Mongabay.co.id

Aktivitas Tambang Emas Cemari Sungai Batang Natal

Kondisi Sungai Batang Natal. Air menguning. Di tepian sungai ada aktivitas pengerukan tanah untuk tambang emas. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pertambangan emas ilegal di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, terus terjadi. Lingkungan rusak, seperti, aliran Sungai Batang Natal, air jadi keruh.

Pantauan lapangan pada 8 September lalu, sekitar 10 km dari tambang emas, di bagian hilir daerah aliran Sungai Batang Natal, sudah rusak parah karena pembuangan limbah tambang.

Alat berat mengeruk tanah hingga kedalaman tertentu di bibir Sungai Batang Natal.  Setelah itu membuang kembali limbah dari pengolahan emas ke aliran sungai.

Dahlan Hasan Nasution, Bupati Mandailing Natal ketika dikonfirmasi enggan berkomentar banyak. Dia tak mau ada keributan dan konflik pertambangan di Mandailing Natal, mengingat kabupaten pemekaran ini sebentar lagi akan pemilihan kepala daerah.

“Nantilah itu, cooling down dulu jangan sampai ada ribut-ribut. Soal pertambangan itu nanti kita selesaikan,” katanya.

Erwin Efendi Lubis, Ketua DPRD Mandailing Natal mengatakan, sudah rapat dewan membahas masalah ini.

Pemerintah, katanya, harus memberikan surat teguran kepada para penambang agar tak melakukan kegiatan dengan cara-cara tak benar. Setelah itu, katanya, harus ada kajian mengenai dampak lingkungan.

Imbauan kepada para penambang juga perlu, katanya, agar tak terus cemari sungai. Pencemaran ini, katanya, berdampak kepada masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran Sungai Batang Natal.

 

Penambangan emas di tepian Sungai Batang Natal, dengan limbah kerukan dibuang ke aliran sungai. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Aliran Sungai Batang Natal panjang lebih 90 km hingga ke bibir pantai yang melintasi sejumlah desa. Desa-desa itu antara lain, Desa Sopo Tinjak, Bulu Soma, Tarlola, Aek Guo, Aek Rao Rao, Aek Nangali, dan Batu Nabontar. Juga, Desa Bangkelang, Tombang Kaluang, Sipogu, Ampung Padang, Ampung Siala, Jambur Baru, Muara Parlampungan, Rantobi, dan Dusun Batu Marsaung, Simarrobu (Kecamatan Batang Natal).

“Selama ini, masyarakat yang tinggal di sekitar aliran Sungai Batang Natal, memanfaatkan air untuk kebutuhan sehari-hari hingga sangat berbahaya jika terus dlibiarkan,” kata Erwin.

Komisi D DPRD Sumut pernah dengar pendapat dengan Pemerintah Sumut, dan mendesak segera mengambil tindakan.

Zubaidi, Kepala Dinas Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) Sumut hadir kala itu. Menurut dia, perlu pengkajian mendalam untuk penutupan usaha penambangan emas ilegal di sejumlah wilayah di Mandailing Natal.

Sebelum tindakan penutupan, katanya, perlu pengalihan usaha bagi para penambang, bisa ke sektor perkebunan, pertanian, perikanan dan usaha-usaha lain yang bisa meningkatkan taraf ekonomi warga.

“Jangan sampai ketika penutupan, mata pencaharian masyarakat makin menurun. Itu yang kita hindari,” katanya.

Ahmad Muhtadi, ahli ekologi perairan dari Universitas Sumatera Utara (USU) kepada Mongabay mengatakan, secara ekologi ada pembukaan lahan di wilayah berdekatan dengan sungai seperti di bagian atas atau hulu otomatis berdampak pada bagian hilir.

Kalau ada pembukaan lahan, misal, untuk perkebunan, pertanian, apalagi pertambangan akan berdampak negatif terutama di sekitar aliran sungai.

 

Warga sekitar aliran Sungai Batang Natal, masih gunakan air sungai untuk keperluan sehari-hari. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Yang terjadi di daerah aliran Sungai Batang Natal, katanya, ada penambangan dengan pengerukan. Dampaknya, erosi menyebabkan suspensi karena partikel-partikel mengalir ke sungai. Partikel-partikel ini, katanya, berpotensi menimbulkan sedimentasi bagian muara.

Dampaknya, terjadi pendangkalan di bagian muara, menganggu aktivitas perahu nelayan serta alur sungai. Biota sungai juga terganggu.

Kalau bicara biota perairan di Sumatera, kata Muhtadi, termasuk Sumatera Utara bagian barat khusus Sungai Batang Natal, di sana ada ikan sidat.   Masyarakat lokal menyebut dengan ikan panjang. Ikan ini bertelur di Samudra Hindia dan besar di hulu sungai. Ada juga ikan Batak, biasa disebut juga jurung,

Kalau perairan rusak, katanya, akan mengganggu sidat, jurung dan biota sungai lain. Sedimentasi juga bisa mengganggu pernapasan ikan-ikan yang biasa hidup di perairan jernih, seperti jurung.

Muhtadi mengatakan, akan terjadi kepunahan lokal kalau jalur ikan terputus atau wilayah jelajah terhambat oleh limbah-limbah tambang emas ini.

Sedangkan jenis kerang-kerangan, kepiting dan udang , katanya, harus bisa beradaptasi. Kalau tidak, mereka akan mati atau mencoba berusaha menghindar dan mencari habitat baru, yaitu aliran sungai kecil di dekat sungai tercemar.

Untuk jurung, katanya, kepunahan lokal kemungkinan terjadi dalam jangka panjang, namun ikan-ikan ini mungkin akan berusaha atau bermigrasi ke bagian hulu atau mencari jalur-jalur sungai lebih jernih dan bersih yang belum tercemar. Salah satu, katanya, daerah Bangkalan, aliran Sungai Tabuyun dan aliran sungai kecil lain di dekat Sungai Batang Natal.

Di Sungai Batang Natal, katanya, jenis ikan ini akan langka karena bermigrasi.

Pertambangan emas, katanya, biasa menggunakan bahan berbahaya seperti merkuri. Kondisi ini berpotensi mencemari juga biota yang hidup di sana.

Meskipun begitu, katanya, perlu penelitian lebih mendalam untuk melihat kandungan bahan berbahaya di dalam ikan atau biota sungai di sana.

Risiko air tercemar bagi manusia? Di Tapanuli bagian selatan, katanya, masyarakat menggunakan air sungai ini untuk berbagai keperluan sehari-hari baik mandi, mencuci dan lain-lain. Air tercemar, katanya, sangat berbahaya kalau sampai kena konsumsi manusia.

 

 

Tak ada penyelesaian

Dia bilang, ada banyak kepentingan hingga tambang ilegal ini terus berlarut-larut tak ada penyelesaian. Pertambangan emas, antara lain terjadi di Desa Huta Bargot dan Naga Juang.

Di sana, katanya, banyak tambang liar masyarakat yang terus menjamur sejak 2010 hingga sekarang. Korban jiwa banyak berjatuhan. Ada juga perusahaan, PT Sorikmas Mining, sampai sekarang masih eksplorasi.

“Pemerintah harus tegas.”

Menurut dia, perlu serius menelusuri pertambangan yang menyebabkan kerusakan ekologi Sungai Batang Natal. Kalau pelaku swasta, harus cek izin. Kalau tak izin, katanya, lakukan proses . Kalau ada izin, harus dicabut karena sudah merusak lingkungan yang mengancam kehidupan manusia.

Untuk penambangan warga, katanya, pemerintah, harus membuat usaha lain bagi masyarakat yang selama ini tergantung dari bisnis pertambangan. Contoh, gali pertanian, dan perikanan. Di daerah ini, kedua usaha ini berpotensi dan bernilai ekonomis tinggi kalau benar-benar tergarap.

Khairul Bukhari, Kepala Departemen Advokasi Kampanye dan Kajian Walhi Sumut mengatakan,  tata kelola pertambangan harus benar-benar terawasi dari awal mula mengeluarkan izin. Kalau tata kelola baik, katanya, dapat meminimalisir dampak buruk bagi manusia dan lingkungan.

Setelah izin keluar, katanya, harus ada pengawasan ketat pemerintah. Dia menilai, pengawasan pemerintah lemah terhadap izin-izin tambang yang sudah keluar bahkan banyak tambang ilegal pun tak berani mengambil tindakan.

Pemerintah Sumut, katanya, perlu membentuk tim terpadu guna membenahi tata kelola pertambangan. “Agar benar-benar terbenahi dari segi administratif, finansial, teknis, kewilayahan dan lingkungan.”

 

Keterangan foto utama: Kondisi Sungai Batang Natal. Air menguning. Di tepian sungai ada aktivitas pengerukan tanah untuk tambang emas. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version