Mongabay.co.id

Konflik Sektor Perkebunan dan 9 Catatan UU Cipta Kerja yang Berpotensi buat Muram

Baru-baru ini Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan UU Cipta Kerja (UU Ciptaker), yang salah satunya memuat revisi UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Ada setidaknya 33 ketentuan dalam UU Perkebunan yang diubah dalam regulasi 812 halaman tersebut.

Kebijakan pengembangan sektor perkebunan diakui sangat pesat selama tiga dekade ini, sayangnya perkembangannya  juga meninggalkan jejak konflik, -khususnya di lapangan, antara masyarakat dan pihak korporasi pemegang konsesi.

Mengacu kepada data yang dikumpulkan oleh TanahKita.id, -maka dalam tiga puluh tahun terakhir, konflik agraria di Indonesia didominasi oleh permasalahan di perkebunan.

Dari catatan tersebut 457 konflik agraria dengan luas lahan konflik mencapai 4,4 juta hektar terjadi di Indonesia. Sektor perkebunan memimpin dengan 2,4 juta hektar atau lebih dari separuh luasan konflik dalam 30 tahun terakhir. Kemudian diikuti oleh sektor kehutanan dan pertambangan.

Laluu, apakah UU Cipta Kerja akan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat dan meredam konflik yang ada? Mari kita telaah beberapa poin pentingnya lebih lanjut.

Baca juga: Catatan Akhir Tahun: Reforma Agraria Masih Jauh dari Harapan

 

Konflik agraria di sektor perkebunan di Indonesia paling tinggi dibandingkan sektor lain. Foto tahun 2019 saat warga Kumpeh, Jambi, protes kepada perusahaan sawit, PT Bukit Bintang Sawit. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Pertama, menyusutnya pertimbangan mengenai batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan lahan untuk Usaha Perkebunan dalam UU Ciptaker. Sebagaimana diketahui, -secara hukum, Pemerintah Pusat berwenang menetapkan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan lahan untuk Usaha Perkebunan.

Pada aturan sebelumnya, penetapan batasan luas sebagaimana dimaksud harus mempertimbangkan sembilan hal, diantaranya: a) jenis tanaman; b) ketersediaan lahan yang sesuai secara agroklimat; c) modal; d) kapasitas pabrik; e) tingkat kepadatan penduduk; f) pola pengembangan usaha; g) kondisi geografis; h) perkembangan teknologi; dan i) pemanfaatan lahan berdasarkan fungsi ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang.

Dalam UU Ciptaker, penetapan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan lahan untuk Usaha Perkebunan cukup mempertimbangkan dua hal: 1) jenis tanaman; 2) ketersediaan lahan yang sesuai secara agroklimat.

Aspek ekonomi dan tata ruang kini luput sebagai pertimbangan batasan luas maksimum dan minimum penggunaan lahan untuk usaha perkebunan. Kondisi ini berpotensi menimbulkan ketidak-efisienan dan ketidak-efektifan penggunaan lahan.

Kedua, UU Ciptaker memperpendek jangka waktu bagi perusahaan perkebunan (berkurang 1 tahun) untuk mengusahakan lahan setelah pemberian status hak atas tanah.

Hal ini bagus untuk membuat tanah yang telah mendapatkan alas hak segera dikelola dan tidak ditelantarkan. Namun sayangnya tidak jelas batasan minimal yang harus diusahakan terlebih dahulu dalam jangka waktu tersebut.

Sementara UU Perkebunan memberi batasan minimal 30% dari hak atas tanah. Dan juga, terdapat batas waktu untuk mengusahakan seluruh hak atas tanah yang dapat ditanami tanaman perkebunan, yakninya 6 tahun.

Ketiga, hilangnya sanksi administratif atas larangan memindahkan hak atas tanah Usaha Perkebunan yang mengakibatkan terjadinya satuan usaha yang kurang dari luas minimum. Luputnya sanksi atas larangan tersebut berpotensi membuat larangannya dapat dipertanggung-jawabkan.

Keempat, UU Ciptaker tidak menegaskan, -sebagaimana dalam UU Perkebunan, bahwa pelaku usaha perkebunan asing harus bekerja sama dengan pelaku usaha perkebunan dalam negeri dengan membentuk badan hukum Indonesia. UU Ciptaker menyerahkan pengaturannya pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

Kelima, Pasal 45 Ayat (1) UU Perkebunan mensyaratkan bahwa untuk mendapatkan izin Usaha Perkebunan harus memenuhi persyaratan: a) izin lingkungan; b) kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah; dan c) kesesuaian dengan rencana Perkebunan.

Selain persyaratan sebagaimana dimaksud, usaha budi daya Perkebunan harus mempunyai sarana, prasarana, sistem, dan sarana pengendalian organisme pengganggu tumbuhan; dan usaha Pengolahan Hasil Perkebunan harus memenuhi sekurang-kurangnya 20% dari keseluruhan bahan baku yang dibutuhkan berasal dari kebun yang diusahakan sendiri.

Hal-hal tersebut dihapuskan oleh UU Ciptaker yang mana berpotensi tidak tertibnya pengelolaan perkebunan itu sendiri dan berdaampak buruk pada lingkungan.

Keenam, ada ketentuan dalam UU Perkebunan yang mengharuskan Pemerintah Pusat melindungi kelestarian wilayah geografis yang memproduksi Hasil Perkebunan yang bersifat spesifik. Sedangkan setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang mengalihfungsikan Lahan Perkebunan di dalam wilayah geografis yang memproduksi Hasil Perkebunan yang bersifat spesifik.

Baca juga: Menyoal Keseriusan Penyelesaian Konflik Agraria di Kebun Sawit

 

Petani di Hari Tani Nasional menyuarakan perlu adanya reforma agraria. Gambar diambil sebelum pandemi. Foto: Indra Nugraha/Mongabay Indonesia

 

Ketentuan ini memuat sanksi bagi para pelanggarnya berupa denda, pemberhentian sementara dari kegiatan Usaha Perkebunan, dan/atau pencabutan izin Usaha Perkebunan.

Sayangnya UU Ciptaker mencabut ancaman sanksi tersebut sehingga berpotensi terancamnya kelestarian wilayah geografis yang memproduksi Hasil Perkebunan yang bersifat spesifik.

Ketujuh, Pasal 67 Ayat (1) UU Perkebunan menyebutkan bahwa setiap Pelaku Usaha Perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud, sebelum memperoleh izin Usaha Perkebunan,

Perusahaan Perkebunan harus membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, memiliki analisis dan manajemen risiko bagi yang menggunakan hasil rekayasa genetik, dan membuat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan sarana, prasarana, dan sistem tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya kebakaran.

Bagi setiap pelaku usaha yang tidak memenuhi persyaratan yang dimaksud akan ditolak permohonan perizinan berusahannya. Namun, pada UU Ciptaker ketentuan penolakan izin bagi yang tidak memenuhi syarat tersebut dihapuskan. Hal ini paling berpotensi membuat kegiatan usaha menimbulkan kerusakan sumber daya alam.

Kedelapan, pada UU Perkebunan terdapat ketentuan Pengembangan Usaha Perkebunan diutamakan melalui penanaman modal dalam negeri. Sementara besaran penanaman modal asing sebagaimana wajib dibatasi dengan memperhatikan kepentingan nasional dan Pekebun. UU Ciptaker menghapuskan pembatasan tersebut sehingga berpotensi masuknya modal asing yang tanpa batas.

Kesembilan, hilangnya dalam UU Ciptaker mengenai ancaman pidana bagi setiap Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha.

Hal ini berpotensi membuat perusahaan perkebunan sewenang-wenang melakukan kegiatannya bahkan tak memperdulikan anjuran pemerintah.

Begitu juga dengan penghapusan ancaman pidana terhadap Pelaku Usaha Perkebunan yang tidak menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan hidup. Hal ini akan membuat potensi kerusakan lingkungan hidup yang semakin massif di kemudian hari.

Semakin besar dampak kerusakan lingkungan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat akan membuat konflik agraria dari sektor perkebunan semakin besar. Mungkin akan  terus menjadi juara, dalam tiga puluh tahun mendatang, jika tidak diseriusi dari sekarang.

 

Referensi:

UU Cipta Kerja (812 hal, 12 Oktober 2020)

UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan

Di Sektor Mana Konflik Agraria Paling Besar Terjadi?, data TanahKita diolah oleh Katadata.co.id, 28 Mei 2020

 

* Alek Karci Kurniawan, penulis adalah  Analis Kebijakan di KKI Warsi. Artikel ini adalah opini penulis

 

 

Exit mobile version