Mongabay.co.id

DPR Mulai Bahas RUU Energi Terbarukan, Berikut Masukan Mereka

Panel Surya dialokasikan secara utama pada atap Tokopedia Tower. Foto: Ciputra Development

 

 

 

 

 

DPR mulai membahas Rancangan Undang-undang Energi Terbarukan yang masuk dalam program legislasi nasional tahun ini. Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) dan Koalisi Perempuan Indonesia berikan masukan.

Suryadarma, Ketua METI, mengatakan capaian energi terbarukan saat ini belum sesuai kebijakan energi terbarukan (KEN) karena kebijakan belum memperlihatkan kesungguhan pemerintah dalam mendukung itu.

“Tidak sesuai ketentuan UU No 30.2007 tentang Energi. Tidak ada ketetapan standar harga energi terbarukan sebagaimana harga Indonesia crude price, Indonesia coal price, dan lain-lain,” katanya dalam rapat dengar pendapat dengan anggota Komisi VII DPR, pertengahan September lalu.

Saat ini, katanya, tak ada level of playing field bagi energi terbarukan karena peraturan perundangan untuk energi terbarukan vakum. Kondisi ini, katanya, menyebabkan mekanisme tidak bankable dan teknologi cenderung tak berkembang di dalam negeri, kecuali mikrohidro. Hingga investasi energi terbarukan di Indonesia masih tergolong mahal.

Suryadarma, RUU ini urgen sebagai regulasi yang bisa memberikan kepastian hukum untuk berusaha. Ia penting mengatur soal teknis, bisnis, finansial, lingkungan dan sosial, serta sumber daya manusia.

“Kita berharap ada aspek teknologi yang dimuat,” katanya.

 

Pembangkit mikro hidro di Pulakek Koto Baru. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

Fokus ke energi terbarukan

Yang masih jadi perbincangan utama saat ini adalah judul RUU, apakah akan gunakan energi terbarukan (ET) saja atau energi baru dan terbarukan (EBT).

METI mengusulkan, sebaiknya RUU ini fokus mengatur energi terbarukan karena selaras dengan upaya mendorong pengembangan energi terbarukan yang tersendat, sesuai dengan kaidah internasional.

“Istilah energi baru tak dikenal di dunia internasional. Adanya renewable energy law, RE act, RE commission,” kata Suryadarma.

Mercy Chriesty Barends dari Fraksi PDIP sepakat RUU ini harus relevan dengan konsideran internasional dan menggunakan istilah energi terbarukan agar tak mengalami benturan di tingkat global.

“Kelak ini akan berurusan dengan perdagangan dan kerjasama internasional,” katanya.

Mercy menekankan, RUU ini nanti dapat jadi UU yang memastikan energi terbarukan dapat menggantikan fosil.

Dalam draf sementara, energi terbarukan disebut termasuk sumber daya alam yang dikuasai negara atau pemanfaatan diatur negara.

Masalahnya, kata Suryadarma, tak semua sumber daya alam dikuasai negara. Yang dikuasai negara sudah punya UU sendiri yakni UU Migas, Sumber Daya Air, Panas Bumi dan Nuklir.

“Kita berharap yang diatur pemanfaatan dan pengusahaannya saja.”

Beberapa hal sudah diatur dalam draf RUU ini adalah energi terbarukan sebagai prioritas pemerintah untuk memenuhi target KEN. Juga ada kewajiban PLN membeli listrik dan bahan bakar nabati oleh Pertamina. RUU juga sudah memuat soal portofolio dan sertifikat energi terbarukan oleh pengembang, selain juga sudah memuat soal harga, insentif, dan dana energi terbarukan.

Yang belum diatur, katanya, soal Badan Pengelola Energi Terbarukan (BPET). Menurut METI, badan ini kelak bertanggungjawab untuk pencapaian target energi terbarukan.

Tugasnya, menyusun strategi implementasi pemanfaatan energi terbarukan untuk mencapai target KEN berdasarkan rencana umum energi nasional (RUEN). Juga, koordinasi dengan lembaga terkait dalam perencanaan dan pengadaaan, promosi investasi, mengelola dana energi terbarukan dan menetapkan alokasi pemanfaatan dana.

Menurut Suryadarma, BPET ini bisa merujuk atau menjadi bagian dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

 

Energi terbarukan, salah satu sumber angin, begitu besar di Indonesia, tetapi masih minim dimanfaatkan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Saat ini, kata Surya, banyak dana transisi energi tak bisa dimanfaatkan pengembang energi terbarukan di Indonesia karena mekanisme tidak memberi ruang untuk itu.

KPI mendefinisikan energi bersih sebagai energi dari sumber terbarukan dan yang diperoleh dari efisiensi energi, seminimal mungkin menghasilkan emisi CO2 dan bahan berbahaya, dan tak berbahaya bagi manusia dan alam.

Sekjen KPI, Mike Ferawati mengatakan, merujuk pada definisi ini, energi nuklir dan panas bumi tak termasuk dalam energi bersih. Terlebih, kedua hal itu sudah ada UU terendiri.

Usulan lain, soal prinsip dan azas yang menurut KPI perlu memasukkan prinsip non-diskriminasi, kesetaraan, dan inklusivitas terhadap segala proses tata kelola energi.

No one left behind. Hal ini juga termasuk dalam mandat tujuan pembangunan berkelanjutan untuk memperhatikan kesetaraan dan inklusivitas,” katanya.

Pengelolaan energi, katanya, juga perlu membuka ruang pengelolaan energi berbasis komunitas. Dalam pengalaman yang sudah ada, perempuan mengambil peranan kuat dalam mengupayakan energi alternatif berbasis komunitas.

Dalam pemetaan KPI di Jawa Tengah, Halmahera Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Kepulauan Seribu, KPI menemukan, kelompok berbasis komunitas sudah jalankan energi bersih ini.

Waluyo, Ketua Umum MKI, sepakat RUU ini mendesak. MKI berharap, RUU segera diundangkan tanpa menunggu peraturan pemerintah atau peraturan lain di bawahnya.

“Bisa menciptakan ekosistem paripurna untuk transisi energi,” katanya.

Bagi MKI tak masalah kalau RUU ini memasukkan energi baru dengan catatan juga memasukkan isu konservasi dan efisiensi energi secara menyeluruh.

MKI usul RUU ini perlu memasukkan inisiatif pembangunan rendah karbon sebagai bagian visi dan paradigma baru menuju ekonomi hijau sejalan dengan Kesepakatan Paris.

Percepatan energi terbarukan, kata Waluyo, dapat dengan penerapan standard portofolio energi terbarukan (SPET) yang terintegrasi dengan program sertifikat energi terbarukan.

Karena itu, MKI mengusulkan ada pengembangan energi terbarukan skala besar untuk industri dan skala kecil dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Konsep skala kecil bisa dengan pendekatan penciptaan permintaan dan kesiapan infrastruktur.

Dia berharap, UU ini mampu mengakomodir kebutuhan pengembangan distributed energy resources seperti energi surya atap dengan model bisnis inovatif yang cenderung komersial dan efisien. “Ini sejalan dengan kemajuan teknologi dan pengembangan baterai yang sangat mendukung virtual power plant dan kendaraan listrik.”

Selain itu, MKI juga menekankan pada penguatan fungsi perencanaan, inovasi teknologi dan kelembagaan. Juga, strategi pengembangan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dan kesiapan industri pendukung dalam negeri melalui inovasi pengembangan teknologi dengan rekayasa.

 

Pembangkit listrik biomassa dari bambu di Mentawai. Foto: dari presentasi Jaya Wahono

 

MKI sepakat, ada BPET untuk memastikan efektivitas pengendalian pelaksanaan kegiatan usaha dan pemanfaatan energi terbarukan dan mengelola proses transisi menggantikan non energi terbarukan secara bertahap.

Mengingat RUU ini beririsan dengan UU Energi yang menyatakan, energi yang dikuasai negara terbatas pada nuklir, panas bumi dan hidro skala besar, kata Waluyo, ada kontradiksi dengan draf RUU Pasal 8 RUU menyatakan energi baru di luar nuklir akan diatur dalam peraturan pemerintah.

“Ketentuan ini terkesan energi baru di luar nuklir kurang mendapat perhatian,” katanya.

Selain itu, RUU ini juga beririsan dengan UU Ketenagalistrikan yang menyatakan, pengelolaan listrik harus integrasi dengan PLN sebagai pembeli tunggal.

Karena itu, kalau ketentuan model bisnis inovatif PLTS atap yang memungkinan konsumen juga jadi produsen (prosumer), maka desain SPET kelak harus disusun mengacu pada prinsip bundling pasar ketenagalistrikan ini.

Berkaitan UU Sumber Daya Air sebagai bagian konservasi, katanya, juga harus diselaraskan dengan RUU ini.

Waluyo bilang, bisnis inovatif usulan MKI ini dapat jadi opsi baru dalam akselerasi energi terbarukan karena harga solar PV dan baterai terus turun. Banyak teknologi seperti blockchain, energy management system, desentralisasi energi, dan kendaraan listrik yang mendorong kemunculan model bisnis prosumer, virtual power plant (VPP), perusahaan RE100, dan stasiun pengisian baterai.

“Ini bisa dilaksanakan BUMN, BUMD, swasta, koperasi dan perorangan.”

Tak kalah penting, katanya, perlu pelibatan pemerintah daerah yang lebih besar khusus di daerah tertinggal, terluar dan terpencil.

Ebergi terbarukan, katanya, akan sangat membantu ketersediaan listrik untuk warga dengan memanfaatkan potensi lokal dan dukungan infrastruktur dari pemda.

“Pemda jadi lebih proaktif dan jadi motor penggerak pemanfaatan energi terbarukan di daerahnya yang dituangkan dalam RUED. Termasuk alokasi lahan dengan memasukkan dalam RTRW, dan membantu proses pengadaan tanah dan menyiapkan data energi terbarukan setempat.”

MKI berharap, inovasi energi untuk energi baru berupa thorium, fuel cell dan baterai. Sementara energi terbarukan termasuk BBN, energi samudera dan Solar PV.

MKI menyadari, eksploitasi sumber daya alam investasi dengan karbon tinggi berdampak pada polusi air dan udara. Hingga perlu pernyataan terhadap pemanfaatan hutan berkelanjutan dalam RUU ini.

“RUU ini harus mempertimbangkan dengan memasukkan peta jalan pembangunan rendah karbon yang mampu menurunkan emisi gas rumah kaca, mendorong pertumbuhan GDP, menciptakan memperbaiki kualitas udara dan kualitas kehidupan serta lebih inklusif terhadap pasrtisipasi gender.”

Untuk skenario jangka panjang dapat dengan memasukkan kebijakan baru rendah karbon untuk mencapai target nationally determined contributions (NDC).

Soal nuklir, MKI usul agar perencanaan, pengelolaan dan pengawasan PLTN oleh pemerintah pusat termasuk manajemen limbah radioaktifnya.

MKI juga usul SPET bisa berlaku untuk pemda sesuai rencana umum ketenagalistrikan daerah (RUKD) dan badan usaha yang sukarela menggunakan energi terbarukan sesuai target, misal perusahaan RE100.

Soal harga, selain meminta pemerintah pusat menetapkan harga dengan keekonomian berkeadilan, MKI usul energi terbarukan skala kecil gunakan feed in tarrif dan skema lelang terbalik untuk skala besar. Untuk hidro, dia usul pemilihan langsung atau penunjukan langsung dengan negosiasi harga.

Tambahan lagi, MKI minta mekanisme harga panas bumi mengikuti UU Panas Bumi dan pemerintah diminta memberi pengembalian selisih harga kalau BPP tinggi. Insentif fiskal dan non fiskal baik bagi pengembang badan usaha, perorangan maupun pemda mesti tak luput dari RUU ini.

 

Ummi menyalakan lampu yang energinya bersumber dari biogas. Foto: Dedi Suhadi/Mataramradio

 

 

Konsep gender

DPR juga meminta masukan KPI. Bagi Sekjen KPI, Mike Ferawati, ini langkah penting karena 70% siklus hidup perempuan bersentuhan dengan energi. Perempuan, katanya, penyedia dan pengelola energi utama. Akses terbatas terhadap energi berdampak pada kehidupan perempuan.

“Energi yang menunjang kehidupan masyarakat masih jadi problem mendasar terutama di daerah yang kesulitan akses,” kata Mike.

Menurut dia, isu gender belum terintegrasi dalam isu energi. Ada anggapan, gender hanya spesifik pada perempuan. Padahal, katanya, gender mengakomodir seluruh perbedaan kebutuhan, termasuk laki-laki, perempuan, orang lanjut usia, balita dan penyandang disabilitas.

Dalam isu energi, katanya, perempuan masih dalam posisi sebagai konsumen semata, belum begitu terlibat dalam penyediaan dan tata kelola energi.

“Perempuan mengalami dampak buruk dari energi yang tak ramah. Ini berdampak juga pada pemenuhan hak perempuan, mulai dari kesehatan hingga kemiskinan.”

Mike mencontohkan, dampak keterbatasan energi yang tak ramah bagi perempuan seringkali menimbulkan kekerasan dan kecelakaan kerja.

Di bidang kesehatan, karena kelelahan perempuan mengalami masalah reproduksi hingga ISPA. Keterbatasan energi juga membatasi perempuan untuk aktualisasi dan pengembangan diri yang praktis mempengaruhi ekonomi keluarga.

Penting juga, kata Mike, memasukkan beberapa konsideran sebagai pertimbangan dalam membahas RUU ini seperti Inpres No 9/2000 tentang pengarusutamaan gender, konvensi hak ekonomi, sosial dan budaya yang tertuang dalam UU No 11/2005. Juga, konvensi hak sipil dan politik dalam UU No 12/2005 dan konvensi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan yang sudah tertuang dalam UU No 7/1984.

Mengenai pasal pengaturan dampak eksplorasi dan tata kelola sumber energi, katanya, RUU harus mengatur bagaimana mengurangi risiko dampak lingkungan dampak eksplorasi.

“Area eksplorasi seringkali mengorbankan kelompok masyarakat tertentu seperti masyarakat adat atau masyarakat miskin desa lainnya. Karena itu, perlu ada partisipasi masyarakat dalam penyediaan energi terbarukan.”

Menanggapi masukan ini, anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Golkar, Diah Roro Esti bilang, RUU ini perlu mengakomodir semua pihak termasuk pengembang energi baru. Mengingat Indonesia masih mengandalkan energi fosil sebagai penyedia utama energi.

“Alangkah baiknya menggabungkan keduanya agar terealisasikan. Dikhawatirkan jika hanya fokus pada energi terbarukan, shifting energi tidak bisa terjadi begitu saja,” kata Diah.

Menurut dia, selain soal harga dan insentif RUU ini juga perlu membahas soal pajak karbon agar energi terbarukan lebih kompetitif di pasar energi.

Soal harga energi batubara yang sebetulnya lebih mahal kalau memasukkan eksternalitas kerugian lingkungan dan kesehatan yang dialami karena dampak emisi CO2 yang ditimbulkan.

“Ini perlu kita sinkronkan dengan RUU ini,” katanya.

Abdul Wahid, dari Fraksi PKB menekankan, soal keandalan energi terbarukan yang kelak jadi tanggung jawab PLN.

“Dari skala lingkungan bagus, namun PLN juga perlu kepastian soal keandalan,” katanya.

 

 

Keterangan foto utama: Panel Surya dialokasikan secara utama pada atap Tokopedia Tower. Foto: Ciputra Development

Sebagai daerah terpencil, Dusun Bondan, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap menggunakan pembangkit listrik surya dan bayu untuk memenuhi kebutuhan energi listrik sehari-hari. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia
Exit mobile version