soal masyarakat adat. Kementerian Dalam Negeri dapat memfasilitasi pengakuan masyarakat hukum adat lewat UU No 6/2014 tentang Desa. Dalam Pasal 96 UU ini pemerintah bisa penataan masayarakat hukum adat dengan penetapan desa adat.

Dalam Pasal 109 UU ini, juga diatur soal lembaga desa adat.

Dalam pelaksanaan UU ini, Kemendagri telah mengeluarkan Permendagri No 52/2015 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Dengan permendagri ini, katanya, masyarakat adat bisa diakui hanya dengan surat keputusan bupati.

Wirahman Dwi Bahri, Kasi Penataan Desa Ditjen Bina Desa Kemendagri, mengatakan, saat ini minim sekali daerah mengeluarkan SK pengakuan masyarakat hukum adat.

“Sampai detik ini baru Siak, Sumatera Barat, dan Jayapura yang kami terima laporannya,” kata Wirahman.

Wirahman bilang, awal mula jumlah penduduk minim kalau mau bentuk desa. Kemudian, November 2019, Ditjen Bina Desa mengeluarkan surat edaran meminta kepala daerah mengidentifikasi masyarakat adat di daerahnya dan menetapkan sebagai desa adat tanpa harus terkendala penduduk.

“Kemendagri sangat mendorong bagaimana masyarakat hukum adat memiliki peran dalam pembangunan nasional,” kata Wirahman.

Kemendagri, juga sudah menyiapkan lembaran penetapan siap pakai kalau ada kepala daerah hendak laporan masyarakat adat di daerahnya.

Dia sepakat draf saat ini perlu pembahasan lebih lanjut mengingat sebagian isi tercantum di Permendagri No 52/2015, misal, soal masyarakat adat di lintas kabupaten atau provinsi penetapan oleh Menteri Dalam Negeri.

Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) juga mengatur soal tanah ulayat, dengan catatan selama masih ada dan tak bertentangan dengan UU dan peraturan lebih tinggi.

Pada Pasal 5 UUPA juga mengatakan hukum agraria adalah hukum adat sepanjang yak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, serta mengindahkan unsur-unsur bersandar pada hukum agama.

Husaini, Direktur Pengaturan dan Penetapan Hak Tanah dan Ruang Kementerian ATR/BPN, bilang, merujuk UUPA, hak ulayat (adat) betul-betul diakui selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara.

“Tanah ulayat harus ada subyek haknya.”

Dia akui seringkali konflik di tanah terjadi karena banyak hak guna usaha (HGU) dari pelepasan kawasan hutan tumpang tindih dengan tanah ulayat.

Menurut Rahma Mary, Ketua Manajemen Pengetahuan YLBHI, karena data HGU tertutup dan tak bisa terakses publik.

“Ketertutupan data HGU tidak berdasar. Itu tergolong informasi yang harus dibuka.”

Bagi kementerian, data ini dianggap data privasi layaknya data nasabah bank yang tak bisa dibuka untuk publik. Husaini bilang, Kementerian ATR/BPN berencana membentuk direktorat baru khusus tanah ulayat dan kelembagaannya.

 

 

Yando Zakaria, antropolog dan pendiri Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat menilai, kehadiran negara dalam kehidupan masyarakat adat, alih-alih melindungi, justru membunuh dengan persyaratan dan mekanisme pengakuan tak operasional.

Dia contohkan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 35/2012 dan Permen LHK No 21 tentang Hutan Adat serta beberapa aturan KATR/ BPN berbelit dan menyulitkan masyarakat adat mendapatkan pengakuan.

Selama ini, katanya, kebijakan negara mengatur masyarakat adat sangat berorientasi politik. “Perlu pengakuan secara perdata.”

Secara sosiologis antropologis, katanya, masyarakat adat bisa teridentifikasi berdasarkan nama dan alamat (by name by address).

“Kita bisa verifikasi itu secara sosiologis. Bukan pengakuan subyeknya namun bagaimana meng-address hak-haknya,” kata Yando.

Karena itu, katanya, mengubah paradigma pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dari politik ke perdata harus dengan mengadministrasi hak-hak dasar mereka tanpa harus mendahului dengan pengakuan subjek.

“Dengan catatan draf RUU sekarang harus dirombak total. Jika tidak alih-alih jadi perlindungan, malah lebih membunuh masyarakat adat.”

Abdon Nababan, Dewan Pengawas AMAN mengatakan, Permendagri 52/2015 merupakan konsesus berbagai pihak namun tak diakui KLHK. Dalam Permen LHK No21, KLHK ngotot meminta perda—yang perlu waktu panjang dan biaya mahal karena mensyaratkan pelibatan DPRD dan rapat paripurna– sebagai syarat pengakuan.

“Seperti ada negara dalam negara. Kalau permendagri itu ditaati sebenarnya sudah beres ini dari kemarin,” katanya.

Dia juga menyoroti, rencana pemerintah mengesahkan UU Cipta Kerja yang tak memberikan proteksi hukum bagi masyarakat adat dan bisa memicu konflik di mana-mana.

“Kasus Kinipan bisa terjadi di banyak tempat. Apa itu yang kita inginkan?”

Untuk menengahi berbagai kebijakan soal masyarakat adat ini, Abdon mengusulkan, perlu kebijakan satu peta yang memasukkan masyarakat adat sebagai bagian, termasuk meletakkan semua data HGU di sana.

Abdon sepakat dengan Komnas Masyarakat Adat. Di beberapa negara lain seperti Filipina dan Amerika Latin, efektif membantu pemerintah menyinkronkan berbagai kebijakan dan kepentingan masyarakat adat.

 

 

Keterangan foto utama: Hutan ada Kinipan, yang tumpang tindih dengan konsesi perusahaan dan pohon-pohon mulai ditebangi sejak 2018/ Foto: warga Kinipan

Exit mobile version