Mongabay.co.id

Bagaimana Komitmen Negara Lindungi Pembela Lingkungan Hidup dan HAM?

Kebakaran di konsesi PT BEP di Muarajambi. Foto: Yitno Supriyanto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Pembela lingkungan hidup dan hak asasi manusia terus menghadapi berbagai tindakan kekerasan, ancaman, intimidasi bahkan tak jarang pembunuhan. Kekerasan juga dialami oleh aktivis Walhi, organisasi lingkungan tertua di Indonesia yang pada 15 Oktober lalu genap berusia 40 tahun.

Beberapa kasus menerpa aktivis Walhi seperti dialami Murdani, Direktur Eksekutif Walhi Nusa Tenggara Barat (NTB), rumah dan mobil dibakar orang tak dikenal awal 2019. Ada juga kasus kematian Golfrid Siregar, yang bergiat di Walhi Sumatera Utara. Sejauh mana komitmen negara dalam pemenuhan komitmen perlindungan para pejuang lingkungan hidup dan HAM ini?

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, perlindungan kepada pejuang lingkungan yang tercantum dalam Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Walhi sudah beberapa kali diskusi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hingga kini, aturan turunan atau implementasi pasal belum keluar.

“Drafnya seperti apa juga kita gak tahu. Kita jadi terjebak kepada teknikal. Kita perlu memrefleksikan ini dan mencari terobosan. Nggak bisa berusaha mempertahankan sesuatu yang sangat asasi menggunakan tools yang itu ribet banget.”

Pada pembela HAM dan lingkungan terus terancam. Apalagi, katanya, dengan model pembangunan sangat bergantung eksploitasi sumber daya alam. Kondisi ini, secara langsung memunculkan konflik perebutan ruang hidup dengan banyak kelompok masyarakat. Sisi lain, seringkali negara dan aparat malah berpihak kepada kepentingan korporasi.

“Pembangunan selama orde baru sampai sekarang, senantiasa memunculkan ekses berupa pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan dialami aktivis dan komunitas masyarakat,” katanya dalam diskusi dari rangkaian HUT Walhi ke-40.

Sampai saat ini, dia lihat belum melihat ada upaya sistematis bersifat mitigatif dari negara untuk menurunkan aksi kekerasan ini.

 

Bambang Hero Saharjo, ilmuwan spesialis forensik kebakaran hutan dan lahan ini meraih penghargaan internasional, John Maddox Prize 2019 atas kegigihannya menjadi ahli dalam melawan perusahaan pembakar hutan dan lahan. Bambang, satu dari 206 nominasi terpilih dari 38 negara. Bambang pernah didugat perusahaan yang merasa dirugikan dengan keahlian dia di persidangan. Foto: dari screenshot video Mongabay Indonesia

 

Apalagi, katanya, negara justru memperlihatkan dukungan secara terbuka terhadap investor atau korporasi. Hal ini, katanya, bisa dilihat dari pengesahan UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu.

Yaya khawatir, pengesahan UU ini membuat pelanggaran HAM dan lingkungan makin sering. Padahal, katanya, kasus pelanggaran HAM dan lingkungan, banyak belum selesai.

UU Cipta Kerja, katanya, menimbulkan impunitas bagi kalangan korporasi. Hingga ketika melanggar hukum, berpotensi tidak terjerat. UU Cipta Kerja, katanya, berpotensi “memutihkan” kejahatan-kejahatan korporasi, antara lain, perkebunan sawit dalam kawasan hutan, kebakaran hutan dan lahan, dan lain-lain.

“UU Cipta Kerja juga sangat berpengaruh terhadap pembatasan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Misal, proses amdal, tata ruang dan akses keadilan bagi masyarakat.”

Dalam UU Cipta Kerja ini, ruang gerak masyarakat makin sempit terlebih kalau ada keberatan atau masalah di masyarakat terkait operasi perusahaan, izin lingkungan tak bisa lagi gugat ke pengadilan.

Sementara, gerakan masyarakat sipil penolak pengesahan UU Cipta Kerja pun menghadapi banyak persoalan. Saat demonstrasi beberapa waktu lalu, masih menyisakan banyak persoalan, misal, mereka banyak ditahan dan pendamping hukum tak bisa menemui mereka.

“Pemerintah malah memperkuat posisi aparat negara yang menggunakan kekerasan. Malah, merefleksikan mengapa sampai terjadi penolakan yang begitu kuat dari kelompok masyarakat, buruh, mahasiswa, petani dan lain-lain. Kehadiran negara justru menimbulkan penderitaan lebih jauh kepada masyarakat.”

Herlambang Wiratraman, akademisi Fakultas Hukum Universitas Airlangga mengatakan, sebenarnya konstitusi sudah memberikan perlindungan kepada pejuang lingkungan hidup dan HAM dengan pengaturan terbatas. Pasal 66 UU PPLH, katanya, bisa jadi dasar buat perlindungan para pejuang lingkungan hidup.

“Dalam praktiknya, UU ini masih jauh panggang dari api. Proteksi masih lemah. Ancaman legislasi dan regulasi justru terus menerus memproduksi pelemahan dalam soal hak asasi manusia bahkan lingkungan. Ini yang boleh dikatakan legalise violation of human rights.”

 

Limbah PLTU yang mencemari lingkungan. Foto: Koalisi Langit Biru

 

Herlambang mengibaratkan masyarakat Indonesia saat ini tinggal dalam sebuah rumah tetapi saat membuka pintu, di teras saja sudah ada UU Cipta Kerja yang membatasi hak asasi masyarakat.

Dia sebut UU omnibus ini sebagai Draconian Law. Draconian law, katanya, bekerja dengan melibatkan sejumlah legislasi yang berpotensi menguatkan sistem ini. Dari UU KPK juga sudah melemahkan posisi pegiat anti korupsi, jugaUU Mahkamah Konstitusi baru. “Kalau legislasi ini beroperasi, sebenarnya ada yang terhubung langsung. Kita saksikan dengan apa yang terjadi pada 400 lebih peraturan pemerintah yang harus dibuat. Ada potensi-potensi jebakan yang posisinya memperkuat draconian law ini.”

Aturan-aturan turunan dari UU Cipta Kerja, katanya, berpotensi memperkuat situasi draconian law itu. Dia contohkan, mulai aturan teknis di lapangan, sampai kepolisian menerbitkan telegram. Macam-macam surat itu, justru melumpuhkan masyarakat sipil.

“Problem pembela HAM termasuk lingkungan hidup berada dalam ruang seperti itu. Tidak mudah.”

Herlambang mengatakan, penegakan hukum yang cenderung lebih merefleksikan kepentingan korporasi, atau pemodal, dan ramah pasar ini berpotensi mendiskriminasi pembela lingkungan hidup dan HAM.

Meskipun ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komnas HAM, yang berfungsi sebagai watch dog kekuasaan. Sayangnya, kewenangan di kedua lembaga ini sangat terbatas.

Hal lain perlu dicermati, katanya, perkembangan teknologi. Banyak kasus kekerasan berbasis digital menyerang kelompok pembela HAM maupun pembela lingkungan hidup. Kasus doxing, persekusi, atau produksi politik media buzzer juga ancaman serius bagi kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat.

Pemerintah, katanya, juga kerap kali menunjukkan sikap seperti anti sains. Pelumpuhan dunia akademik, katanya, makin terlihat dan bekerja rapi. Penundukan kampus melalui proyek-proyek tambang atau infrastruktur dengan melibatkan mereka dalam proses itu, katanya, tampak ada kerangka manipulatif yang terbangun sangat sistematik.

 

Degradasi hutan Rawa Singkil yang dibuka untuk kebun sawit. Foto: Nanang Sudjana/RAN

 

Tantangan dunia kampus juga berat. Dalam kasus akademisi seperti Basuki Wasis dan Bambang Hero Saharjo saat bicara lingkungan, valuasi ekonomi dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan sektor sumber daya alam, kena gugat. Aksi itu, katanya, memberi pesan jelas bahwa kuasa politik itu juga memanfaatkan institusi peradilan.

Penanda lebih jelas lagi, katanya, belakangan begitu banyak pengusiran para peneliti-peneliti lingkungan.”Saya kira itu bagian penting. Apalagi keselamatan mereka bisa terancam dalam situasi ini. Kasus lingkungan hidup ini juga pada akhirnya bertemali dengan menguatnya rezim anti sains. Rezim anti sains ini bukan hal baru, ini hanya mengulang kisah kolonial di Hindia Belanda.”

Herlambang mengatakan, untuk menyikapi ini memang harus ada gerakan kuat. “Ibarat permainan catur, rezim bukan hanya memainkan pion. Tapi papan catur pun sudah diambil. Dalam situasi serba tertutup ini, pilihannya gerakan masyarakat sipil kuat dan momentum harus diambil. Inilah saatnya.”

Susilaningtias dari LPSK mengatakan, kehadiran LPSK diharapkan jadi pelabuhan terakhir pejuang lingkungan hidup dan HAM mendapatkan perlindungan. Sayangnya, seringkali harapan tak sesuai kenyataan.

LPSK, bekerja dalam proses penegakan hukum pidana. “Kalau tidak ada proses penegakan hukum pidana, LPSK tidak dapat berbuat lebih jauh,” kata Susi.

Dalam UU, kewenangan terbatas. Memang, yang bisa dilindungi tak hanya saksi dan korban, bisa pelapor, ahli, dan justice collaborator. Hal ini juga dasar bagi LPSK pada 2018-2019, melindungi beberapa ahli untuk kasus lingkungan hidup.

Kendalanya, tak semua saksi, korban, ahli, pelapor maupun justice collaborator dalam konteks tindak pidana dapat dilindungi. Dia bilang, ada beberapa tindak pidana prioritas LPSK, seperti korupsi, pencucian uang, terorisme, perdagangan orang, pelanggaran HAM, kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan, Kemudian, penganiayaan berat, narkotika dan psikotropika.

 

Aksi protes organisasi masyarakat sipil terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja. Foto: KPA

 

“Sayangnya, di sini tidak ada tindak pidana lingkungan masuk ke dalam tindak pidana prioritas itu,” katanya.

Sampai 5 Oktober lalu, sudah 1.047 korban dan saksi dilindungi LPSK. Terbanyak, menyangkut kasus pelanggaran HAM berat, terorisme, kekerasan seksual terhadap anak dan tindak pidana pencucian uang.

Untuk itu, katanya, dalam melakukan perlindungan terhadap pejuang lingkungan hidup dan HAM, perlu sinergi lintas institusi yang terjalin baik, seperti Komnas HAM, KPAI, Ombusdman, dan kalangan aktivis lingkungan hidup dan HAM.

Hairansyah, Komisioner Komnas HAM mengatakan, kriminalisasi pejuang lingkungan hidup dan HAM sering terjadi era Orde Baru. Malah lebih massif. Hanya saja, kala itu posisi jelas karena yang dihadapi kekuatan negara.

“Sekarang jadi masalah serius karena kita tidak hanya berhadapan dengan state actor, tapi yang di luar state actor ini juga banyak. Korporasi saya kira salah satunya. Dalam laporan pengaduan di Komnas HAM setiap bulan, pihak yang diadukan lebih banyak Pemerintah daerah, kepolisian dan korporasi,” katanya.

Fakta ini, menimbulkan tantangan yang tidak mudah. Sebab, kelompok di luar negara juga banyak yang melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM. Mereka menekan gerakan masyarakat sipil dan aktivis yang melakukan advokasi.

Jadi, katanya, menjadi kebutuhan, dan keniscayaan bagi para pembela HAM untuk mendapatkan ketentuan lebih tegas soal perlindungan mereka dalam UU.

Sebenarnya, kata Hairansyah, dalam konteks hak asasi manusia di Indonesia, secara kelembagaan maupun aturan, lebih maju dibandingkan sebagian negara lain. Setiap hasil konvensi terkait HAM, Indonesia ikut meratifikasi. Terlebih juga sudah ada lembaga negara bersifat independen seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak, Ombudsman dan LPSK. Hanya dalam praktik, permasalahan HAM masih banyak terjadi.

 

 

Keterangan foto utama: Kebakaran di konsesi perusahaan sawit di Muarajambi. Kebakaran hutan salah satu kasus sering disuarakan para aktivis lingkungan. ahli  ilmuwan spesialis forensik kebakaran hutan dan lahan sempat terjerat hukum karena digugat perusahaan yang berkasus karhutla.  Foto: Yitno Supriyanto/ Mongabay Indonesia

Budi Pego, penolak tambang emas di Tumpangpitu, Banyuwangi, pernah terjerat hukum dengan kasus mengada-ngada. Dia dituding sebagai penyebar paham Komunis.  Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version