Mongabay.co.id

Nelayan Pembudidaya Lobster: Diabaikan dan Berjuang dalam Sunyi [bagian 3]

 

Mesin ketinting dari perahu Nursiwan memecah kesunyian perairan Paremas pada Minggu (6/9/2020). Pagi itu air laut surut, angin berhembus pelan, air laut begitu tenang. Tidak banyak nelayan yang lalu lalang di perairan yang masuk kawasan Teluk Jukung, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.

Nursiwan adalah satu diantara 60 anggota kelompok nelayan di Desa Paremas. Desa yang sebagian wilayahnya di daratan Lombok ini, memiliki dua pulau kecil (gili) berpenghuni, Gili Beleq dan Gili Re. Desa ini adalah satu dari puluhan desa pesisir di Lombok yang mengembangkan budidaya lobster. Nelayan di desa ini mengembangkan budidaya lobster sejak 10 tahun silam. Seperti pasang surut air laut, budidaya lobster di desa ini juga turut pasang surut. Bukan karena semangat nelayan, tapi lebih terpengaruh kebijakan dua Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti dan Edhy Prabowo.

Keramba jaring apung milik Nursiwan dipasang di antara pulau tidak berpenghuni dengan Gili Beleq (pulau berpenghuni). Ada 6 lubang di keramba itu. Tersisa dua lubang. Empat lubang sudah panen, dan saat ini Nursiwan masih membersihkan jaringnya. Dua lubang keramba yang masih utuh hanya berisi beberapa puluh ekor.

“Ini sisa yang saya jual,’’ kata Nursiwan.

Satu lubang keramba itu diisi lobster pasir, satu lubang diisi lobster mutiara. Dua lubang ini diisi pada bulan yang sama, 6 bulan lalu. Nursiwan mengangkat jaring di lubang lobster pasir. Setelah diangkat dengan jaring, Nursiwan menunjukkan beberapa lobsternya. Dia bilang berat lobster itu kira-kira 180 — 200 gram. Setelah sampai di daratan Lombok dan menimbang ulang, 5 ekor lobster pasir itu beratnya lebih dari 1 kg.

Nursiwan senyum ketika saya memujinya, bahwa dia berhasil budidaya lobster dengan berat lebih dari 200 gram, dalam jangka waktu 6 bulan. Tingkat kematian lobster pasir di lubang itu juga sangat kecil, 85 persen hidup. Nursiwan meminta saya bersabar dan menunggu beberapa menit. Dia mengangkat jaring lobster mutiara.

“Ini baru lobster pak,’’ kata Nursiwan tersenyum ketika melihat ekspresi saya kaget melihat ukuran lobster itu.

baca : Keran Ekspor Benih Lobster Dibuka, Kado Manis untuk Nelayan ? (bagian 1)

 

Deretan keramba jaring apung berisi lobster di Gili Beleq dan tampak kejauhan deretan keramba jaring apung di Telur Jor, Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur. Jumlah keramba bertambah setelah keran ekspor benih lobster dibuka, tapi tidak semuanya untuk budidaya. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Ukuran lobster mutiara itu dua kali lipat ukuran lobster pasir. Dilepas pada bulan yang sama. Diberikan formula makanan yang sama, termasuk juga volume makanannya. Nursiwan belum menemukan jawaban kenapa lobster mutiara itu jauh lebih besar dibandingkan lobster pasirnya. Nursiwan mengangkat beberapa lobster mutiara di lubang kerambanya. Dia memilih yang paling besar. Dia bilang beratnya bisa mencapai 500 gram, bahkan jika dalam waktu 8 bulan, beratnya bisa mencapai 700 gram.

“Padahal lubangnya sama pak, tetanggaan kan ini. Tapi mutiara memang lebih cepat besar,’’ kata Nursiwan.

Nursiwan tidak bisa menjelaskan kenapa lobster mutiaranya jauh lebih besar dibandingkan lobster pasir. Tapi Nursiwan menegaskan, sejak menggunakan pakan yang diracik bersama kelompoknya, produktivitas kerambanya semakin bagus. Pertumbuhan lobster semakin cepat, dan semakin sedikit tingkat kematian. Sebelum menggunakan pakan yang dicarik dan dibuat pellet, dia membutuhakan waktu hingga 8 bulan untuk bisa menghasilkan lobster dengan berat 200 gram ke atas, dengan tingkat kematian tinggi.

Karena itulah ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengeluarkan Permen KP No.56/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panurulis spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.), banyak nelayan budidaya yang berhenti. Masa budidaya yang panjang, modal terbatas, dan kematian tinggi membuat nelayan memilih menjadi buruh.

baca juga : Ekspor Benih Lobster Dibuka: Ngegas di Awal, Melempem di Tengah Jalan [bagian 2]

 

Nursiwan menunjukkan lobster jenis mutiara yang dipelihara di keramba miliknya di dekat Gili Beleq. Sejak berhasil membuat pakan campuran, pertumbuhan lobsternya sangat cepat. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Pakan Lobster

Ikan Rucah. Nelayan menyebut ikan sisa jualan. Ikan yang kondisinya busuk, ikan yang kondisinya tidak layak jual. Ikan itu dipotong-potong kecil, kadang dibuat seperti asinan. Itulah yang menjadi makanan pokok lobster peliharaan nelayan. Bertahun-tahun nelayan di Paremas, bahkan hampir seluruh nelayan tradisional di Lombok memberi makan lobster dengan ikan sisa itu.

Nelayan yang kebetulan wilayahnya masih ada sawah, menambah gizi pakan dengan memberikan keong sawah (keong kuning), sisa-sisa kepiting pun ikut dimasukkan ke dalam keramba. Semua jenis ikan dimasukkan ke dalam keramba. Lobster tidak boleh lapar. Sifat kanibalnya membuat lobster akan memakan temannya.

Pakan ini memang mudah didapatkan nelayan. Mereka biasanya mancing, menjaring setiap hari. Nelayan budidaya ini pada dasarnya nelayan tangkap. Sisa ikan yang tidak dijual dan tidak dikonsumsi diberikan kepada lobster peliharaan mereka. Nelayan yang memiliki banyak keramba harus membeli ikan rucah ini, atau berburu di pasar-pasar. Semakin banyak lubang keramba yang dimiliki semakin membutuhkan biaya besar untuk membeli pakan, atau membutuhkan kerja ekstra untuk mencari pakan.

Tapi bagi nelayan Paremas tidak menjadi masalah besar. Budidaya itu menjadi sampingan mereka. Mereka masih memiliki sawah tadah hujan dan masih aktif menangkap ikan. Saat musim hujan mereka menggarap sawah, di sela-sela itu mengurus lobster. Saat cuaca baik mereka melaut menangkap ikan. Di awal-awal budidaya, di tahun 2009 praktis budidaya lobster hanya sebagai sampingan. Keramba itu lebih berfungsi sebagai “bank ikan”. Ketika menangkap ikan yang masih kecil, mereka melepas di dalam keramba. Ketika menangkap lobster dan terlalu kecil, mereka menaruh di dalam keramba.

“Dulu lobster ini ditangkap di alam, ada pembeli yang datang. Lama kelamaan pembeli itu yang kasih modal ke nelayan, diminta nelayan budidaya. Yang besar dibeli, yang kecil dilepas dulu di keramba,’’ kata Ali Sulaeman, nelayan budidaya lobster lainnya.

Tidak ada aktivitas khusus menangkap benih lobster. Nelayan mencari lobster yang sudah besar, yang sudah layak jual. Saat itu berat minimal yang dibeli 100 gram. Saat mencari lobster di atas 100 gram itu, kadang nelayan mendapat lobster yang lebih kecil. Sayang jika dilepas, belum tentu bertahan hidup. Belum tentu ketika mencari lobster berikutnya bertemu lobster itu. Nelayan akhirnya menangkap dan menampung di keramba mereka.

perlu dibaca : Penyelundupan Benih Lobster Berakar dari Regulasi yang Tidak Tepat

 

Nursiwan menunjukkan lobster jenis mutiara yang dipelihara di keramba miliknya di dekat Gili Beleq. Sejak berhasil membuat pakan campuran, pertumbuhan lobsternya sangat cepat. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Permintaan lobster meningkat seiring berkembangnya pariwisata di NTB, khususnya di Lombok. Banyak permintaan lobster. Hotel, restauran, rumah makan seafood di kawasan pariwisata membutuhkan lobster segar. Hampir setiap hari nelayan menangkap lobster. Dan para nelayan mulai membudidayakan. Budidaya masih jadi sampingan, makanan lobster diberikan seadanya, paling sering ikan rucah.

Dari usaha budidaya itu nelayan Paremas mendapat pengalaman, budidaya lobster tidak semudah budidaya ikan lainnya. Untuk menghasilkan berat 150 gram saja, membutuhkan waktu hingga 6 bulan. Tingkat kematian juga tinggi saat itu. Bisa bertahan hingga 70 persen dari jumlah benih yang dilepas sudah dianggap bagus.

“Tapi karena panennya cepat, 5-6 bulan perputaran uang juga cepat. Banyak kemudian nelayan yang budidaya,’’ katanya.

Tahun 2013 mulai ada permintaan benih lobster. Nelayan Paremas juga ikut menjual. Jika ada permintaan mereka jual, jika tidak mereka tetap mencari untuk dipelihara di keramba. Menjual benih bukan yang utama. Mereka mengutamakan budidaya, karena hasilnya lebih bagus dan pembelinya sudah jelas. Mereka juga masih bisa bekerja di sawah atau beternak sapi dan kambing. Permintaan benih lobster semakin meningkat. Bahkan pembeli dari Vietnam datang langsung ke Lombok.

Para nelayan juga diajar cara menangkap benih, saat itulah muncul alat yang sekarang disebut pocong. Para nelayan budidaya bersaing dengan nelayan yang ekspor benih. Hingga kemudian tahun 2016 keluar aturan yang melarang ekspor benih lobster. Permen KP Nomor 56/2016 bukan saja menjadi aturan larangan ekspor benih lobster, tapi juga larangan ekspor lobster dibawah 200 gram. Masa-masa suram nelayan budidaya lobster di Paremas mulai datang.

“Kenaikan dari 100 gram ke 200 gram itulah masa kritisnya. Banyak sakit, banyak mati. Akhirnya dengan sendirinya yang budidaya juga berhenti,’’ kata Ali.

baca juga : Ketika Susi Pudjiastuti Ikut Bahas Polemik Ekspor Benih Lobster

 

Seorang nelayan budidaya lobster memantau keramba jaring apung miliknya. Penjualan lobster lesu ketika pandemi Covid-19 dan saat yang sama keran ekspor benih bening lobster dibuka. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Mahalnya Biaya Budi daya

Bagi Ali, kebijakan menteri Susi saat itu layaknya menyelesaikan satu masalah tapi menimbulkan masalah baru. Ekspor benih lobster bisa ditekan, tapi budidaya juga ikut merana. Nelayan pernah mendengar janji akan diberikan dukungan untuk budidaya. Tapi hingga berganti menteri tak kunjung tiba bantuan itu. Ada beberapa bantuan ke nelayan, dengan tujuan mencegah menangkap benih, dan beralih ke budidaya.

Tapi para pengambil kebijakan lupa, mengubah nelayan tangkap menjadi budidaya bukan perkara mudah. Apalagi untuk budidaya lobster yang masih teribilang baru. Nelayan budidaya yang sudah ada pun tidak disentuh program. Mereka tidak menuntut kompensasi bantuan uang atau peralatan seperti yang dijanjikan, tapi menuntut dilatih agar bisa mempercepat panen dan mengurangi tingkat kematian.

“Kalau sampai 8 bulan lebih pelihara itu tidak kuat nelayan. Semakin lama semakin banyak biaya dan tenaga habis,’’katanya.

Begitu berganti menteri ada sedikit kelegaan bagi nelayan, baik nelayan yang menangkap benih dan nelayan budidaya. Aturan larang ekspor akan dicabut, dan benar saja keluar Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.12/2020, yang isinya kebalikan dari peraturan sebelumnya.

Bagi nelayan penangkap benih ini menjadi kabar baik, tapi bagi nelayan budidaya ada sedikit kekhawatiran. Mereka harus bersaing mencari benih untuk budidaya. Harga benih yang biasanya mereka beli Rp3.000 per ekor kini bisa dua sampai tiga kali lipat. Akhirnya nelayan budidaya lobster pun mengambil jalan tengah : menangkap benih lobster untuk dijual ke eksportir sekaligus mencari benih untuk keramba mereka.

“Kalau bening kami jual, kalau tidak laku untuk ekspor kami lepas di keramba,’’ kata Ali.

Belajar dari dua kebijakan menteri kelautan dan perikanan di era Presiden Joko Widodo ini, Ali berujar bahkan kebijakan itu seringkali tidak memikirkan dampaknya dan cara menyelesaikan masalah yang timbul. Seperti saat ini, dalam kebijakan ekspor ada kewajiban eksportir untuk budidaya. Tapi pada faktanya tidak ada yang budidaya. Jika tidak bisa budidaya mandiri, harus ada aturan yang memaksa perusahaan ekposrtir bisa kerja sama dengan nelayan budidaya mandiri. Nelayan budidaya mandiri itu menjadi binaan mereka. Selain membeli benih bening, mereka juga harus melakukan pembinaan.

“Kalau bisa buat aturan juga eksportir benih bening ini wajibkan untuk membeli lobster besar. Jangan hanya benih saja yang mereka beli,’’ kata Ali.

 

Exit mobile version