Mongabay.co.id

Pandemi Tidak Menghentikan Upaya Penyelamatan Orangutan di Kalimantan Barat

 

 

Unit Penyelamat Satwa Liar Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Kalimantan Barat, Seksi Konservasi Wilayah [SKW] I Ketapang, bekerja sama dengan International Animal Rescue [IAR] Indonesia kembali menyelamatkan satu individu orangutan peliharaan.

Tim mengevakuasi satwa dilindungi ini dari Dusun Ampon, Desa Krio Hulu, Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Sabtu [29/8/2020] lalu. Di masa pandemi COVID-19, tim tetap melakukan tindakan penyelamatan, dengan tetap memperhatikan prosedur kesehatan.

Orangutan betina ini awalnya dipelihara ilegal oleh seorang warga di Dusun Ensayang, Desa Karang Betong, Kecamatan Nanga Mahab, Kabupaten Sekadau. Menurut pengakuannya, dia mendapatkan orangutan ini ketika bekerja kayu di wilayah Babio, Kabupaten Sekadau.

Ketika ditemukan, orangutan yang diberi nama Covita tersebut, mengalami cedera kaki kanan. Selama dipelihara, Covita dirantai di sebuah rumah walet dan diberi makan nasi, jambu monyet, air gula, dan susu kental manis.

Baca: Samson dan Boboy Akhirnya Kembali ke Kalimantan Barat

 

Covita yang diselamatkan dari peliharaan masyarakat di Dusun Ampon, Desa Krio Hulu, Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Foto: IAR Indonesia/Rudiansyah

 

Penyelamatan Covita dimulai ketika seorang warga desa lain, meminta sang pemilik untuk menyerahkannya ke pihak berwenang. Disebabkan tempatnya tinggalnya sulit dijangkau, si pemilik orangutan ini membawa Covita ke Dusun Ampon yang lebih mudah diakses. Untuk mencapi Dusun Ampon, tim gabungan harus melakukan perjalanan darat selama 8 jam dari Pusat Penyelamatan Orangutan IAR Indonesia di Desa Sungai Awan, Ketapang, yang dilanjutkan dengan perahu motor selama 3 jam.

Berdasarkan hasil pemeriksaan gigi oleh dokter hewan IAR Indonesia, Adisa, Covita diperkirakan berusia 2,5 tahun. Dia mengatakan, ada tonjolan pada tulang paha kanannya. “Kemungkinan besar bekas luka yang dialaminya dulu ketika ditemukan. Selain itu, Covita menderita penyakit kulit yang membuat sebagian kulitnya mengelupas dan rambutnya rontok di kedua kaki dan punggungnya,” jelasnya lagi.

Covita saat ini dibawa ke IAR Indonesia yang memiliki fasilitas pusat rehabilitasi satwa untuk menjalai karantina selama 8 minggu. Pemeriksaan dilakukan untuk memastikan Covita tidak membawa penyakit berbahaya yang bisa menular ke orangutan lain.

Ini adalah kali kedua IAR Indonesia bersama BKSDA Kalimantan Barat menyelamatkan orangutan dari dusun yang sama. Sebelumnya, pertengahan tahun lalu, tim menyelamatkan satu bayi orangutan yang juga menjadi korban pemeliharaan.

Beberapa hari sebelumnya, jajaran Polres Singkawang, mengevakuasi seekor orangutan betina, usia lima tahun, yang dipelihara warga di Gang Wak Tapak, Kelurahan Tanjung, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Mempawah.

Kasat Reskrim Polres Mempawah, AKP Muhammad Resky Rizal mengatakan, Ariyadi, warga yang memelihara bayi orangutan tersebut cukup koorperatif menyerahkan peliharaannya. “Kami berkoordinasi dengan BKSDA Provinsi Kalbar, untuk penanganan selanjutnya,” ujarnya belum lama ini.

Baca: Meski Bukan Ibu Kandung, Monti Tetap Asuh Anggun di TN Bukit Baka Bukit Raya

 

Covita selama dipelihara, dirantai di sebuah rumah walet dan diberi makan nasi, jambu monyet, air gula, dan susu kental manis. Foto: IAR Indonesia/Rudiansyah

 

Bahaya zoonosis

Tantyo Bangun, Ketua Umum Yayasan IAR Indonesia mengatakan, di masa pandemi, penyerahan satwa liar dilindungi dapat mengurangi kemungkinan bahaya penyakit menular. “Semoga upaya karantina dan rehabilitasi Covita berjalan baik sehingga dapat dilepasliarkan ke habitat alaminya,” ujarnya.

Direktur Program IAR Indonesia, Karmele L. Sanchez menegaskan, sudah saatnya kita semua menghentikan pemeliharaan orangutan yang seharusnya tinggal di hutan.

“Kita tidak pernah tahu virus, bakteri, atau penyakit apa yang dibawa satwa liar dan ditularkan ke manusia. Jika masyarakat tidak mau menyerahkan orangutan, diperlukan penegakan hukum. Sebab, hal ini bukan lagi isu konservasi spesies atau kesejahteraan satwa melainkan isu kesehatan manusia global,” tambahnya.

Baca: Zoonosis, Virus Corona, dan Perburuan Satwa Liar di Sekitar Kita

 

Covita saat ini dibawa ke pusat rehabilitasi satwa IAR Indonesia di Ketapang, Kalimantan Barat. Foto: IAR Indonesia/Rudiansyah

 

Kepala Balai BKSDA Kalimantan Barat, Sadtata Noor Adirahmanta, menyatakan hal senada. DNA orangutan yang sangat mirip manusia memungkinkannya menjadi perantara berpindahnya penyakit yang dibawa kepada manusia. Begitu pula sebaliknya manusia dapat menularkan penyakit yang dibawanya kepada orangutan.

“Jika proses penularan ini berlangsung cepat maka tidak mustahil terjadi bencana kesehatan secara luas. Selain itu, pemeliharaan ilegal tumbuhan dan satwa liar dapat memberikan dampak buruk bagi kedua belah pihak.”

Perubahan perilaku alami orangutan akibat dipelihara, merupakan kerugian besar bagi orangutan itu sendiri, karena akan sulit bertahan hidup di alam ketika dilepasliarkan. Orangutan tidak mampu mengenali pakan alaminya, tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan, dan sebagainya.

Menurutnya, sebagian besar masyarakat sudah paham bahwa orangutan merupakan satwa dilindungi dan memeliharanya adalah perbuatan melanggar hukum. Beberapa kesalahan kasus penyerahan satwa liar sering diawali dengan temuan satwa liar tersebut oleh masyarakat di pinggir hutan, yang merupakan habitatnya.

“Opsi yang bisa diambil adalah menggiring kembali ke dalam hutan, yang tentu saja perlu melibatkan ahli atau pihak berwenang. Menangkap, memelihara dan menyerahkan ke pihak berwenang tidak selalu menjadi langkah tepat,” jelasnya.

Baca: Refleksi Pandemi Corona: Virus Menyerang Akibat Manusia Merusak Lingkungan

 

Sinar bersama induknya Susi yang terpantau di Gunung Palung. Foto: Dok. IAR Indonesia

 

Kelahiran

Di saat pandemi, kegembiraan hadir di lingkungan Taman Nasional [TN] Gunung Palung dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat. Orangutan hasil rehabilitasi bernama Susi melahirkan bayi betina, awal Maret 2020 lalu. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan [LHK], Siti Nurbaya, memberikan nama sang bayi Sinar.

Sinar merupakan bayi orangutan kedua yang lahir di Gunung Tarak. Kawasan ini berbatasan langsung dengan wilayah TN Gunung Palung. Kelahiran itu diketahui tim monitoring IAR Indonesia yang memantau perkembangan Susi empat tahun terakhir.

Susi sebelumnya merupakan orangutan peliharaan yang diselamatkan pada 30 Juli 2011. Kondisinya saat itu memperihatinkan, rantai terpasang di lehernya yang menyebabkan infeksi terbuka. Bahkan terdapat karet yang tertanam di kulit lehernya. Setelah melalui rehabilitasi, Susi dilepasliarkan di hutan lindung Gunung Tarak pada 20 Mei 2016.

 

Susi sang induk, merupakan orangutan rehabilitasi yang dilepasliarkan di hutan lindung Gunung Tarak pada 20 Mei 2016. Foto: Dok. IAR Indonesia

 

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem [KSDAE], Kementerian LHK, Wiratno dalam keterangan tertulisnya menyatakan, keberhasilan pelepasliaran orangutan rehabilitasi merupakan bukti kerja sama seluruh pihak.

Orangutan merupakan spesies “payung” yang berperan besar menjaga ekosistem. Hal tersebut dikarenakan daya jelajahnya yang luas dan berdampak positif terhadap kelestarian ekologi di tempat hidupnya dengan menebar biji.

“Masyarakat sekitar lokasi rehabilitasi juga banyak terlibat, mulai dari merawat, melepasliarkan, hingga memantau satwa di habitat alaminya. Semoga kesadaran masyarakat untuk melestarikan orangutan semakin tinggi,” terangnya.

Kepala Balai TN Gunung Palung, Ari Wibawanto menambahkan, hutan lindung Gunung Tarak berperan penting dalam keberhasilan kelahiran ini, terutama keamanan. “Gunung Tarak memiliki jenis pakan melimpah, yang penting mendukung keberlangsungan hidup orangutan yang dilepasliarkan di sana,” katanya.

 

Sinar merupakan bayi orangutan kedua yang lahir di Gunung Tarak. Foto: Dok. IAR Indonesia

 

Terpisah, Kepala Dinas LHK Provinsi Kalimantan Barat, Adi Yani menyampaikan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat telah mengambil kebijakan penting terkait penyelamatan habitat dan koridor satwa dilindungi.

Kebijakan tersebut adalah dengan menetapkan hutan lindung Gunung Tarak sebagai Kawasan Ekosistem Esensial melalui Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 718/Dishut/2017 tanggal 17 November 2017, tentang Penetapan Kawasan Ekosistem Esensial di Kabupaten Kayong Utara dan Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat.

“Hutan Lindung Gunung Tarak merupakan kawasan penyangga dari TN Gunung Palung yang merupakan lokasi besar tempat hidupnya spesies orangutan. Terjaganya ekosistem satwa liar dilindungi membuat keseimbangan alam terpelihara. Hal positif yang sangat baik terhadap kualitas hidup masyarakat luas, tentunya,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version