Mongabay.co.id

Cerita Masyarakat Lesten, Tidak Rela Desanya Ditenggelamkan Proyek PLTA Tampur

 

 

Matahari baru condong ke barat ketika saya tiba di Desa Lesten, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh, pada 14 September 2020. Butuh waktu tiga jam sampai ke sini dari ibu kota kabupaten, Blangkeujeren.

Sementara, bila dari pusat kecamatan, jaraknya hanya 20 kilometer yang dapat ditempuh satu jam. Kondisi jalan terjal, sebagian besar belum diaspal.

Perkampungan terpencil yang telah ada sejak tahun 1930-an ini, sepi pada siang hari. Hanya anak-anak yang terlihat bermain beserta beberapa ibu yang menjemur biji kakao.

“Semua warga di sini bekerja sebagai petani,” ujar Hanum, seorang ibu yang tengah menjemur biji kakao, hasil panen dari kebunnya dua hari lalu.

Desa Lesten terdiri tiga dusun yaitu Dusun Berawang Gajah, Berawang Pelu, dan Resam Baru. Jumlah penduduknya 235 jiwa dengan 82 kepala keluarga.

Malam itu, saya dan tim Komunikasi Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA] menginap di Dusun Berawang Pelu. “Kita tidak diizinkan pulang, kalau tidak masyarakat akan marah,” terang Irham dari HAkA.

“Kalau tidak mau menginap tidak usah lagi ke Desa Lesten. Di sini, rumah kami terbuka untuk semua orang,” ujar Kepala Dusun Berawang Gajah, Edwir Z, secara khusus menemui kami.

“Tadi saya bercanda, malam ini kita menginap di sini. Mata pancaharian kami semua bertani dan berkebun,” tuturnya ramah.

Baca: Pengadilan Tolak Banding Pemerintah Aceh, Terkait Izin Pakai Hutan Leuser untuk PLTA Tampur

 

Kakao adalah hasil kebun yang ditanam masyarakat Desa Lesten, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pembangunan PLTA Tampur

Desa Lesten masuk rencana akan ditenggelamkan guna kepentingan Pembangkit Listrik Tenaga Air [PLTA] Tampur yang dibangun oleh PT. Kamirzu.

Rencana pembangunan mengemuka setelah Gubernur Aceh saat itu, Zaini Abdullah, pada 9 Juni 2017 mengeluarkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan [IPPKH] kepada PT. Kamirzu melalui Keputusan Gubernur Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017.

Direncanakan, mega proyek tersebut akan menghasilkan listrik mencapai 433 Mega Watt dengan tinggi bendungan mencapai 175 meter. Air yang ditampung sebesar 697 juta meter kubik dengan luas genangan 4.407 hektar. Proyek itu berada di Kabupaten Aceh Timur, Aceh Tamiang, dan Kabupaten Gayo Lues.

Wilayah genangan PLTA Tampur berada hutan lindung sekitar 1.226,83 hektar, hutan produksi [2.565,44 hektar], dan sisanya di APL [297,73 hektar]. Proyek tersebut bakal merendam seluruh Desa Lesten.

Edwir menceritakan, pihak perusahaan menjanjikan masyarakat direlokasi ke tempat lain, diberikan kebun dan rumah permanen tipe-45, serta uang ganti rugi.

“Selain itu, masyarakat juga dijanjikan pekerjaan di proyek tersebut,” ujarnya.

Dia menambahkan, sebagian warga terpengaruh namun sebagian tidak percaya karena hingga tahun 2019, perusahaan belum bisa menentukan tempat relokasi.

“Saat itu bahan peledak sudah dibawa ke Lesten untuk memulai pembangunan bendungan. Namun, masyarakat melarang kegiatan perusahaan sebelum janji dipenuhi.”

Baca: Tok! Hakim Batalkan Izin Pakai Hutan Leuser untuk PLTA Tampur

 

Siang hari, Desa Lesten sepi karena masyarakatnya berkebun. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mat Ali, tokoh masyarakat Lesten mengatakan, warga menolak desa mereka dijadikan lautan bukan hanya karena perusahaan ingkar janji, tapi tidak mau sejarah nenek moyang hilang.

“Desa ini terbentuk jauh sebelum Indonesia merdeka. Di sini dikubur nenek moyang kami, dan di sini kami lahir.”

Masyarakat makin gencar menolak rencana pembangunan PLTA Tampur setelah melihat langsung dampak pembangunan PLTA Jatigede, Sumedang, Provinsi Jawa Barat, pada September 2019.

“Kami bertemu langsung dengan masyarakat yang direlokasi. Mereka mengaku menyesal, salah satunya terkait ganti rugi yang sangat murah dan bahkan ada yang belum selesai.”

Masyarakat Lesten tidak mempermasalahkan hidup mereka dengan berkebun dan menangkap ikan di Sungai Lesten. Mereka hanya minta perbaikan jalan, agar mudah menjual hasil kebun dan ikan ke kecamatan.

“Kami lega ketika mendapatkan informasi bahwa proyek tersebut dibatalkan pengadilan,” ujar Mat Ali.

Baca: Desa Lesten akan Ditenggelamkan, Demi Alasan PLTA Tampur

 

Sungai Lesten adalah bagian penting kehidupan masyarakat Lesten. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Forum Penjaga Hutan dan Sungai Harimau Pining juga pernah melayangkan protes terkait rencana pembangunan PLTA ini. Dalam pernyataannya, Aman Jarum, ketua forum mengatakan, pengrusakan hutan Leuser untuk kegiatan apapun harus dihentikan.

“Tidak ada jaminan proyek yang dikerjakan orang asing, tidak melakukan pengrusakan. Bagi masyarakat Pining, hutan merupakan bagian kehidupan,” jelas Aman Jarum yang pernah menggugat Kementerian Dalam Negeri, Gubernur Aceh, dan DPR Aceh ke pengadilan karena tidak memasukkan KEL dalam RTRW Aceh.

Dia mengatakan, daerah pembangungan listrik tenaga air itu, kaya akan flora dan fauna. Begitu juga potensi ikan di sungai Pining hingga ke Lesten. Proyek ini juga akan mengancam kearifan lokal masyarakat.

“Lokasi proyek merupakan rumahnya beragam satwa dilindungi seperti gajah dan harimau sumatera.”

Baca: Pembangunan PLTA di Aceh, Kajian Potensi Gempa dan Analisis Lingkungan Prioritas Utama

 

Masyarakat Lesten memanfaatkan sumber air berlimpah untuk kehidupan mereka. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Proyek dibatalkan

Pada 11 Maret 2019, Wahana Lingkungan Hidup [Walhi] Aceh dan sejumlah pengacara, menggugat Gubernur Aceh ke Pengadilan Tata Usaha Negara [PTUN] Banda Aceh terkait dikeluarkannya IPPKH untuk PLTA Tampur. Gugatan dengan Nomor: 7/G/LH/2019/PTUN.BNA didaftarkan pada 11 Maret 2019.

Persidangan demi persidangan dilaksanakan di PTUN Banda Aceh dan pada 1 Agustus 2019, Majelis Hakim PTUN Banda Aceh dengan Hakim Ketua Muhammad Yunus Tazryan beserta Fandy Kurniawan Pattiradja dan Miftah Saad Caniago sebagai hakim anggota, menggelar sidang lapangan di Desa Lesten.

Pada 28 Agustus 2019 Majelis Hakim PTUN Banda Aceh mengeluarkan putusan yang mengabulkan seluruh tuntatan Walhi Aceh dan membatalkan IPPKH yang dikeluarkan Gubernur Aceh untuk PLTA Tampur.

Pemerintah Aceh melalui penasehat hukum, mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara [PTTUN] Medan, Sumatera Utara. Hasilnya, Majelis Hakim PTTUN Medan justru menguatkan putusan PTUN Banda Aceh.

Kembali kalah di PTTUN Medan, Pemerintah Aceh melanjutkan kasasi ke Mahkamah Agung dengan Nomor: 270 K/TUN/LH/2020. Pada 28 Juli 2020, Majelis Hakim Mahkamah Agung juga memutuskan menolak kasasi tersebut.

Baca: Tidak Hanya Mengancam Kelestarian Leuser, Peneliti: PLTA Tampur Berada di Wilayah Rawan Gempa

 

Desa Lesten, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, Aceh, memiliki sumber air melimpah dan hutan hijau. Mereka lega ketika mendengar proyek PLTA Tampur dibatalkan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Edwir bersama masyarakat Desa Lesten telah mengetahui proyek PLTA Tampur-1 dibatalkan oleh pengadilan. Sejumlah alat kerjanya juga telah diangkut, termasuk bahan peledak berupa dinamit 14.724,5 kg dan detonator sebanyak 7.882 unit telah dimusnahkan.

“Kami dengar dari pihak kecamatan, PT. Kamirzu telah keluar. Tapi, desa kami belum aman karena bisa saja ada perusahaan lain yang masuk membangun PLTA Tampur, selanjutnya menenggelamkan permukiman kami,” paparnya.

 

 

Exit mobile version