Mongabay.co.id

Tantangan Berat Gerakan Lingkungan Hidup Indonesia

Luapan lumpur PT PUL merusak puluhan hektar tambak warga. Kejadian ini sudah terjadi berkali-kali dan telah mendapat teguran Pemda. Foto: Walhi Sulsel/Mongabay Indonesia.

 

 

“Terjadi kesunyian yang aneh. Burung-burung, misal. Ke manakah mereka pergi? Banyak orang membicarakan hal ini. Bingung dan gelisah. Tempat makan untuk burung-burung di halaman telah sepi. Beberapa burung yang masih terlihat dalam keadaan sekarat. Burung-burung ini menggigil dengan sangat dan tidak bisa terbang.” Begitulah Rachel Carson menggambarkan dalam bukunya Silent Spring, soal kota di Amerika yang selaras dengan alam, tetapi berubah mencekam.

Saat itu, Carson resah, khawatir dengan marak penggunaan bahan kimia untuk kebutuhan pangan yang dampak bukan hanya dirasakan manusia, juga makhluk hidup yang lain. Salah satu dia gambarkan lewat burung-burung yang menghilang. Burung yang masih hidup pun dalam kondisi sekarat. Keresahannya dituangkan dalam Silent Spring yang terbit 1962. Ia memicu kelahiran gerakan lingkungan hidup tingkat global.

Akhirnya, gerakan lingkungan hidup sampai juga ke Indonesia. Dengan keresahan sama akan nasib lingkungan hidup di Indonesia dan bagaimana menyelamatkannya. Setidaknya itu dirasakan oleh Kelompok Sepuluh yang kemudian menginisiasi kelahiran sebuah organisasi forum lingkungan hidup dengan latar belakang beragam, namun memiliki visi dan cita-cita sama. Lahirlah, Walhi.  Sebagai sebuah gerakan baru lahir, hal pertama dilakukan Walhi adalah membangun kesadaran betapa pentingnya lingkungan hidup.

Seiring perjalanan dan hampir sama di berbagai belahan dunia, menyaksikan bagaimana eksploitasi terhadap alam kian tak terkendali. Keresahan berubah jadi “kemarahan” ketika paradigma pembangunan bertumpu pada industri keruk, menggunakan mesin-mesin kekuasaan untuk terus menguras isi bumi tanpa henti.

Setiap menit kita menyaksikan sistem ekonomi kapitalisme menghancurkan tanpa jeda melalui mesin-mesin industri ekstraktif yang dikendalikan kuasa korporasi seperti tambang dan perkebunan monokultur skala besar dengan praktik begitu buruk. Mereka membongkar dan mengeruk isi bumi, mengubah bentang alam, menghisap air, mencemari mata air hingga mencerabut ekosistem, menghilangkan ruang hidup, kebudayaan dan spiritualitas masyarakat adat dan masyarakat lokal secara masif.

Dari semula gerakan yang dibangun untuk menggugah kesadaran, kemudian meningkat jadi gerakan menggugat. Kali pertama, Walhi menggugat negara dalam kasus PT Indorayon. Meski kalah, namun inilah tonggak sejarah dimana legal standing Walhi sebagai organisasi lingkungan hidup diakui. Berikutnya, ruang pengadilan jadi saksi bagi rakyat dan organisasi lingkungan hidup dalam memperjuangkan keadilan ekologis dan sosial.

 

 

Tantangan

Jared Diamond, dalam Collapse, How Societies Choose to Fail or Succeed, melihat kerangka collapse pada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Berbagai fakta kerusakan lingkungan hidup, krisis iklim dan bencana ekologis di Indonesia yang terjadi hingga kini, semestinya dibaca dalam logika kompleks antara pertumbuhan yang diagung-agungkan, ketidakpahaman atas perubahan lingkungan hidup, dan pengabaian atas biaya yang ditanggung warga dalam sejarah pembangunan.

Biaya itu adalah kemiskinan struktural yang menghasilkan krisis pangan, dan krisis air bersih serta energi yang jadi kebutuhan dasar manusia.

Diamond juga mengatakan, runtuh dan berkembangnya satu entitas dalam satuan lingkungan bukan ditentukan kondisi geografik alami. Pilihan bertahan atau collapse, jatuh pada entitas manusia yang tinggal di dalamnya.

Pada konteks tertentu, entitas ditentukan pilihan pemimpin politiknya. Oligarki di Indonesia, bersifat ekstraktf, investasi sektor sumber daya alam tetap menjadi tulang punggung. Ini tidak dapat lepas dari makin kuatnya kelindan oligarki di kekuasaan. Apalagi bisnis sumber daya alam, salah satu penyokong utama dalam politik elektoral, dengan izin sebagai ijonnya.

Elit politik abai dengan risiko krisis iklim dan kerusakan ekologis yang harus ditanggung rakyat yang hidup di negara kepulauan bernama Indonesia.

Tantangan makin berat bagi gerakan lingkungan hidup dan demokrasi. Oligarki tak pernah merasa cukup mengeksploitasi manusia dan alam. Dalam konteks politik Indonesia kini, kita berhadapan pada situasi ruang demokrasi makin dipersempit dan reformasi dikorupsi.

Agenda reformasi dan agenda demokrasi dibajak kekuasan, baik kekuasaan politik maupun ekonomi. Suara rakyat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dan ruang hidup dibungkam kekuasaan. Padahal, agenda mewujudkan keadilan ekologis mensyaratkan ada ruang demokrasi yang terbuka bagi rakyat.

Di tengah tantangan itu, yang cukup mengejutkan datang dari kelompok muda, kelompok yang selama ini dianggap cuek dengan keadaan sosial dan ekologis, serta apolitis. Gerakan mogok sekolah Greta Thunberg dan gugatann pada para pemimpin politik dunia yang lamban mengatasi krisis iklim. Greta berhasil menggerakkan pelajar di berbagai negara turun ke jalan menyuarakan keadilan iklim.

Di Indonesia, gerakan kelompok muda yang biasa terpisah dan kecil-kecil, mengagetkan ketika para oligarki makin brutal mengeluarkan kebijakan yang eksploitatif dan repressif. Tiba-tiba mereka hadir bak ombak badai, gelombang yang menghantam keangkuhan kekuasaan dalam aksi Reformasi Dikorupsi, September 2019. Salah satu tuntutan yang disuarakan pemuda dan mahasiswa adalah kebakaran hutan dan lahan.

Tepat satu tahun, kelompok muda kembali menunjukkan kekuatannya, saat oligarki makin rakus, membuat kebijakan yang akan makin menghisap manusia dan alam. Pada masa pandemi, RUU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) disahkan. Kemudian menyusul dengan menghiraukan suara publik yang menolak RUU Cipta Kerja atau RUU Cilaka yang sejak awal diniatkan jadi karpet merah bagi investasi dan melanggengkan state capture corruption.

Tak bisa dibendung, selain turun ke jalan menentang kekuasaan yang pongah, gerakan menolak RUU Cilaka ini juga kampanye di media sosial yang memang berada dalam genggaman tangan mereka. Mosi tidak percaya pada pemerintahan jadi trending topic di jagad maya. Ketuk palu RUU ini jadi puncak penghianatan pada kontitusi dan rakyat.

Tentu tak sedikit yang mencemooh kelompok muda turun ke jalan ini, namun mereka bergeming menyuarakan ketidakadilan yang harus dilawan, ketidakadilan terhadap lingkungan hidup dan rakyat.

 

Aksi Walhi, protes kebakaran hutan dan lahan minim penegakan hukum kepada korporasi. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Keadilan ekologis

Walhi sebagai bagian dari gerakan lingkungan hidup dan demokrasi, selama ini menyuarakan agenda keadilan ekologis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan keadilan sosial ekonomi. Gerakan ini mendorong perombakan struktural ekonomi dan politik yang selama ini melahirkan ketidakadilan. Yakni, ketimpangan atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan pengabaian terhadap pengetahuan maupun kearifan masyarakat adat/ lokal dalam mengelola kekayaan alam.

Kunci utama mewujudkan keadilan ekologis adalah pemerataan alokasi dan distribusi sumber daya sosial, lingkungan hidup (alam) yang berlangsung dari tingkat lokal, nasional hingga global. Hal ini untuk menjamin pemihakan yang kuat terhadap kelompok terlemah di dalam masyarakat, menjamin kebutuhan dasar manusia terpenuhi, dan lingkungan hidup sehat. Juga, ada jaminan bagi semua warga negara memiliki kebebasan dan kesempatan mengembangkan kehidupan pribadi, sosial, dan tanggung jawab sosial dan ekologisnya. Juga, memastikan generasi mendatang menikmati hak sama. Generasi ke depan dapat jadi subjek hukum penuh yang harus dijamin hak-haknya.

Anak muda ini bukan sekadar angka-angka untuk mendulang suara saat pemilu. Generasi milenial dan gen Z, sesungguhnya memiliki kemampuan menciptakan narasi yang dapat mendekonstruksi narasi usang soal ekonomi dan pembangunan. Bukan hanya menyuarakan ketidakadilan dengan turun ke jalan, kelompok ini juga secara akademik mampu menerobos dengan kritis narasi-narasi dominan melalui kajian. Salah satu dilakukan tim kajian analisis kesenjangan kebijakan iklim Indonesia dalam perspektif keadilan antar generasi. Kajian ini menyimpulkan, jika tidak melakukan langkah-langkah progresif dalam menangani perubahan iklim, pemerintah telah sadar melakukan pembunuhan massal terhadap generasi akan datang.

Dinamika politik dalam kurun waktu belakangan ini pada akhirnya mengajak kita, gerakan lingkungan hidup dan demokrasi untuk mereflesikan diri. Bahwa, pada usia empat dekade perjalanan dari gerakan lingkungan hidup di Indonesia, kelompok muda sesungguhnya masa depan yang akan membawa bangsa ini pada perubahan. Terlebih, kekhasan dari gerakan lingkungan hidup, bahwa, yang diperjuangkan bukan hanya generasi hari ini, juga generasi mendatang.

Sebuah gerbong perjuangan gerakan lingkungan hidup di Indonesia, Walhi, harus memperteguh keyakinan untuk terus membumi dan bekerja bersama rakyat. Di tengah tantangan politik yang makin berat ini, tak ada jalan lain, selain Walhi juga harus terus memperluas konsolidasi dan memulihkan demokrasi yang kini terkoyak, untuk mewujudkan keadilan ekologis.

Akhirnya, selamat ulang tahun Walhi ke-40, rumah bagi gerakan lingkungan hidup dan demokrasi Indonesia.

 

*Penulis adalah Koordinator Desk Politik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

 

 

Keterangan foto utama: Luapan lumpur PT PUL merusak puluhan hektar tambak warga. Kejadian ini sudah terjadi berkali-kali dan telah mendapat teguran Pemda. Foto: Walhi Sulsel/Mongabay Indonesia.

Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Walhi yang menggugat rencana penambangan batubara, PT Mantimin Coal Mining (MCM) di Pegunungan Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.

 

 

 

Exit mobile version