Mongabay.co.id

Kisah Tuna Netra Menanam Mangrove

 

Deburan ombak laut selatan tak menyurutkan puluhan tuna netra yang tergabung dalam Paguyuban Pemijat Tuna Netra (Pamitra) Malang Raya untuk menanam mangrove, 19 September 2020. Dituntun para pendamping dan anak-anak mereka menaiki tiga perahu motor, menuju kawasan muara pantai Ungapan, Desa Gajahrejo, Gedangan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Sesampai di kawasan hutan mangrove, mereka berjalan turun dari perahu motor. Dituntun para pendamping, sembari menenteng bibit mangrove. Penuh perjuangan, keterbatasan indera penglihatan menjadi penghambat aksi menanang mangrove. Seorang tuna netra terjatuh, tertabrak tuna netra lain. Hingga terjerembab di kubangan lumpur.

Masing-masing memegang satu bibit mangrove. Mereka menancapkan bibit mangrove sedalam satu jengkal. Senyum tersungging, usai menanam mangrove. Hendro dan para tuna anggota Pamitra berharap bibit mangrove tumbuh besar. Sehingga bisa menjadi habitat bagi burung, dan biota laut.

“Tapi seru, tak pernah membayangkan bisa menanam mangrove,” ujar Ketua Pamitra Malang Raya, Hendro Junaedi Setiawan, 51 tahun. Selain itu, mereka juga turut berkontribusi bagi kelangsungan kawasan hutan mangrove di pantai laut selatan. Aksi menanam mangrove ini merupakan aksi Pamitra yang dilangsungkan dalam suasana pandemi COVID-19.

baca : Berharap Hutan di Malang Selatan Hijau Kembali

 

Puluhan tuna netra yang tergabung dalam Paguyuban Pemijat Tuna Netra (Pamitra) Malang Raya menaikai perahu untuk menanam mangrove di Pantai Ungapan, Desa Gajahrejo, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang. Foto : Pamitra

 

Gerakan para tuna netra ini, kata Hendro, diharapkan menanamkan kecintaan lingkungan sejak dini kepada anak dan keluarga para penyandang tuna netra. Mangrove, ujarnya, bermanfaat untuk menghasilkan oksigen. “Juga berguna menahan laju abrasi air laut,” ujarnya.

Selain itu, juga menjadi habitat bagi kelestarian biota laut. Serta habitat bagi aneka jenis burung migrasi pantai. Mereka mampir sebentar di kawasan hutan mangrove sebelum melanjutkan terbang ke tujuan. Untuk itu, ia mengajak semua pihak menjaga hutan mangrove. “Jangan rusak atau tebang pohon mangrove ini,” ujarnya.

Selain berkontribusi untuk kelestarian hutan mangrove, Hendro juga berharap para tuna netra memiliki kesan sepanjang hidupnya. Lantaran sebagian besar tak pernah berwisata ke pantai, termasuk menyentuh mangrove. Total sebanyak 37 tuna netra dari total 86 anggota Pamitra Malang Raya yang turun menanam mangrove.

“Ternyata menanam mangrove sangat seru,” kata Hendro. Semua, katanya, memiliki ilustrasi dan gambaran sendiri atas aktivitas yang dilakukan. Apalagi bagi tuna netra yang mengalami kebutaan sejak lahir. Masing-masing memiliki cerita dan kesan berbeda.

Menanam mangrove sambil rekreasi menjadi penghibur selama pandemi COVID-19. Serta dimanfaatkan mereka saling bercengkerama dan bertemu. Selama pandemi sejak Maret, merek tak menggelar arisan atau pertemuan rutin yang dilangsungkan sebulan sekali.

Sekaligus menghibur para tuna netra yang bekerja sebagai pemijat tersebut. Sebab, selama pandemi mereka tak bekerja. Sehingga tak mendapat menghasilan sama sekali. Apalagi, pemerintah Kota Malang melarang panti pijat tuna netra karena dikhawatirkan kontak erat dengan terapis berpotensi menularkaan Covid-19.

baca juga : Tuai Kritik, Pemerintah Banyuwangi Batal Tebang 4.000 Pohon Mangrove

 

Puluhan tuna netra yang tergabung dalam Paguyuban Pemijat Tuna Netra (Pamitra) Malang Raya menanam mangrove di Pantai Ungapan, Desa Gajahrejo, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang. Foto : Pamitra

 

Pengalaman Tak Terlupakan

Sri Palupi Kuswardani, 48 tahun, mengenang gambar mangrove atau bakau dalam buku pelajaran biologi saat mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Pekerja Sosial (SMPS) Negeri Kota Malang. Namun, sepanjang hidupnya ia belum pernah melihat langsung hutan mangrove. Palupi mengalami glukoma kehilangan penglihatan usia 22 tahun selepas lulus SMPS.

“Saya pernah tahu dari gambar. Ingin tahu, penasaran,” katanya. Saat berkesempatan menanam mangrove, ia raba dan rasakan bibit mangrove. Bahkan meraba dedaunan pohon mangrove yang berperan menjadi benteng alami saat tsunami dan gelombang tinggi.

“Dulu hanya bisa melihat gambar, sekarang memegang. Kesannya tak bisa diceritakan,” katanya.

Menanam mangrove sangat berkesan dalam kehidupannya. Terus terang, katanya, ia hanya dua kali berwisata di pantai. Pertama menikmati keindahan pantai Kuta di Bali saat masih indera penglihatannya berfungsi. Serta setelah mengalami kebutaan berwisata di pantai Balekambang, Kabupaten Malang.

“Ternyata asyik. Kok gak dari dulu saat masih bisa melihat. Ya sudah itu takdir,” ujarnya. Berekreasi di pantai, sambil mendapat pengetahuan mengenai lingkungan, dan biota laut. Ia juga bersama keluarganya menyusuri pantai, berjalan di sepanjang pantai berpasir putih.

perlu dibaca : Pemuda dari 33 Negara Bersihkan Pantai Selatan Malang, Ada Apa?

 

Puluhan tuna netra yang tergabung dalam Paguyuban Pemijat Tuna Netra (Pamitra) Malang Raya menanam mangrove di Pantai Ungapan, Desa Gajahrejo, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang. Foto : Pamitra

 

Berdasarkan data Dinas Perikanan Kabupaten Malang luas hutan mangrove sekitar 343 hektare. Sedangkan seluas 161, hektare dalam kondisi rusak akibat penebangan atau kerusakan secara alamiah. Hutan mangrove paling banyak berada di pesisir pantai sepanjang kawasan Kecamatan Sumbermanjing Wetan.

Dinas Perikanan Kabupaten Malang rutin setiap tahun dilakukan reboisasi hutan mangrove. Namun, sejak 2015 seluruh program rehabilitasi menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan melibatkan masyarakat pesisir. Mereka tergabung dalam Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokwasmas).

Setiap tahun tak kurang dari lima sampai 10 hektare yang direhabilitasi. Hutan mangrove rusak, karena perilaku sebagian warga pesisir yang menebang pohon mangrove untuk kayu bakar. Sehingga memiliki andil kerusakan mangrove.

Kawasan pesisir terbentang sepanjang 92 kilometer di enam kecamatan mulai Bantur, Donomulyo, Gedangan, Tirtoyudo, Sumbermanjing, dan Ampelgading. Ekosistem mangrove masih banyak ditemukan di sepanjang sempadan pantai kawasan pesisir Kabupaten Malang.

Terdiri atas zona inti, zona pemanfaatan berkelanjutan dan zona lainnya. Zona inti di Pantai Kondang Buntung seluas 2,687 hektare, zona rehabilitasi di Pantai Tiga warna seluas 1,0198 hektare dan zona lainnya di pesisir Desa Sitiarjo seluas 38,884 hektare.

 

Ribuan tanaman mangrove di kawasan muara di pesisir pantai Kondang Merak rusak diterjang banjir. Foto : Sahabat Alam Indonesia

 

Lahan Pertanian dan Wisata

Ketua Sahabat Alam Indonesia Andik Syaifudin menjelaskan kerusakan hutan mangrove juga dipicu pembukaan kawasan wisata pantai di pesisir selatan Kabupaten Malang. Selain itu kerusakan hutan mangrove juga terjadi karena pembukaan lahan pertanian. Warga membuka lahan menjadi ladang jagung, pisang, rumput gajah dan padi gogoh. Aksi pembabatan hutan mangrove, katanya, karena ketidaktahuan.

Sehingga perlu gerakan bersama melibatkan semua pihak untuk mengedukasi masyarakat. Agar tak menebang, dan justru peduli dengan merawat dan menjaga hutan mangrove tetap lestari. Sementara selama ini penegakan hukum sulit dilakukan karena kerusakan secara massif. Dilakukan lintas wilayah dan melibatkan banyak pihak. “Penegakan hukum tak adil kalau tak ada sosialisasi dan solusi,” katanya.

Hutan mangrove menjadi tempat ideal untuk pemijahan kepiting, dan udang. Seperti di pantai Kondang Merak, hutan mangrove menjadi habitat udang. Selain itu, juga berkembang biak aneka jenis burung cekakak Jawa (Halcyon cyanoventris). Ada tujuh jenis burung cekakak yang tinggal di hutan mangrove Kabupaten Malang. Burung-burung. Bahkan, kadang lutung Jawa (Trachypithecus auratus) juga terlihat bermain di kawasan hutan mangrove. Mangrove juga bermanfaat untuk menyerap karbon.

Perum Perhutani, Dinas Perikanan dan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Malang juga harus turun. Mengedukasi masyarakat agar tak membabat hutan mangrove. Termasuk membuka wisata pantai tak harus membabat hutan mangrove. Bisa berkembang menjadi tempat edukasi dan ekowisata.

“Pemerintah harus mengedukasi warga untuk menerapkan wisata berkelanjutan. Menata hutan mangrove agar artistik dan menarik dikunjungi. Sehingga menjadi wisata berbasis ekologi,” ujar Andik.

 

Pengunjung menumpang perahu motor melintasi kawasan hutan mangrove di Clungup Mangrove Concervation (CMC) Tiga Warna. Foto : Yayasan Bhakti Alam

 

Semua harus turut terlibat menata dan mengelola kawasan hutan mangrove yang tersisa di Kabupaten Malang. Kondisi hutan mangrove terfragmentasi di sejumlah titik di sejumlah muara, seperti di muara Sedangbiru, Sidoasri, Kondang Iwak dan Kondang Merak. Sementara yang terluas berada di CMC Tiga Warna.

Pokwasmas Kondang Merak menanam 15 ribuan bibit tanaman mangrove bantuan dari pemerintah. Bibit mangrove ditanam di aliran sungai dan kawasan muara. Namun, kemudian habis hancur diterjang banjir bandang. “Banjir, air berikut gelondongan kayu mengalir menghancurkan tanaman mangrove yang baru ditanam,” katanya.

 

 

Mangrove jenis rhizophora mucronata yang sering ditanam untuk reboisasi di Kabupaten Malang. Sebagian besar pengadaan bibit dari Tuban, Trenggalek dan Probolinggo. Sementara masyarakat setempat tengah berusaha melakukan pembenihan secara mandiri. Pembibitan tak dalam jumlah banyak. Sedangkan jenis yang ada di Kabupaten Malang adalah jenis Bruguiera.

Andik bersama masyarakat setempat tengah membuat kebun pembibitan untuk tanaman hutan tropis dataran rendah. Seperti pohon beringin (Ficus benjamina), dan bendo (Artocarpus elasticus). Lantaran sering kali reboisasi kawasan menanam bukan tanaman asli. Seperti pohon cemara udang (Casuarina equisetifolia). Alasannya cemara udang cepat tumbuh dan berkembang di pesisir. “Tapi lebih baik ditanami pohon daripada dibiarkan gundul,” katanya.

 

Exit mobile version