Mongabay.co.id

Mandiri Pangan dan Konsumsi Makanan Sehat Bisa Tekan Emisi, Seperti Apa?

Produksi dan konsumsi pangan sehat. Pangan dari sumber karbohidrat sampai sayur mayur dan bahan minuman, hasil dari tanam sendiri secara organik. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pesantren Ekologi Ath-Thaariq di Garut, Jawa Barat, memberikan contoh kemandirian pangan dalam lingkungan keluarga dan komunitas. Di lahan sekitar satu hektar, mereka mampu memenuhi keperluan pangan sehari-hari, bahkan berlebih. Sebagian mereka jual atau bagikan dengan masyarakat sekitar. Berbagi benih, juga mereka lakukan guna mendorong dan mengajak orang lain untuk menanam.

“Peringatan Hari Pangan Sedunia ini perlu dirayakan dengan menanam,” kata Nissa Wargadipura, pendiri Pesantern Ekologi Ath-Thaariq, kala diskusi daring memperingati Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober lalu.

Kini, Indonesia dan dunia sedang pandemi virus corona, krisis kesehatan yang berimbas ke berbagai sektor termasuk ekonomi dan pangan. Saat awal pandemi, pemerintah kalang kabut berbicara soal krisis pangan, Pesantren Ath-Thaariq malah panen raya. Mereka mandiri pangan.

“Pangan, buah-buahan, dan obat obatan kami tersedia dengan keragaman pangan. Kami bisa mengakses dengan cepat. Hanya sejenggal dari rumah,” katanya.

 

Nissa Wargadipura, pendiri Pesantern Ekologi Ath-Thaariq, saat panen jambu dari pekarangan pesantren. Foto: dari akun Facebook Nissa Wargadipura

 

Pesantren ekologi, berusaha membangun laboratorium pembelajaran agroekologi. Lahan pertanian itu, katanya, mereka kelola berbasis pemulihan ekologi.

Kondisi pertanian Indonesia, kata Nissa, kian terancam karena terjadi krisis ekologi sejak ada revolusi hijau, kini muncul pandemi.

“Ada kesalahan sistem yang dibangun pasar, ini bukan kesalahan petani seutuhnya. Kita itu kehilangan dengan banyak membunuh serangga atau musuh alami dalam pertanian. Itu karena ada pertanian yang bergantung pada pestisida yang mematikan mereka.”

Kondisi ini, juga menyebabkan Indonesia jadi tidak mandiri benih dan pupuk. Input eksternal pertanian jadi sangat tinggi. Ongkos bertani mahal, harga tak stabil bahkan cenderung rendah, berujung pada kesejahteraan petani terus menurun.

 

Muliakan tanaman lokal

Herni Saraswati, perempuan petani dari Kulonprogo, Yogyakarta penggagas pelestarian pangan, kearifan lokal dan menjaga pengetahuan lokal perempuan dengan kembali ke alam di tengah gempuran industri pangan.

“Perempuan itu erat dengan konsumsi lestari untuk bisa sedikit mungkin membeli dari luar tapi memperkaya pangan di sekitar,” katanya.

 

Sagu, salah satu sumber pangan lokal yang banyak tumbuh di daerah-daerah di nusantara ini, seperti Riau, Papua, Maluku dan lain-lain. Tanaman sagu, antara lain yang cocok di lahan gambut. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Kelompoknya mengupayakan perempuan tak kehilangan mata pencaharian, misal, menciptakan benih padi, bersaing dengan sehat dengan benih pabrik. Dia berharap, dalam Hari Pangan Sedunia ini, pangan lokal tetap lestari dan terus tergali agar tak punah.

“Agar generasi ke depan makin berkualitas, karena pangan sehat dan mengandung gizi berlimpah.”

Salama, perempuan petani Desa Brang Pelat, Sumbawa memperjuangkan sistem pangan dengan membentuk kebun kolektif, menanam dengan tanaman lokal serta membuat pupuk organik.

Dia prihatin dengan begitu banyak benih lokal hilang dengan ada penyeragaman benih atas dorongan pemerintah.

“Menurut kami, siapa yang menguasai benih adalah yang menguasai kehidupan.”

Di Sumbawa, kata Salama, pendekatan pertanian mereka gunakan tradisi basiru, yakni, gotong royong mengelola pertanian dan biasa dengan berbalas pantun.

 

Produksi dan konsumsi pangan sehat. Pangan dari sumber karbohidrat sampai sayur mayur dan bahan minuman, hasil dari tanam sendiri secara organik. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Apni Naibaho, Duta Petani Muda dari Pemantang Siantar terus menanam pada situasi pandemi ini. Saat ini, katanya, keberadaan petani sangat penting dalam penyediaan pangan. Petani muda juga dituntut kreatif untuk bertahan di tengah persoalan pertanian saat ini, salah satu keterbatasan lahan.

Apni mengelola banyak petani berusia lanjut untuk dapat pengetahuan pertanian yang menghasilkan sayuran organik dengan pemasaran online. “Kami tidak hanya menjual sayur mentah, juga menambah nilai jual dengan produk olahan.”

 

Konsumsi pangan sehat, kurangi emisi

Memproduksi pangan dengan pola organik maupun memuliakan benih lokal, bisa berkontribusi pada perbaikan lingkungan. Ia juga merupakan aksi tekan pelepasan emisi. Tak cukup dengan pola produksi, perlu juga perubahan pola konsumsi.

Dengan pangan sehat juga bisa berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon. Aksi ini antara lain, vegetarian diet, vegan diet, maupun planetarian diet.

Apa keuntungan pola makan bagi kesehatan? Bagaimana pola makan menguntungkan dan menyehatkan bumi? Dalam seminar daring digelar Yayasan Alam Sehat Lestari awal Oktober lalu, membahas soal ini.

 

Tomat tanam organik, siap konsusmsi. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Seminar itu menghadirkan pembicara Kinari Webb , Co-Founder Asri. Ada Nadine Alexandra Dewi Ames, Putri Indonesia 2010, dan pegiat lingkungan serta Max Mandias, seorang vegetarian juga Co-founder, Chief Innovation Officer of Burgreens and Green Butcher.

Sebelum diskusi diputar video pendek tentang makanan dan alam. Melalui video itu bercerita tentang pola makan bisa mempengaruhi kesehatan dan kelanggengan bumi.

Dalam video itu memperlihatkan, pola makanan manusia saat ini banyak tidak sehat dan membunuh manusia dan bumi.

Makanan tidak sehat membunuh lebih besar dibanding alkohol dan narkoba. Lebih 2,1 miliar orang di bumi mengalami berat badan berlebihan karena makan berlebihan dengan konten manis, berlemak dan daging. Kontras dengan kondisi lain di bumi, ada 821 juta manusia tidur dalam keadaan lapar.

Video itu juga, riset organisasi nirlaba bernama EAT berpusat di Amerika, mengumpulkan 37 ilmuan terbaik dunia lalu merumuskan apa dan bagaimana pola makanan sehat dan tak merusak bumi.

Riset yang tertuang dalam Komisi EAT Lancet itu, berisi panduan ilmiah rancangan pola makan sehat dan ramah lingkungan. Kesimpulannya, kalau manusia bisa mengubah cara memproduksi, mengangkut, mengonsumsi dan mengolah sisa makanan dengan baik, manusia bisa menyediakan makanan sehat bagi semua orang saat ini, dan masa depan, sekaligus meningkatkan kelestarian bumi.

 

Tak hanya pangan, beragam sumber obat-obatan herbal, juga tersedia di Pesantern Ekologi Ath-Thaariq. Foto: dari akun Facebook Nissa Wargadipura

 

Bagaimana contoh nyatanya? Manusia bisa tetap makan daging tetapi makanan dari tumbuhan tetap yang utama dan lebih banyak. Manusia harus makan beragam buah dan sayur. Perlu mengurangi mengkonsumsi daging, menghindari lemak jenuh, biji bijian olahan dan hindari pengawet dan pemanis makanan, juga jangan membuang makanan. Kurangi makan daging dan makanan protein laut. Dengan pola makan yang baik, bermanfaat bagi kesehatan dan alam yang lestari.

“Sudah saatnya kita mengubah pola makan. Apa yang kita makan bisa membantu menyelamatkan bumi. Apa yang kita makan bisa jadi solusi dari persoalan besar bumi hari ini yakni perubahan iklim,” kata narasi video pendek itu.

Dalam diskusi, Kinari menceritakan pengalaman sebagai vegan. Dalam lima tahun belakangan ini, dia tidak lagi mengkonsumsi daging. Dengan tak makan daging, katanya, dia merasa hidup lebih sehat. Lebih penting lagi, katanya, dengan tak makan daging, lebih baik bagi alam. Sebagai orang konservasi dan kesehatan, setelah jadi vegan, Kinari jauh lebih sehat dan tenang.

Dia juga jelaskan soal vegan dan vegetarian. Istilah vegetarian itu bagi orang yang makan tanpa daging, tetapi telur keju dan susu masih makan. Bagi vegan, pola makan tanpa daging dan semua makanan tanpa dari binatang.

Begitu pun istilah planetarian, adalah orang yang makan makanan lebih memikirkan alam atau makanan yang baik bagi planet. “Boleh makan daging tetapi kalau hanya sehat untuk dunia. Ada orang yang makan daging, itu masih baik untuk kesehatan tetapi tidak baik untuk alam,” katanya.

Ada juga istilah terbaru yakni diet planetarian. Kalau melihat produksi daging dari peternakan yang besar dengan banyak hewan ternak kumpul satu tempat dengan makanan sama, ternyata sangat jelek bagi kesehatan. Ia berbeda dari ayam kampung, katanya, yang peroleh makanan dari alam, sisa biji atau sisa makanan manusia dan mereka hidup bebas.

“Ayam kampung makan dari alam hingga lebih sehat untuk kesehatan dan alam atau dunia.”

Dalam diet planetary produk daging lokal, misal, sangat dianjurkan karena daging ayam kampung itu lebih sehat.

 

Buah dana sayur hasil panen dari kebun di Pesantern Ekologi Ath-Thaariq, yang ditanam secara organik. Foto: dari Facebook Nissa Wargadipura

 

Soal hubungan pangan dengan emisi karbon, Kinari bercerita pengalaman di Brasil. Di sana banyak perusahaan membuka hutan untuk bikin peternakan raksasa. Kondisi seperti ini, katanya, tidak baik dan berdampak terhadap alam.

Hutan tropis Brazil, dengan kekayaan keragaman hayati, katanya, juga terancam peternakan dan pertanian monokultur raksasa.

“Pengalaman saya di Brasil ada satu keluarga saja punya usaha peternakan dengan membuka hutan 600 hektar. Memang hasil daging dari peternakan nanti dimakan, tetapi polusi dan emisi yang ditimbulkan akibat pembukaan lahan begitu luas sangat tidak baik bagi alam.”

Setelah membuka lahan hutan untuk peternakan, mereka juga untuk pertanian kedelai. Kalau kedelai untuk tahu atau tempe saja, mungkin tidak masalah. Yang terjadi, kedelai untuk pakan hewan ternak, sebagian ekspor ke Tiongkok.

Sampai Tiongkok, kedelai olah lagi jadi pakan ternak dan ekspor ke berbagai negara. Dari sini, katanya, begitu banyak produksi karbon dari proses peternakan dan pertanian. “Jadi vegan salah satu cara manusia ikut menyembuhkan bumi dengan tidak menyumbang emisi karbon.”

Untuk warga di daerah dengan keterbatasan memilih protein,   katanya, pola makan planetarian bisa jadi pilihan bagus.

“Memang setiap manusia berbeda situasinya. Perlu memikirkan planet bumi di setiap waktu makan. Apakah makanan yang dimakan itu sehat untuk diri dan planet bumi.”

Dia contohkan lagi, makan makanan dari minyak sawit sebenarnya tak sehat dan tidak bagus baik untuk kesehatan maupun dunia. Perkebunan sawit, katanya, membuka lahan besar yang bedampak pada kondisi bumi.

“Waktu tinggal di Sukadana suka cari minyak kelapa. Lebih sehat tubuh dan alam.”

Kirani lebih suka minyak kelapa juga karena buatan masyarakat lokal. Dengan membeli minyak kelapa, katanya, ikut membantu petani kelapa. “Yang jelas banyak cara bisa dilakukan. Jadi, tidak ada alasan tidak mengubah pola makan.”

Nadine seorang vegetarian. Dia cerita jadi vegetarian berawal dari pencinta binatang. Dia suka kucing, anjing, kambing dan binatang lain. “Bagaimana ceritanya, di luar berkoar-koar penyelamatan lingkungan, mengajak orang ikut menyelamatkan lingkungan. Padahal, di piring ada ketidakadilan,” katanya.

 

Ekspansi pembukaan hutan untuk kebun sawit merupakan masalah besar yang terjadi di hutan Singkil-Bengkung. Foto: Nanang Sujana/RAN

 

Berangkat dari sini, jadi pemicu Nadine jadi vegetarian. Dia bilang, proses memang tak langsung cepat dan sempurna, perlu pembelajaran. “Pola makan saya planetary, 90% masih nabati. Tujuh tahun terakhir banyak perubahan akibat banyak belajar dan proses adaptasi.”

Mengubah pola makan, katanya, perlu kemauan kuat. Dia mulai dengan mencari tahu, dan menerima penjelasan sederhana. Kalau hanya melihat makanan di piring, manusia tak tahu proses panjang di belakangnya. Di balik sepiring nasi itu, katanya, ada banyak hal bisa dipertimbangkan untuk kelestarian bumi.

Max Mandias bercerita mulai mengubah pola makan sejak 2012. Ini Kala itu, dia berusia 25 tahun. “Selama 25 tahun pertama itu saya pemakan segalanya. Saya pencinta daging sejati, pencinta makanan manis, bisa makan apa saja. Jadi kalau bicara balance diet pola makan sehat sangat jauh.”

Memasuki 2012, Max yang bekerja di kantor, ternyata lebih stres di banding kuliah. Stres jadi berkepanjangan plus pola makan parah.

Dia secara fisik mengalami sinusitis, mimisan, kontipasi parah bahkan insomnia, dan berat badan naik. Dia benar-benar merasa tak sehat.

Dengan mengubah pola makan, secara reflektif menyembuhkn diri. Akhirnya melihat lebih detail pola makan dan gaya hidup.

Dari situ juga dia mulai belajar, misal, dari hasil bacaan, makan nabati menyembuhkan penyakit secara alami. Dari situ, dia mencoba makan nabati selama tiga bulan untuk eksperimen.

Hasilnya, dia merasa lebih baik. Tidur lebih baik, emosi juga baik bahkan konstipasi hilang, sinusitas sembuh ketika tak minum susu sapi.

“Saya tarsadarkan sendiri. Dari sini terinspirasi ingin belajar, bagaimana membuat makanan sehat yang enak berbasis nabati. Saya ingin belajar membuat makanan sehat dari nabati.”

Dia tertarik nabati 100% karena dapatkan tiga kebaikan: kesehatan tubuh lebih terjamin, kesehatan lingkungan dan hidup berdampingan dengan mahluk hidup lain dan bumi.

Max berpesan, menjaga sisitem pencernaan, perlu mengurangi konsumsi produk olahan. Vegetarian dan vegan saja, katanya, tak cukup, sumber makanan nabati juga menentukan.

Keterangan foto utama: Menanam dengan memanfaatkan berbagai media di tengah ketiadaan lahan. Upaya memenuhi sebagian pangan sendiri dengan cara organik untuk dapatkan sumber pangan sehat. Sumber pangan pun baik bagi kesehatan tubuh dan lingkungan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Cabe, tanam organik. tanam untuk konsumsi sendiri. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Sayur mayur tanam organik buat konsumsi sendiiri. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version