Mongabay.co.id

Jerit Suku Jerieng, Ruang Hidupnya Terdesak Perkebunan Sawit dan HTI [Bagian 1]

 

 

Suku Jerieng merupakan suku beretnis melayu tertua di Pulau Bangka. Mereka tersebar di 13 desa yang masuk dalam Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung. Ke-13 desa tersebut adalah Pelangas, Kundi, Mayang, Paradong, Air Nyatoh, Berang, Rambat, Simpang Gong, Simpang Tiga, Ibul, Pangek, Bukit Terak, dan Air Menduyung.

Suku Jerieng punya ikatan kuat dengan alam. Di masa lalu, mereka menerapkan sistem berkebun yang dikenal dengan istilah “behume” yakni membuka hutan dengan cara ditebang atau dibakar yang luasanannya tidak sampai satu hektar. Jenis tanaman yang ditanam bervariasi, mulai padi, lada, durian, kunyit, lengkuas [laos], umbi-umbian, serta tanaman hutan seperti petai dan jerieng [jengkol] yang menjadi asal nama Suku Jerieng.

Mereka juga percaya, barang siapa yang memiliki niat buruk pada alam akan terkena penyakit, hanya dapat disembuhkan oleh tokoh masyarakat Suku Jerieng. Namun, sejak masuknya perkebunan kelapa sawit skala besar di Bangka Barat sekitar 1993, banyak hutan dan lahan tempat suku ini berkebun tergerus.

Baca: Jejak Suku Lom, Perlahan Hilang Akibat Tergerus Tambang

 

Lahan pertanian Suku Jerieng yang kini telah dihimpit perkebunan kelapa sawit skala besar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Minggu [20/9/2020], saya berkunjung ke Desa Berang, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat, menyaksikan kegiatan nugal [menanam padi], tradisi turun temurun masyarakat Jerieng.

Awan mendung mengiringi Rotini [42] dan suaminya Dudang [47] menuju ladang milik seorang warga yang lokasinya sekitar dua kilometer dari permukiman.

Di sepanjang jalan, hanya terlihat barisan pohon sawit yang baru diremajakan. “Perkebunan ini membentang luas hingga sembilan desa, di antaranya Berang, Ibul, Terentang, Kaung, Pangkal Beras, Dendang, Tugang, Tumbek, dan Petar,” jelas Rotini.

Setelah menempuh perjalanan 20 menit, kami tiba di lahan yang akan ditanami padi. Rotini dan Dudang wajib membantu proses nugal, karena sebelumnya kelompok yang berjumlah 13 orang tersebut telah membantu menanam padi di lahan mereka. Kegiatan saling menolong ini biasa disebut “Besaoh” oleh masyarakat Pulau Bangka.

“Padi dari lahan inilah yang membantu perekonomian warga, karena tidak perlu lagi membeli beras, apalagi saat musim virus sekarang, semua serba susah. Meski hanya panen sekali setahun, alhamdulillah sudah cukup untuk makan sekeluarga,” lanjutnya.

Baca: Bukan Timah atau Sawit, tapi Lada dan Durian yang Membuat Warga Kota Kapur Kembali Bergairah

 

Dulu, lahan ini hutan tempat Suku Jerieng menanam tumbuhan seperti jerieng [jengkol], durian, petai, padi, lada, kunyit dan lengkuas. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Desa Berang luasnya sekitar 2.484 hektar. Lebih kurang 200 hektar merupakan lahan warga yang dikelola 402 kepala keluarga. Umumnya ditanami padi, lada, karet, dan durian. Kawasan hutan sekitar 50 hektar, hanya tersisa di DAS [Daerah Aliran Sungai] Peratap yang panjangnya sekitar 2 kilometer, sedangkan sisanya sudah dijadikan perkebunan kelapa sawit perusahaan sejak 1993.

“Lahan yang kini ditanami sawit, dulunya tempat kami menanam lada, durian, jerieng dan aneka rempah. Sekarang berubah, apalagi perusahaan telah memperpanjang kontraknya hingga 60 tahun ke depan,” kata Rotini, yang termasuk pekerja lama di perusahaan sawit di Desa Berang.

Semakin sempitnya lahan kelola, membuat masyarakat Desa Berang yang dulunya mayoritas petani, terpaksa menjadi buruh. “Tetapi hanya berlaku bagi usia muda, sistemnya kontrak. Jika perusahaan menganggap kami tidak dibutuhkan lagi, pasti segara dipecat.”

Masih menurut Rotini, hasil dari berkebun sesungguhnya lebih menjanjikan dibading menjadi buruh sawit. “Saya pernah dapat 4 hingga 5 juta Rupiah per bulan, karena berkebun banyak alternatif penghasilan yang didapat. Kebun juga bisa diwariskan ke anak.”

Berdasarkan data BPS Bangka Barat 2018, Kabupaten Bangka Barat merupakan wilayah yang memiliki lahan perkebunan kelapa sawit seluas 37.351,82 hektar yang dikelola enam perusahaan besar.

Rinciannya, PT. Gunung Sawit Bina Lestari [9.098,90 hektar], PT. Tata Hamparan Eka Persada [4.091,77 hektar], PT. Sawindo Kencana [7.331,20 hektar], PT. Ledong West [1.389,25 hektar], PT. Swama [1. 221,62 hektar], dan PT. Bumi Permai Lestari [14.319,08] yang lahannya berada di Desa Berang.

“Semoga saja luasan kebun sawit di sini tidak bertambah lagi. Sekarang saja kami sudah terjepit,” kata Jemaun, petani Dusun Rajik, Desa Berang, Kecamatan Simpang Teritip.

Baca juga: Selain Rusak Lingkungan, Tambang Timah di Bangka Juga Makan Korban Jiwa

 

Lahan pertanian Suku Jerieng seluas 200 hektar yang dikelola sekitar 402 kepala keluarga ini, terancam tergusur hadirnya HTI. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ancaman HTI

Lahan pertanian 200 hektar yang kini menjadi harapan satu-satunya masyarakat Jerieng nyatanya mulai terancam dengan telah ditetapkannya areal tersebut sebagai konsesi hutan tanam industri [HTI]. “Kabarnya proyek HTI ini, akan dimulai tahun 2020 ini. Tapi hingga sekarang, belum terlihat, sehingga masyarakat masih bisa menanam padi,” kata Rotini.

Rotini bukan sembarang orang. Dia satu-satunya perempuan yang menggerakkan protes warga terhadap kehadiran HTI di kebun Suku Jerieng.

“Sekitar 2013, terbentuk Tim 10, dan saya satu-satunya perempuan di sini. Di tahun yang sama, kami mengadakan pertemuan di Desa Pelangas dan mendapat dukungan masyarakat. Puncaknya, ketika kami demo di kantor Gubernur Bangka Belitung pada 2018 lalu,” lanjutnya.

Saat itu, ada sekitar 10.000 petani Bangka Barat dari 39 Desa berunjuk rasa, mendesak Gubernur Babel membuat surat rekomendasi ke KLHK [Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan] untuk mencabut izin HTI PT. Bangun Rimba Sejahtera nomor SK.336/Menhut-II/2013.

“Sebanyak 75 persen [66.640 hektar] dari luas lahan konsesi PT. BRS telah dikelola masyarakat untuk pertanian seperti lada, karet, sawit, serta untuk permukiman. Kehadiran perusahaan mengancam sumber sumber ekonomi masyarakat,” kata Romazon, Ketua FKWKR [Forum Kerja Wilayah Kelola Rakyat] dikutip dari walhi.or.id.

 

Lahan pertanian warga Suku Jerieng di Desa Berang hanya tersisa 200 hektar, dari luas desa sekitar 2.484 hektar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Buntut aksi tersebut, dibentuk Pansus DPRD Provinsi Babel yang merekomendasikan gubernur mencabut sembilan izin HTI di Bangka Belitung.

“HTI tidak menguntungkan pemerintah daerah, malah merugikan, ada konflik kepentingan. Kami meminta gubernur tegas dan mencabut izinnya,” kata Toni Mukti, Ketua Pansus DPRD Babel tentang Hutan Tanaman Industri dalam Rapat Paripurna, dikutip dari wowbabel.com, Senin [08/7/2019].

Aksi protes konsesi HTI, dilanjutkan ribuan mahasiswa UBB di kantor DPRD Babel pada 24 September 2019. Menjawab tuntutan mahasiswa itu, Didit Srigusjaya selaku Ketua DPRD Babel menjelaskan, bahwa DPRD Babel sudah membuat pansus HTI. Hasilnya, pansus merekomendasikan beberapa HTI di Bangka Barat, Bangka, dan Bangka Selatan dihapus.

“Tapi untuk menghapusnya bukan wewenang DPRD. Tugas kami hanya sebatas pengawasan, yang berwenang itu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kami juga sudah mendatangi KLHK dan menyampaikan keluhan masyarakat, tapi sampai saat ini belum ada realisasinya ” jelasnya, dikutip dari bangka.tribunnews.com.

 

Nugal atau menanam padi yang dilakukan masyarakat Suku Jerieng di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Terkait kondisi HTI, Mongabay Indonesia telah menghubungi Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Eko Kurniawan, Sabtu [03/10/2020]. Namun, dia mengarahkan untuk bertanya langsung ke Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Mongabay Indonesia selanjutnya mengkonfirmasi Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Marwan, Senin, [5/10/2020], melalui pesan WhatsApp maupun telepon. Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada jawaban.

Berdasarkan data Walhi Bangka Belitung [Babel], total luasan konsesi HTI di Kepulauan Babel seluas 275.682 hektar. Atau 41,83 persen dari 659.014 hektar kawasan hutan produksi.

“Semoga saja izin HTI di desa kami segera dicabut. Kalau benar terjadi, kami mau berkebun di mana lagi. Akan ada ribuan masyarakat kehilangan tanah dan Suku Jerieng bakal tinggal nama karena hutan dan kebunnya lenyap,” tegas Rotini.

 

 

Exit mobile version