Mongabay.co.id

Kopi Indonesia, Bukan Hanya untuk Dunia tapi juga Benteng Konservasi

 

 

Kopi Indonesia memiliki cita rasa tinggi atau spesifik. Mengapa? Ini dikarenakan Indonesia berada di wilayah sangat strategis atau istilahnya di kawasan cincin api yang banyak gunung api.

“Bahkan bisa disebut, Indonesia adalah surganya kopi dunia. Indonesia punya banyak varietas kopi terbaik berdasarkan data geografis. Semua kopi spesial di Indonesia ditanam dekat gunung api,” terang Agung Wahyu Susilo, Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, dalam webinar Mongabay Indonesia dengan Yayasan KEHATI bertajuk “Kopi Indonesia untuk Dunia” pada Rabu [30/9/2020].

Jenis kopi yang saat ini berkembang di Indonesia dan harganya sangat ekonomis karena rasanya yang khas adalah arabika, robusta, dan liberika.

“Di Indonesia daerah pengembangan kopi berada pada ketinggian 20 – 1.600 meter dari permukaan laut, tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua.”

Baca: Rusaknya Hutan Berdampak pada Kualitas Kopi Arabika Gayo

 

Biji kopi arabika yang merah dipetik dari pohonnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Agung mengatakan, di Indonesia kopi ditanam pada ketinggian beragam, tergantung kondisi iklim untuk adaptasi kopi. Kopi arabika ditanam pada ketinggian 1.000 – 1.600 m dpl dengan curah hujan 2.000 – 3.500 mm per tahun. Sementera robusta pada ketinggian 40 – 900 m dpl dengan curah hujan 1.500 – 3.500 mm per tahun.

Ini berbeda dengan liberika yang hanya cocok pada ketinggian 20 m dpl atau pada lahan gambut dangkal, dengan curah hujan 2.000-2.500 mm pertahun.

“Liberika ditanam di gambut dan belum meluas, robusta di dataran rendah, sementara arabika bagus di dataran tinggi,” ujarnya.

Agung mengatakan, di Indonesia sudah dikembangkan berbagai varietas kopi robusta maupun arabika dengan kualitas cukup baik yang tahan beberapa jenis penyakit karat daun dan parasit. Harus diingat, kopi tidak boleh ditanam monokultur. Sangat bagus kebun dibuat tumpang sari atau tanam campur atau agroforestry.

“Penting diperhatikan adalah antara tanaman kopi dengan tanaman tumpang sari bukan merupakan inang bagi tumbuhnya hama atau penyakit. Tanaman tumpang sari juga tidak membutuhkan pestisida,” ungkapnya.

Baca: Java Preanger: Menanam Kopi, Menuai Lingkungan yang Lestari

 

Biji kopi dijemur di bawah terik matahari. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Robertus Tri Hastoaji, Sustainable Manager PT. LDC Trading Indonesia menyebutkan, di Indonesia sebagian besar kebun kopi itu milik masyarakat atau perkebunan rakyat. Sangat sedikit milik perusahaan.

“Hal ini yang menyebabkan banyak melibatkan masyarakat, khususnya petani.”

Industri kopi, saat ini memandang, perkebunan berkelanjutan adalah persyaratan pertama untuk melakukan bisnis, dan ketelusuran produk adalah syarakat kedua.

“Bagaimana kopi ini berkelanjutan dan lestari serta tidak merusak lingkungan, itu sangat penting.”

Saat ini, tambah Robertus, para konsumen di luar negeri mulai mempertanyakan asal kopi yang mereka beli. Mereka ingin memastikan, kopi tersebut tidak mengancam kelestarian lingkungan, tidak banyak menggunakan pupuk kimia, serta adanya peningkatan kesejahteraan petani.

“Saat ini, menanam kopi harus berpikir ke arah berkelanjutan,” ungkapnya.

Baca: Melirik Kopi jadi Tanaman Konservasi 

 

Biji kopi arabika dijemur hingga kering. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kopi untuk menjaga hutan

Aliansi Konservasi Alam Raya [Akar] Network sejak 2012, telah melakukan pendekatan kepada masyarakat di kaki Gunung Kerinci, untuk bertani dengan pola berkebun. Masyarakat diajak menanam kopi dengan meninggalkan pola lama.

Emma Fatma, Koordinator Akar Network menyebutkan, kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS] sering dirambah masyarakat untuk dijadikan lahan perkebunan.

“Masyarakat masih menggunakan lahan di luar kawasan konservasi belum optimal, sehingga mereka meninggalkan lahan lama dan mencari lahan baru termasuk di dalam TNKS,” sebutnya.

Emma mengatakan, masyarakat di Renah Pemetik, Kecamatan Air Hangat Timur, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, awalnya selain menanam sayuran juga kopi robusta di kebun mereka yang ketinggiannya mencapai 1.000 – 1.500 m dpl. Hal ini tentunya tidak sesuai.

Baca: Cerita Redupnya Kejayaan Kopi Lahan Gambut Desa Gandang Barat

 

Biji kopi arabika yang sudah kering disortir untuk mendapatkan yang terbaik di pabrik Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Emma dan tim memberikan pemahaman dan pendampingan kepada masyarakat cara berkebun yang lebih menghasilkan secara ekonomi dan tidak bermasalah dengan hukum. Masyarakat diajak menanam kopi arabika karena sesuai dengan wilayah di atas ketinggian 1.000 m dpl.

“Kami menawarkan masyarakat menanam kopi di lahan kritis atau sudah ditinggalkan. Pendampingan ini butuh waktu lama, karena masyarakat sulit menerima perubahan pola bertani atau berkebun,” ujarnya.

Namun, setelah kopi panen, terlihat adanya peningkatan pendapatan petani hingga 30 persen. Hal ini juga menjadikan terjadi penurunan perambahan di TNKS, karena masyarakat mulai disibukkan mengurus kebun kopi mereka.

“Kebun sayur saat ini telah digantikan kopi arabika. Masyarakat harus benar-benar diberikan pendampingan sehingga mereka mengubah kebiasaan merambah dengan berkebun permanen,” ungkap Ema.

Baca juga: Harum Kopi Arabika di Kaki Gunung Tertinggi Sumatera

 

Kopi Arabika yang telah diroasting, di pabrik kopi Takengon, Aceh Tengah, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Direktur Program Yayasan Kehati, Roni Megawanto mengatakan, program kopi lestari dapat diterapkan sebagai salah satu cara meningkatkan produksi kopi di Indonesia. Tentunya, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan tanpa merusak hutan.

Kopi lestari memiliki karakteristik berkebun di luar kawasan konservasi, merehabilitasi lahan kritis, diterapkan dengan pola agroforestry dan pertanian organik. Peningkatan mutu dan kesejahteraan petani, serta perdagangan yang adil adalah hal penting yang diperhatikan.

“Kebun kopi bisa menjadi benteng alami untuk melindungi kawasan konservasi dari berbagai tekanan, seperti perambahan dan kegiatan ilegal lainnya.”

Program kopi lestari yang saat ini dilaksanakan Yayasan KEHATI untuk jenis arabika diterapkan di sekitar kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-Buali, Provinsi Sumatera Utara, serta Taman Nasional Batang Gadis dan TN Kerinci Seblat.

“Sementara jenis robusta telah dilaksanakan di beberapa tempat seperti di Bengkulu dan Lampung,” papar Roni.

 

Kopi Arabika Gayo yang diolah dalam cita rasa berbeda. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Ketua Gayo Cupper Tim, Mahdi Usati beberapa waktu lalu mengatakan, kopi arabika sangat membutuhkan hutan dan terganggu jika suhu di sekitar kebun meningkat.

“Jika suhu meningkat berpengaruh pada ketahanan terhadap hama atau penyakit, juga citarasa kopi itu sendiri.”

Bahkan, lanjut pegiat kopi Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues ini, petani kopi di dataran tinggi Gayo, Provinsi Aceh, mulai merasakan dampak perubahan iklim. Cuaca yang tidak menentu membuat tanaman kopi mulai diserang penyakit.

“Pelestarian hutan di sekitar kebun kopi sangat penting. Ekosistem harus dijaga agar keseimbangan alam tercapai sehingga tanaman kopi terpelihara baik,” paparnya.

 

 

Exit mobile version