- Konflik manusia dengan orangután akan terus terjadi selama manusia merusak hutan yang merupakan habitat orangután.
- Pada 24 Januari 2020, satu individu orangutan jantan dewasa dievakuasi tidak jauh dari kawasan pertambangan. Hutan tempat hidup orangután ini juga dirambah, di Dusun 4 Desa Sungai Pelang, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
- Translokasi hanya solusi sementara penyelamatan orangutan, tidak mengurai akar masalah. Persoalan sebenarnya adalah alih fungsi dan rusaknya hutan akibat perambahan, pembalakan, pertambangan, perkebunan, dan permukiman.
- Terjadinya konflik manusia dengan orangutan, karena orangutan kehilangan habitat. Orangutan mencari makan ke kebun warga karena tidak ada pilihan.
Kurun waktu dua bulan, tim gabungan International Animal Rescue [IAR] Indonesia dan Wildlife Rescue Unit Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat Seksi Konservasi Wilayah I Ketapang, telah menyelamatkan beberapa individu orangutan dan seekor beruang madu. Rata-rata, satwa ini menderita akibat berubahnya habitat akibat kegiatan ekonomi manusia.
Pada 24 Januari 2020, satu individu orangutan jantan dewasa dievakuasi tidak jauh dari kawasan pertambangan. Tim juga menemukan lokasi pembalakan liar dekat lokasi itu, tepatnya di Dusun 4 Desa Sungai Pelang, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Tim gabungan memutuskan untuk mengevakuasi orangutan yang diperkirakan berusia lebih dari 20 tahun ini, ke IAR Indonesia untuk perawatan lebih lanjut. Untuk selanjutnya, dipindahkan ke hutan yang lebih baik.
Sebelum diselamatkan, warga menjerat orangutan bernama Inap ini, dengan tali yang menyebabkan luka lecet di tangannya. Direktur IAR Indonesia, Karmele L. Sanchez mengatakan, pihaknya meminta masyarakat untuk selalu melaporkan temuan orangutan. “Jangan menangkap tanpa prosedur, karena bisa membahayakan manusia dan orangutan itu sendiri,” jelasnya.
Konflik manusia-orangutan di Kalimantan Barat, kembali terjadi sejak kebakaran hutan dan lahan melanda pada Agustus 2019 lalu. Data tim Orangutan Protection Unit [OPU] IAR Indonesia menunjukkan, konflik berlangsung dari September hingga Desember 2019.
Baca: Sedih, Dua Orangutan Bertahan di Lahan Habis Terbakar

Sebelumnya, tim gabungan juga mengevakuasi dua individu orangutan, induk-anak, di kebun warga di Jalan Ketapang – Tanjungpura kilometer 9, Desa Sungai awan Kiri, Kecamatan Muara Pawan, Kabupaten Ketapang, 13 Januari 2020.
“Keduanya sehat, tidak perlu perawatan intensif. Kami bersama BKSDA Kalbar memutuskan untuk memindahkan ke hutan Sentap Kancang yang jaraknya lima kilometer dari lokasi penyelamatan,” ujar Argitoe Ranting, Manager Lapangan IAR Indonesia.
Hutan Sentap Kancang yang luasnya 40.000 hektar dinilai cocok, karena selain menyediakan ruang hidup yang luas, jumlah jenis pakan juga berlimpah. Kepadatan orangutan di dalamnya belum terlalu tinggi. “Translokasi hanya solusi sementara, tidak bisa mengurai akar masalah. Persoalan sebenarnya terletak pada alih fungsi dan kerusakan hutan,” jelasnya.
Baca: Senapan Angin, Ancaman Serius Pembantaian Orangutan di Alam Liar

Selain Sentap Kancang, Hutan Lindung Gunung Tarak pun ideal sebagai habitat orangutan. Wilayah ini kembali menjadi rumah orangutan yang diselamatkan dari kebakaran hutan di Ketapang. Epen, orangutan betina, dilepaskan pada 20 Januari 2020.
Epen diduga memiliki bayi karena masih menghasilkan air susu. Sedihnya, tim medis menemukan peluru bersarang di punggung dan pahanya, saat dilakukan pemeriksaan.
Hutan lindung yang dikelola Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] Wilayah Ketapang Selatan ini, sudah menjadi tempat pelepasan orangutan sejak 2014. Total, 16 individu dilepaskan di areal seluas 24 ribu hektar ini.
Baca juga: Naik Status, Perlindungan Orangutan Kalimantan dan Habitatnya Harus Serius

Hunian aman
Karmele menuturkan, translokasi orangutan memberikan kesempatan ke dua untuk mereka hidup. “Ini membahagiakan dan penuh harapan. Disebut kesempatan ke dua, lantaran habitat aslinya musnah akibat kebakaran hutan serta rusak karena alih fungsi lahan untuk perkebunan, pertambangan, dan pertanian,” ujarnya.
Terkait konflik manusia dengan orangutan, dia mengatakan, ini terjadi karena orangutan kehilangan habitat. Orangutan cari makan ke kebun warga karena tidak punya pilihan lain.
“Kami harap manusia sadar, tanpa hutan tidak hanya orangutan yang menderita. Manusia juga. Hunian aman dari gangguan dan ketersediaan pakan yang cukup, adalah solusi menekan konflik manusia dengan orangutan,” ujarnya.
Target kami adalah suatu saat nanti tidak ada lagi orangutan yang perlu diselamatkan. “Kalau hal ini terwujud, Ketapang akan menjadi contoh dan kebanggaan seluruh dunia, karena orangutan adalah spesies yang diperhatikan secara global,” jelasnya.

Penyerahan orangutan
Di Dusun Benatu, Desa Limpang, Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang, pada 7 Desember 2019, seorang warga bernama Idarno, menyerahkan satu individu orangutan ke BKSA Kalbar. Dia menemukan bayi orangutan, yang dinamai Aben ini, tanpa induk di tepi hutan konsesi perusahaan hutan tanaman industri [HTI] di Desa Limpang.
Kepala Desa Limpang, Rono Reagen mengaku pihaknya mengerti orangutan termasuk satwa dilindungi. “Saya sudah mengimbau warga mengenai jenis satwa apa saja yang tidak boleh diburu dan dipelihara,” jelasnya.
Kepala BKSDA Kalimantan Barat, Sadtata Noor Adirahmanta mengapresiasi tindakan warga Limpang. “Sudah semestinya, upaya-upaya konservasi melibatkan masyarakat guna mewujudkan pelestarian satwa liar yang optimal,” terangnya.
Dia menambahkan, pemahaman dan kesadaran warga untuk melestarikan orangutan dan melaporkan perjumpaan sudah meningkat. Di Ketapang, jumlah orangutan pemeliharaan yang di-rescue BKSDA dan IAR pada 2019 jauh menurun dibanding tahun sebelumnya.
“Mengingat, lebih dari 70 persen orangutan kalimantan [Pongo pygmaeus] hidup di luar kawasan konservasi, sehingga perjumpaan dengan masyarakat akan terjadi,” tegasnya.