Mongabay.co.id

Pariwisata Mati, Rumput Laut Hidup Lagi (bagian 1)

 

Pelabuhan Nusa Lembongan terasa sunyi pada 3 September 2020 lalu. Hanya satu speedboat yang menepi. Lebih banyak yang diparkir di tepi pantai dengan buang sauh menyebar di beberapa titik pantai.

Kesunyian ini adalah hal langka di Lembongan, salah satu pulau di Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali. Dalam lima tahun terakhir ini, pesisir Lembongan hanya sunyi saat Nyepi Laut, sebuah tradisi merehatkan laut satu hari dalam satu tahun dengan menghentikan aktivitas memancing, penyeberangan, dan lainnya.

Pandemi COVID-19 membuat Lembongan yang mirip pulau-pulau kecil di Gili-Lombok ini sepi sejak Maret 2020. Setelah penerbangan dari luar negeri ditutup. Deretan motor-motor yang disewakan berbaris penuh pasir dan debu. Tanda tak dioperasikan atau dirawat.

Hotel, villa, restoran berderet saling bertetangga juga sunyi. Bisa dihitung jari jumlah akomodasi pariwisata yang buka. Itu pun setelah Pemerintah Provinsi Bali membuka pembatasan kegiatan dan membuka turis domestik pada tengah Juli lalu.

baca : Nasib Petani Rumput Laut di Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida

 

Petani rumput laut menuju laut yang sedang pasang untuk merawat ladang rumput lautnya di Nusa Lembongan, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Lima menit berkendara dari dermaga Lembongan, keramaian terlihat di pesisir Selatan, selat laut Pulau Nusa Ceningan. Puluhan warga, orang tua dan anak remaja terlihat berkelompok duduk berteduh di bawah pohon atau pondokan-pondokan sederhana dari bambu.

Mereka tekun membersihkan tali pengikat rumput laut, dan mengikatkan kembali bibit-bibit rumput laut di satu baris tali antara 5-7 meter per helainya. Orang tua terlihat lebih cekatan, mengikat satu genggam rumput laut ke tiap helai tali tambang plastik.

Beberapa orang lain sibuk di hamparan lahan tempat pengeringan rumput laut aneka warna, ada hijau, merah kehitaman, dan cokelat. Pada Februari 2020, terakhir berkunjung ke lokasi yang sama, sangat sulit menemukan petani rumput laut ketika itu.

Kini lahan berupa tanah kosong yang disewa petani per are untuk aktivitas penjemuran ini penuh. Bahkan muncul deretan pondokan tempat menyiapkan bibit yang ramai sejak pagi sampai sore.

Lokasi penjemuran juga sampai pinggir jalan raya, depan restoran, dan pekarangan rumah. Sebuah pemandangan langka lima tahun terakhir ini. Pandemi memaksa warga kembali bertani di laut. Rumput laut yang menjadi simbol harapan sebelum industri pariwisata membuatnya punah.

Sepasang suami istri sedang sibuk di salah satu pondokan. Ketut Bunter, petani perempuan sedang menumbuk-numbuk sebuah karung besar berisi rumput laut kering. Ia hendak mengoptimalkan satu karung ukuran 100 kg ini dengan sebanyak dan seberatnya hasil panen kering dengan kadar air 30%.

Sementara suaminya, Made Jaya sedang mengikat bibit dengan kucuran peluh karena saat itu panas amat terik jelang tengah hari di pesisir Lembongan. “Untung ada rumput laut saat musim Corona ini, kalau tidak, kami tidak makan,” serunya bersyukur. Walau di sisi lain sedang sedih karena harga panen kering turun jadi Rp13 ribu/kg, yang sebelumnya Rp15 ribu/kg.

Keduanya selama ini tergantung pada rantai industri pariwisata di Lembongan walau tidak secara langsung. Made menjadi buruh bangunan seperti pembangunan villa, hotel, dan lainnya. Upahnya sekitar Rp200-250 ribu per hari. Kini, mereka menyewa lahan penjemuran satu are sekitar Rp1,2 juta dan biaya bibit untuk modal menyambung hidup.

baca juga : Beginilah Nasib Petani Rumput Laut Nusa Penida

 

Sebagian besar warga Lembongan, Nusa Penida, Bali, kembali bertani rumput laut ketika sektor pariwisata ambruk selama pandemi ini. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Setelah turis menghilang, akomodasi tutup, pembangunan fisik pun terhenti. Keduanya langsung memilih ke laut, pekerjaan yang dilakoni kedua orang tua mereka di masa lalu. Ketika sebagian besar pesisir Lembongan adalah petak-petak ladang rumput laut dengan sampan-sampan kayu kecil mengayuh di tengah laut biru toska dangkal.

Pemandangan ini langsung terhapus setelah pesisir dipenuhi deretan akomodasi dan restoran. Apalagi ada dua dermaga speedboat yang ramai lalu lalang dari Pulau Bali membawa rombongan turis.

Kini sampan-sampan kayu ini hadir lagi. Obyek wisata rumput laut pun kembali terlihat berisi aktivitas pertanian yang jadi primadona sebelum tahun 2010.

Warga Lembongan yang sudah mapan bekerja di usaha pariwisata pun kembali menekuni rumput laut. I Nyoman Sulitra, 46 tahun, Manajer restoran L Good yang indah di dekat dermaga ini masih buka dengan keterbatasan tenaga kerja.

“Karena ada COVID-19, masyarakat kembali ke rumput laut. Dengan adanya rumput laut, masyarakat sangat terbantu, termasuk juga saya. Saya tidak munafik. Untuk bekerja itu apapun asal menghasilkan,” tuturnya ditemui sedang merawat restoran dan villa yang masih dilakukannya sukarela selain bertani rumput laut bersama istrinya.

Ia memutuskan ikut bertani karena harapan pembukaan turis mancanegara pada 11 September lalu sirna setelah dibatalkan sebelum sempat dibuka. Pemerintah pusat masih menutup penerbangan komersial dari luar negeri. Selain itu, 59 negara tak mengizinkan warganya ke Indonesia karena prevalensi kasus masih tinggi.

“Baru sekarang rumput laut berkembang kembali. Kalau tidak ada rumput laut, masyarakat di Nusa Lembongan pasti sudah krisis. Benar-benar pasti krisis. Pariwisata sudah tidak bisa diharapkan kembali,” lanjut Sulitra.

Ia mengingat, pada 2008, Lembongan sudah mulai bergeliat. Orang mulai bangun vila. Sejak itulah rumput laut pelan-pelan ditinggalkan. “Mending ke pariwisata yang berkembang pesat dan dapatnya cepat,” ingatnya. Seingatnya, jumlah nelayan jauh lebih sedikit dibanding petani.

perlu dibaca : Begini Dampak Virus Corona pada Wisata Laut

 

Lokasi penjemuran rumput laut pun penuh sampai pinggir jalan raya di Nusa Lembongan, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sebelum pandemi, penghasilannya dari usaha wisata puluhan kali lebih tinggi dibanding hasil panen rumput laut saat ini. Sulitra enggan menyebut angka pasti penghasilannya, sementara dari panen pertama ia mendapat Rp3,3 juta. “Kalau disuruh milih, lebih baik pariwisata, tetapi rumput laut jangan ditinggalkan. Kalau hanya mengandalkan pariwisata, sangat riskan terhadap ekonomi. Sekarang berapa orang yang sudah menganggur gara-gara pandemi,” ia berharap.

Modalnya bertani rumput laut juga cuma sekali. Selanjutnya hanya tenaga. Misalnya, modal awalnya sekitar Rp15 juta untuk 450 bentang tali berisi bibit rumput laut. Setelah 20 tahun meninggalkan pekerjaan sebagai petani rumput laut bersama orangtuanya, Sulitra kini kembali menekuni. “Kecuali pariwisata benar-benar tidak ada sama sekali, saya akan tetap di rumput laut,” timbangnya.

Restoran yang dikelolanya tidak bisa mengandalkan pasar turis domestik. Walau sudah didiskon, harganya dinilai masih mahal. Timnya berharap ada grup tamu agar para pekerja terutama anak muda yang masih kesulitan berladang di laut bisa mendapat upah.

Pertanian darat atau nelayan menurutnya tak mungkin bisa digarap karena lahan menyempit dan melaut perlu keahlian khusus. Sementara bertani rumput laut lebih bisa terjangkau untuk banyak orang karena lahannya di pesisir.

Sulitra tak menyangka Lembongan akan terlempar kembali ke masa lalu. Sejak 1993, usaha pariwisata mulai muncul di Nusa Lembongan. Penyeberangan sangat terbatas, sehari hanya sekali, itu pun dengan jukung bermesin. Saat itu ia sudah bekerja di sebuah hotel sambil bertani rumput laut.

Turis terus bergelombang datang, dan ia pindah ke hotel lain, Nusa Lembongan Resort, saat itu hotel terbesar di sana. Saat itulah ia memutuskan berhenti di rumput laut. Fokus di pariwisata. Setelah itu, ia bersama beberapa kawan memutuskan memiliki usaha sendiri, villa dan restoran. Selain itu diminta mengelola L Good, sampai kini.

Salah satu warga yang tekun mempromosikan rumput laut adalah Wayan Suwarbawa. Ia pun mengalami masa vakum beberapa tahun, termasuk ketika rumput laut sempat hilang sepenuhnya di Lembongan. Namun dibangkitkan pada 2019 dengan demplot percontohan.

“Saya bersyukur mereka sadar. Saya melihat rumput laut ini penyelamat. Kalau kita cerdas, menggunakan rumput laut sebagai sampigan akan survive. Kalau sombong mengabaikan potensi, kolaps terjadi,” urainya.

Tahun lalu, ia sedih melihat laut Lembongan yang pernah menghasilkan milyaran rupiah menjadi nol. “Ikan saja sangat sulit didapatkan, bagaimana Lembongan bercerita seperti dulu lagi. Tempat yang didatangi orang untuk budidaya rumput laut. Ini keinginan saya. Kita bikin rumput laut ini bercerita dalam berbagai dimensi,” harapnya.

baca juga : Produksi Rumput Laut di Pusaran Pandemi COVID-19

 

Produksi rumput laut di Bali yang hampir semuanya dari Nusa Penida anjlok pada 2017-2018 karena ditinggalkan akibat booming pariwisata. Data BPS divisualisasikan Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Data Dinas Kelautan dan Perikanan Bali menyebutkan 90% pertanian rumput laut Bali berada di Klungkung. Sementara itu, sisanya menyebar di beberapa wilayah seperti di Badung dan Buleleng.

Pada 2017, produksi rumput laut di Bali mengalami penurunan hingga 99% menjadi 597,71 ton jika dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 100.856 ton.

Sementara di Klungkung, data BPS 2019 memperlihatkan anjloknya produksi rumput laut sampai 597 ton itu semuanya dari sisa panen Nusa Penida. Padahal pada 2014-2016, produksinya 83 ribu-100 ribu ton. Data terakhir adalah 2018 sebesar 1684 ton.

Dilihat dari lapangan dan wawancara dengan sejumlah petani di dua pulau sentra rumput laut, Lembongan dan Nusa Penida, diperkirakan jumlah produksi rumput laut kembali melambung. Tiap warga diizinkan memanfaatkan pantai paling banyak 20 are untuk budidaya.

Apakah rumput laut, malaikat warga selama pandemi ini akan bertahan atau sekadar bumper pariwisata?

 

Exit mobile version