Mongabay.co.id

9 Tahun Utak Atik Peta Setop Izin Hutan, Madani: Belum Perbaiki Tata Kelola

Konsesi PT MAS di Desa Sipik, Muarojambi, pasca sebulan terbakar. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Sekitar sembilan tahun sudah kebijakan setop izin di hutan primer dan lahan gambut keluar–dari aturan berupa moratorium, sampai setop permanen–, namun perbaikan tata kelola belum terlihat signifikan. Yayasan Madani Berkelanjutan menilai, tiap dua kali setahun revisi Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) hutan alam primer dan lahan gambut dibikin, tetapi terkesan rutinitas saja.

Begitu pula awal Oktober 2020 ini, revisi PIPPIB sesi kedua sudah usai. Pemerintah menetapkan penghentian pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut seluas 66,27 juta hektar. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir (2017-2019) peta ini memiliki luasan relatif stabil atau tetap, sekitar 66 juta hektar.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, hasil revisi PIPPIB terbaru berkurang 43.574 hektar dari periode pertama 2020, seluas 66,32 juta hektar. Revisi ini tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 4945 tahun 2020 tentang Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut 2020 periode kedua.

Belinda Arunarwati Margono, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) DItjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, KLHK mengatakan, ada pengurangan dan penambahan luas dalam beberapa proses karena ada penetapan hak guna lahan milik masyarakat atau pihak lain yang sebelumnya tak terdeteksi, kini terpetakan.

Revisi PIPPIB ini, katanya, sudah memperhatikan masukan dari masyarakat, perubahan tata ruang, pembaruan data perizinan dan hasil survei peta dengan kondisi fisik di lapangan.

“Ada masyarakat yang sebenarnya sudah memiliki SHM (sertifikat hak milik) wilayahnya sejak 1980-an tapi tidak pernah diproses. Ketika PIPPIB ini makin populer, masyarakat mulai tergerak memeriksa areal dan mengurus ke Kantor BPN setempat,” katanya.

 

Sumber: KLHK

 

Belinda mengatakan, perubahan PIPPIB ini terbagi beberapa faktor. Pertama, perubahan paling terbesar 30.870 hektar karena pemutakhiran data perkebunan dan transmigrasi lama yang baru terinventarisasi. Juga pencabutan surat keputusan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan.

Kedua, pengurangan 18.213 hektar karena masukan dari masyarakat tentang izin dan penguasaan lahan yang konfirmasi sebelum 2011. Lahan-lahan ini baik berbentuk hak guna usaha, SHM dan surat kepemilikan tanah (SKT) yang sebelumnya belum terdeteksi, ada 81 permohonan. Ketiga, pengurangan 11.837 hektar karena pemutakhiran data perizinan HPH, HTI dan izin pelepasan kawasan hutan.

Terakhir, pengurangan luas dari laporan survei lahan gambut dan alam primer, masing-masing empat hektar dan 588 hektar.

Selain pengurangan, ada penambahan 26.160 hektar karena ada perubahan tata ruang. Ia berupa perubahan fungsi kawasan hutan jadi hutan lindung/hutan konservasi atau sebaliknya.

“Seperti kita tahu kalau hutan lindung dan hutan konservasi, apapun tutupan pasti masuk PIPPIB. Karena tujuannya, menyelamatkan hutan alam primer, lahan gambut dan ekosistem serta untuk perbaikan tata kelola.”

Berdasarkan luas PIPPIB per kriteria, kawasan hutan periode pertama 2020 mencapai 51,24 juta hektar, pada periode kedua jadi 51,26 juta hektar.

Untuk lahan gambut sebelumnya luas setop beri izin 5,38 juta hektar, jadi 5,31 juta hektar. Untuk hutan alam primer pada periode I luas mencapai 9,69 juta hektar, periode kedua jadi 9,70 juta hektar.

Dengan penerbitan SK ini, Belinda meminta gubernur dan bupati atau walikota serta kementerian/lembaga terkait, dalam menerbitkan rekomendasi dan penerbitan izin lokasi baru harus berpedoman pada PIPPIB.

Adapun pembaruan peta PIPPIB ini merupakan pelaksanaan dari Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 tentang PIPPIB dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

 

Hutan dengan tutupan rapat di Papua, masih bisa dilepaskan untuk investasi. Mengapa tak dilindungi?  Foto oleh Yayasan Pusaka, Januari 2020.

 

“Tujuannya untuk menyelamatkan hutan primer dan gambut dan memperbaiki tata kelola.”

Wilayah PIPPIB ini juga, katanya, berpotensi untuk pencapaian komitmen iklim Indonesia melalui implementasi mekanisme result based payment (RBP) REDD+.

Dia bilang, dalam regulasi ini ada beberapa pengecualian, seperti pemberian izin bisa untuk pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, seperti kebutuhan pangan nasional (padi, tebu, jagung, sagu, kedelai, dan singkong), panas bumi, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan.

Selain itu, pengecualian juga pada perpanjangan izin pemanfaatan hutan atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin usaha masih berlaku dengan memenuhi syarat kelestarian, restorasi ekosistem, ketahanan dan keamanan. Juga, jalur evakuasi korban bencana alam, penyiapan pusat pemerintahan seperti pembangunan ibu kota baru atau kabupaten baru dan infrastruktur yang jadi proyek strategi nasional.

Bicara soal pengembangan food estate, kata Belinda, pengecualian hanya untuk komoditas yang tercantum dalam regulasi. Komoditas lain, katanya, tidak mendapatkan pengecualian. Meski begitu, katanya, penghitungan area of interest (AOI) luasan yang dikecualikan untuk pangan strategis masih dalam proses, belum ada permintaan khusus terkait hal itu.

“Tidak serta merta itu ambil dari area-area yang produktif, jadi kalau masih benar-benar lahan gambut dan hutan primer, ya tidak serta merta langsung dikonversi. Untuk lahan pangan, tentu berusaha optimalkan lahan yang tidak produktif.”

Belinda bilang, hutan sekunder sebenarnya perlu dmasuk dalam PIPPIB, terutama hutan sekunder dengan kondisi tutupan hutan masih bagus. Meski begitu, katanya, perlu kajian lebih jauh terkait metodologi dan lain-lain.

“Hutan sekunder itu berada pada satu kelas, tapi sebetulnya kondisi tidak sama, di dalam satu kelas ini, ada hutan sekunder mendekati bagus, mendekati hutan primer, ada juga yang tidak terlalu bagus dan lebih ke areal tidak produktif.”

Dia mengatakan, teknologi saat ini belum cukup akurat memisahkan kelas antara hutan-hutan sekunder itu. Selain itu, juga banyak aktivitas masyarakat di wilayah itu.

 

Ini pekerjaan rumah besar yang selama sembilan tahun tak beres-beres. Sumber: Yayasan Madani Berkelanjutan

 

Belum perbaiki tata kelola

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, berkurang dan bertambah luasan PIPPIB dari dulu begitu seperti puzzles, proses pun tidak terbuka dan tak berjalan inklusif.

“Area PIPPIB bukanlah area clear and clean karena ada sengkarut perizinan di situ dan belum terlihat ada upaya sedari awal untuk menyelesaikan,” katanya.

Selama sembilan tahun, sejak Inpres Moratorium Izin Hutan Primer dan Lahan Gambut keluar Mei 2011, hanya berkutat revisi peta tetapi persoalan seputar itu tak selesai. Padahal, katanya, tujuan dasar dari moratorium adalah mengurai benang kusut tata kelola hutan menuju pengelolaan lebih bertanggungjawab.

“Sejak kebijakan masih moratorium dan sekarang jadi penghentian izin sama sekali belum mencapai tujuan tata kelola yang baik,” katanya.

Adapun faktor-faktor yang mempersulit perbaikan tata kelola, kata Teguh, antara lain, transparansi baik dari segi proses dan substansi. Hingga rasa memiliki tak terbangun antara para pemangku kepentingan bahkan pemerintah daerah.

“Jadi, sembilan tahun ini terkesan sekali hanya lakukan rutinitas dan tak berdampak pada penyelesaian sengkarut perizinan.”

 

Keterangan foto utama: Saat perusahaan sawit dapat izin di lahan gambut. Dampaknya sudah terlihat, kebakaran.  Indonesia, punya banyak aturan, seperti aturan setop izin di hutan primer dan lahan gambut ini. Sayangnya, aturan masih ada pengecualian, misal, untuk perpanjangan izin yang sudah ada walau di PIPPIB masih bisa. Bagaimana kalau izin ada di lahan gambut dalam dan hutan primer bertutupan lebat?  Entah apa makna dari pembuatan aturan itu… Foto: Yitno Suprapto/Mongabay Indonesia

Exit mobile version