- Orangutan yang dilepasliarkan di hutan tentunya sudah melewati proses rehabilitasi.
- Monti dan Anggun adalah pasangan orangutan ibu dan anak yang disatukan karena keadaan di pusat rehabilitasi orangutan IAR Indonesia di Ketapang, Kalimantan Barat. Monti berhasil menjadi ibu yang baik bagi Anggun, melindungi dan membimbingnya mencari makan, hingga keduanya dilepaskan di TNBBBR.
- Bayi orangutan akan bersama induknya pada usia enam hingga delapan tahun, atau sampai bisa mencari makan sendiri. Dari induknya, ia akan belajar bertahan di kehidupan liar, seperti memanjat, mencari makan, dan membuat sarang.
- Saat ini, IAR Indonesia menampung lebih 90 individu orangutan untuk direhabilitasi. Proses ini butuh waktu 7-8 tahun untuk mengembalikan sifat liar orangutan, namun semua itu tergantung kemampuan masing-masing individu.
Sebelum menjalani kehidupan liar di habitat aslinya, tiap individu orangutan mempunyai kisah berbeda di pusat rehabilitasi. Kebanyakan membuat hati kita miris.
Adalah Monti dan Anggun, yang memulai kehidupan baru sebagai ibu dan anak. Monti merupakan orangutan usia 12 tahun yang diselamatkan di Desa Sungai Awan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, pada November 2009. Sementara Anggun, ditemukan pada 2012, di Desa Sungai Melayu, Kabupaten Ketapang. Saat itu usianya sekitar 3 tahun, sebuah siklus yang seharusnya ia berada dalam asuhan induknya.
Bayi orangutan biasanya akan bersama induknya pada usia enam hingga delapan tahun, atau sampai bisa mencari makan sendiri. Bayi orangutan akan belajar bertahan di kehidupan liar, seperti memanjat, mencari makan, dan membuat sarang. Namun, sering sang bayi terpisah dari induknya akibat perburuan yang berakhir di tangan manusia. Jika fase asuhan ini terputus, besar kemungkinan bayi atau anak orangutan akan mati.
Untuk mengembalikan sifat dan kemampuan alami Anggun, maka Monti dipilih sebagai induknya, di pusat rehabilitasi orangutan di International Animal Rescue [IAR] Indonesia di Ketapang.
Strategi ini berhasil. Monti menjadi ibu yang protektif dan Anggun lebih percaya diri untuk mempelajari hal-hal baru. Anggun, kini sudah bisa mencari makan sendiri, tidak lagi bergantung pada makanan yang diberikan animal keeper.
Karmele Llano Sanchez, Direktur Program IAR Indonesia mengatakan, kondisi ini adalah bukti bahwa orangutan bisa menjadi ibu angkat. “Orangutan adalah satwa cerdas seperti manusia, Monti dan Anggun buktinya,” jelasnya, baru-baru ini.
Baca: Selama Hutan Dirusak, Konflik Manusia dengan Orangutan Tetap Terjadi

Strategi yang sama
Pola ini juga telah diterapkan pada pasangan Muria dan anak angkatnya, Zoya. Keduanya telah menikmati kehidupan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya [TNBBBR], sejak Februari 2019. “Kami sangat gembira mereka beradaptasi dengan baik selama setahun. Ini menjadi bukti pertama, benar bahwa proses rehabilitasi bisa dilakukan orangutan itu sendiri,” tambah Karmele.
Dengan strategi yang sama, Monti dan Anggun pun dilepasliarkan di TNBBBR, 11 Februari 2020 lalu. Hari itu, ada tiga individu orangutan lain yakni Merah, Ujang, dan Utat yang turut dikembalikan ke rumahnya.

Merah, ditemukan pekerja Pertamina di Tanah Merah, sendirian di tepi jalan dekat perkampungan. Ketika diserahkan kepada IAR pada Agustus 2012, usianya setahun.
Ujang, orangutan jantan 11 tahun yang diselamatkan dari tangan pemeliharanya di Sei Tolak, Ketapang. Ketika dievakuasi Juli 2010, perutnya kembung dan kulitnya pucat.
Utat sendiri adalah orangutan betina 9 tahun yang diselamatkan dari rumah warga pada Juli 2016 di Matan, Kabupaten Ketapang. Utat diberi makan nasi dan lauk pauk, sehingga tidak terbiasa makanan alami.
Terlalu lama dipelihara, menyebabkan orangutan tersebut kehilangan sifat liarnya, sehinga harus menjalani masa rehabilitasi. Proses ini bertujuan membuat mereka memiliki kemampuan bertahan hidup di hutan, tempat hidup sebenarnya.

Saat ini, IAR Indonesia menampung lebih 90 individu orangutan untuk direhabilitasi. Proses yang dapat mencapai 7-8 tahun untuk mengembalikan sifat liar orangutan, yang semua itu tergantung kemampuan masing-masing individu.
Sejak 2016, IAR Indonesia pun mendirikan stasiun monitoring untuk memantau orangutan rehabilitasi yang dilepaskan di TNBBBR. Tim yang terdiri warga desa penyangga kawasan, akan mencatat perilaku orangutan setiap dua menit, dari bangun sampai tidur lagi, setiap hari.
Proses pemantauan berlangsung 1-2 tahun, memastikan orangutan yang dilepaskan beradaptasi baik dengan lingkungan barunya. “Kita tidak bisa mensukseskan program ini tanpa partisipasi dan keterlibatan warga setempat,” ujar Karmele lagi.
Kepala Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, Agung Nugroho mengatakan, pelepasliaran dilakukan dengan melalui serangkaian kajian. “Setelah pelepasliaran, tim monitoring tetap bekerja. Harapannya, orangutan yang dilepaskan bertambah, membentuk populasi baru,” paparnya.