Mongabay.co.id

Aktivis Kecam Polairud Sulsel terkait Tindakan Intimidasi terhadap Masyarakat Pulau Kodingareng

Aktivis yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Laut Indonesia dan Aliansi Selamatkan Pesisir mengecam serangkaian tindakan intimidasi anggota Polairud Sulsel terhadap sejumlah nelayan di Kelurahan Kodingareng, Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Kota Makassar.

Dalam penjelasannya ke media, Minggu (27/9/2020), aktivis dari dua koalisi ini menjelaskan bahwa tindakan intimidasi itu mulai muncul sejak PT Royal Boskalis Internasional melakukan penambangan pasir laut di wilayah tangkap nelayan. Aktivitas penambangan tersebut berjarak sekitar 8 mil dari Pulau Kodingareng Lompo dengan daya rusak seluas 4 mil. Pasir tambang tersebut digunakan untuk timbunan reklamasi proyek strategis nasional Makassar New Port (MNP).

Di sisi lain, sejak awal diakui oleh pihak perusahaan dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bahwa mereka tidak pernah melakukan sosialisasi dan konsultasi publik mengenai rencana penambangan tersebut kepada masyarakat Pulau Kodingareng.

“Hasil pemantauan dan kajian Aliansi Selamatkan Pesisir dan nelayan Kodingareng menunjukkan bahwa kegiatan penambangan oleh PT Royal Boskalis Internasional telah mengubah dan merusak wilayah tangkap nelayan di perairan Galesong Utara,” ungkap Muhammad Al Amien, Direktur Walhi Sulsel.

Menurut Amien, aktivitas menyebabkan air laut menjadi keruh, gelombang tinggi, dan kerusakan ekosistem laut. Akibatnya, selama enam bulan terakhir hasil tangkapan nelayan berkurang drastis bahkan dalam satu harinya sama sekali tidak mendapat ikan.

“Masyarakat Pulau Kodingareng yang mengetahui wilayah tangkap ikan tersebut bermasalah melakukan sejumlah protes terhadap kegiatan pertambangan, namun bukan jawaban yang mereka dapatkan melainkan penangkapan bahkan tindakan kekerasan dari Polairud Polda Sulsel,” katanya.

baca : Aksi Penolakan Nelayan dan Sengkarut Tambang Pasir Laut di Makassar

 

Aliansi Selamatkan Pesisir bersama Koalisi Selamatkan Laut Indonesia mencatat 6 (enam) praktik intimidasi baik secara verbal maupun nonverbal oleh Polairud Polda Sulsel yang terjadi sejak Juli – September 2020. Foto: WALHI Sulsel

 

Aliansi Selamatkan Pesisir bersama Koalisi Selamatkan Laut Indonesia mencatat enam praktik intimidasi baik secara verbal maupun nonverbal oleh Polairud Polda Sulsel yang terjadi sejak Juli – September 2020.

Praktik tersebut diikuti dengan tindakan kekerasan hingga penangkapan dan penahanan masyarakat/nelayan Kodingareng. Sejumlah peristiwa tersebut terjadi ketika nelayan dan sejumlah masyarakat Kodingareng melakukan aksi penolakan terhadap kegiatan penambangan PT Royal Boskalis Internasional guna mempertahankan ruang hidup mereka.

Adapun dari serangkaian praktik intimidasi tersebut, koalisi menyatakan menemukan beberapa pola yang terjadi selama ini di Kodingareng. Pertama, pola pembatasan atau penanganan aksi masyarakat dan nelayan Kodingareng menggunakan restriksi aparat penegak hukum yang tidak terukur. Kedua, penanganan aksi diarahkan secara khusus kepada masyarakat dan nelayan Kodingareng, serta aktivis, dan pers mahasiswa yang sebenarnya tengah menggunakan hak konstitusinya untuk bersolidaritas dan melindungi lingkungannya. Ketiga, langkah yang diambil oleh Polairud Polda Sulsel tidak memperhatikan peraturan hukum yang semestinya.

Keempat, tindakan intimidasi Polairud Polda Sulsel yang mendatangi tempat tinggal nelayan membuat nelayan takut untuk bertindak dan beraktivitas. Kelima, sejumlah peristiwa tersebut bertujuan untuk membungkam kebebasan sipil nelayan yang sedang melindungi wilayahnya. Keenam, tidak memberikan akses kepada para pendamping hukum yang menangani kasus kriminalisasi.

Menurut Edy Kurniawan, dari LBH Makassar, kehadiran Negara, melalui aparatnya, yang diharapkan dapat mengambil langkah yang tepat untuk mencegah, menyelidiki, menghukum, atas praktik kejahatan bisnis dan penyalahgunaan kewenangan yang diduga dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah bersama koleganya saat penerbitan izin terkait aktivitas tambang pasir laut maupun pembangunan proyek Makassar New Port, malah menjadi bagian dalam mendukung perusakan lingkungan dan membungkam suara masyarakat melalui praktik kriminalisasi dan intimidasi.

Di lain sisi, hak untuk tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata karena memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, dilindungi oleh Pasal 66 UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Serangkaian aksi protes nelayan Kodingareng mesti dipandang sebagai wujud perjuangan untuk mempertahankan lingkungan hidup yang baik dan sehat, oleh karena kegiatan tambang pasir telah nyata merusak ekosistem laut dan menghilangkan ruang hidup dan mata pencaharian utama nelayan tradisional.”

baca juga : Tambang Pasir Laut di Makassar Rampas Ruang Hidup Nelayan

 

Selama enam bulan terakhir hasil tangkapan nelayan berkurang drastis bahkan dalam satu harinya sama sekali tidak mendapat ikan. Perempuan nelayan yang paling terdampak dari kondisi ini. Foto: WALHI Sulsel

 

Koalisi kemudian menyatakan sejumlah tuntutan terkait situasi ini. Pertama, menuntut Kapolda Sulawesi Selatan untuk segera memerintahkan Kepala Direktorat Polair Polda Sulsel untuk menarik seluruh anggotanya dari Pulau Kodingareng.

Kedua, menuntut Kapolda Sulawesi Selatan untuk melakukan audit dan evaluasi secara menyeluruh terkait dengan sejauh mana operasi dan penindakan terhadap anggota Polairud untuk tidak melanggar hak seseorang serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Ketiga, menuntut Kapolda Sulawesi Selatan untuk menjamin akses baik informasi maupun pendampingan hukum terhadap nelayan yang menjadi korban kriminalisasi.

Keempat, menuntut Propam Polda Sulawesi Selatan melakukan pemeriksaan terhadap anggota-anggotanya yang diduga melakukan pelanggaran etik maupun pidana atas tindakannya melakukan intimidasi terhadap masyarakat dan nelayan Kodingareng. Pemeriksaan tersebut harus juga menyasar pada Kepala Direktorat Polair Polda Sulsel untuk mengetahui sejauh mana intensi atasan langsung perihal operasi yang dilakukan di Pulau Kodingareng.

Kelima, menuntut Lembaga Pengawas Eksternal seperti Kompolnas, Komnas HAM, dan Ombudsman RI agar menggunakan kewenangan sesuai mandat masing-masing lembaga untuk melakukan pemantauan terhadap sejumlah peristiwa tersebut agar berjalan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Sedangkan Direktur Polair Polda Sulsel Kombes Hery Wiyanto sudah membantah tudingan soal penangkapan. Dia menyatakan petugas tidak menggunakan senjata dan peluru tajam.

“Sesuai laporan anggota yang bertugas tidak ada unsur kekerasan yang dilakukan saat itu,” kata Hery dikutip dari IDN Times.

Hery mengatakan, mereka ditangkap karena merusak kapal penambang pasir. Nelayan disebut kapal di lokasi penyetodak pasir dan melemparkan bom molotov.

“Makanya kapal balik dan masih dikejar sehingga ketemu kapal Polair dan diamankan,” ujarnya.

perlu dibaca : LBH Makassar Ajukan Praperadilan terkait Status Tersangka Nelayan Manre 

 

Seratusan nelayan dari Pulau Kodingareng Makassar menggunakan perahu tradisional ketinting atau cadik melakukan pengadangan kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis. Foto: Walhi Sulsel

 

Kajian WALHI

Pada medio September 2020 lalu, Wahana Lingkungn Hidup Indonesia (WALHI) Daerah Sulawesi Selatan menyatakan telah menyelesaikan hasil kajian terkait dampak buruk tambang pasir laut terhadap lingkungan, ekonomi, dan sosial masyarakat di Pulau Kodingareng.

WALHI juga menagih janji Gubernur untuk berdialog dengan masyarakat ketika pihaknya telah menyelesaikan kajian terkait daya rusak tambang pasir laut terhadap nelayan dan masyarakat di Pulau Kodingareng.

Menurut Slamet Riadi, Ketua Tim Kajian WALHI Sulsel, kajian ini dibuat untuk menjawab tantangan Gubernur dan menunjukkan ke publik bagaimana aktivitas tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan benar-benar memberi dampak serius bagi masyarakat, terutama perempuan di Pulau Kodingareng.

“Sekarang kami telah menyelesaikan kajian ini, oleh karena itu kami pun meminta Gubernur Sulsel memenuhi janjinya untuk berdialog dengan para nelayan dan perempuan yang menolak tambang pasir laut PT Boskalis,” katanya.

Riadi bilang telah mengkaji dokumen lingkungan perusahaan pemilik konsesi, dalam dokumen tersebut dirinya melihat banyak dampak-dampak yang terjadi namun tidak dijelaskan di dokumen lingkungan tersebut.

Kemudian terkait dengan hasil kajian perizinan yang dilakukan oleh Jatam dan Koalisi Selamatkan Laut Indonesia, Riadi menyebut bahwa kajian tersebut merupakan temuan penting yang perlu ditindak lanjuti, terutama bagi penegak hukum. Karena selama ini, selalu saja nelayan yang disoroti dan dikriminalisasi. Saatnya penegak hukum juga menindak pelanggaran perizinan yang terjadi pada proyek tambang pasir laut.

“Dari kajian awal teman-teman koalisi, sangat jelas adanya dugaan tindak pidana korupsi dan monopoli usaha. Artinya Boskalis selama ini menambang di konsesi yang diduga melawan hukum,” imbuhnya.

Kajian yang dilakukan oleh WALHI ini sendiri terkait pernyataan Gubernur Nurdin meminta data terkait pelanggaran yang dituduhkan pada aktivitas penambangan itu.

“Kalau pun yang menambang ini melanggar aturan, sampaikan datanya. Kami akan cabut izinnya. Kalau selama ini ada demo dan sebagainya, mereka (warga Pulau Kodingareng) tidak membawa data,” katanya, sebagaimana dikutip di Kompas (18/9/2020).

Menurutnya, adanya polemik hingga situasi terus memanas dengan masyarakat nelayan Pulau Kodingareng karena dirinya hanya ingin mengamankan proyek strategis nasional. Pasir yang ditambang di sekitar Pulau Kodingareng itu digunakan untuk pembangunan proyek Makassar New Port (MNP).

 

Exit mobile version