Mongabay.co.id

Mengapa Omnibus Law Untungkan Pebisnis Batubara, dan Potensi Hambat Energi Terbarukan?

 

 

 

 

Pada pelantikan periode kedua, 20 Oktober 2019, di DPR–MPR, Presiden Joko Widodo menelurkan gagasan soal omnibus law. Omnibus law ini merupakan ‘penyempurnaan’ bermacam aturan hukum di negeri ini alam satu ketentuan UU. Setelah itu, pemerintah mulai membahas dan Februari lalu pengajuan drad Rancangan Undang-undang Cipta Kerja ke DPR. Masuk proses pembahasan sekitar delaman bulan, pada 5 Oktober lalu, RUU ini ketok palu.

Dari awal, berbagai kalangan dari aktivis lingkungan, organisasi masyarakat sipil, organisasi buruh, gerakan masyarakat adat, organisasi petani, organisasi agama sampai para akademisi dan lain-lain sudah mengkhawatirkan omnibus law mulai dari proses sampai subtansi draf. RUU ini antara lain, mengkhawatirkan bagi pelestarian lingkungan hidup dan hutan Indonesia.

Baca juga: RUU Cipta Kerja Ketok Palu, Lonceng Bahaya bagi Lingkungan Hidup?

Sehari setelah sah, gelombang protes muncul nyaris di seluruh daerah di Indonesia. Banyak demonstran dibekuk Polisi, dituduh perusuh. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mendokumentasikan kekerasan aparat terhadap demonstran di 18 daerah.

Hingga sepekan setelah sah, naskah resmi UU Cipta Kerja masih misterius. Versi sah DPR 5 Oktober, naskah setebal 905 halaman. Pada 9 Oktober, naskah setumpuk 1.052 halaman beredar. Tiga hari berselang, beredar 1.035 halaman, tetapi pada malam hari, naskah yang diserahkan ke pemerintah adalah versi 812 halaman. Ternyata, drama belum usai, setelah dari pemerintah pun muncul versi lain lain dan bengkak jadi 1.187 halaman.

Di tengah ketidakjelasan itu, pemerintah meminta publik percaya bahwa UU Cipta Kerja buat ‘kebahagiaan”’ rakyat Indonesia dan menuduh demonstran terhasut hoaks, tanpa bukti jelas.

Hingga sekarang, berbagai kalangan kukuh menolak UU Cipta Kerja dari buruh, nelayan, masyarakat adat, petani, ekonom, akademisi di berbagai kampus, pegiat hak asasi manusia dan lingkungan, organisasi keagamaan sampai investor asing.

Pada 18 Oktober 2020, Koalisi Bersihkan Indonesia, gabungan 42 organisasi masyarakat sipil bersama Fraksi Rakyat Indonesia meluncurkan laporan ‘Omnibus Law; Kitab Hukum Oligarki’. Laporan ini, berusaha menjawab pertanyaan tadi. Beberapa jam setelah peluncuran, akun Twitter Fraksi Rakyat Indonesia bermasalah.

Baca juga: Banjir Kritik Pengesahan UU Cipta Kerja, Pemerintah Kejar Target Bikin Aturan Turunan

“Pasal-pasal di UU Cipta Kerja ini benar-benar disusupi oleh kepentingan pebisnis tambang dan energi kotor,” kata Merah Johansyah, Jurubicara Koalisi Bersihkan Indonesia.

“Kepentingan bisnis disusupi melalui aktor-aktornya di semua alur proses pembahasan dan pengesahan omnibus law baik secara langsung maupun tidak.”

 

Lubang bekas tambang batubara yang tidak direklamasi di Kalimantan Timur masih bertebaran. Sudah 36 jiwa menjadi korban. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Berbulan-bulan, Koalisi menelusuri dokumen publik yang secara langsung—atau tidak langsung—mempertautkan para aktor perumus omnibus law dengan bisnis tambang dan ‘energi kotor’ di Indonesia. Serangkaian nama dari lapisan pemerintah, satuan tugas UU Cipta Kerja, Panitia Kerja DPR, hingga pimpinan DPR, terkuak.

Di Pimpinan DPR, misal, Azis Syamsuddin. Politisi Partai Golongan Karya itu diketahui punya relasi dengan PT Sinar Kumala Naga, sebuah usaha tambang batubara di Kalimantan Timur.

Selain Azis, di tubuh Panja, nama Hendrik Lewerissa terhubung dengan usaha tambang batubara, Nusantara Energindo Coal, anak usaha Nusantara Energy Group, perusahaan holding pimpinannya di Partai Gerindra, Prabowo Subianto.

Baca juga: Horor RUU Cipta Kerja: dari Izin Lingkungan Hilang sampai Lemahkan Sanksi Hukum

Begitu pula di lingkaran satgas. Sebagian adalah pebisnis tambang dan energi. Sebut saja, Erwin Aksa, Komisaris Utama Bosowa Group, konglomerat tambang semen yang juga bergerak di usaha Pembangkit Listrik Tenaga Uap batubara.

Tali temali ini, membuat Koalisi menduga, UU Cipta Kerja melahirkan potensi konflik kepentingan yang begitu besar pada sektor tambang dan energi kotor kelak.

“Ini bukan soal personal, tapi soal konflik kepentingan. Tapi kita harus tunjukkan memang, siapa-siapa saja,” kata Ahmad Ashov, dari Koalisi Bersihkan Indonesia, sembari menunjukkan peta aktor di layar virtual.

“Jadi ini menggambarkan juga dan perusahaan-perusahaan mana saja yang akan mendapatkan benefit dari pasal-pasal yang dihasilkan.”

Dugaan itu bukan tanpa dasar. Ada sejumlah klausul yang tercetak dalam UU Cipta Kerja, menguntungkan sektor tambang dan energi kotor. Koalisi, menemukan pasal pemanfaatan ruang laut, yang memfasilitasi aktivitas industri batubara.

Koalisi juga menemukan klausul pemutihan kejahatan kehutanan. Kemudian, pasal insentif royalti 0% bagi perusahaan tambang minerba yang menghilirisasi dan meningkatan nilai tambah. Pengenaan royalti 0% akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP).

Baca juga: RUU Cipta Kerja Bahas Lingkungan dan Kehutanan, Berikut Masukan Para Pakar

Selain tadi, UU Cipta Kerja, menurut Koalisi juga menambah dan mempertahankan pidana pada masyarakat. Pasal 162 UU Minerba atau Pasal 39 omnibus law, menegaskan bagi tiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang memenuhi syarat-syarat, dipidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp100 juta.

 

Gerakan Kukar Menggugar sebagai bentuk protes terhadap lahan batubara yang mencaplok wilayah pertanian. Foto: Yustinus S. Hardjanto

 

Klausul yang bernada serupa terdapat pada Pasal 41 dalam omnibus law.

“Selain tidak transparan pembahasan omnibus law, partisipatif juga pembahasannya. Kitab Hukum Oligarki ini menunjukkan juga pasal-pasal di dalamnya buah dari konflik kepentingan,” kata Merah.

Pasal royalti 0%, kata Merah, bagai jendela kedua bagi perusahaan raksasa tambang batubara, yang sebelumnya telah membuka jendela pertama lewat revisi UU Minerba. Itu bukan lagi insentif, katanya, melainkan keuntungan bagi perusahaan yang mampu menjalankan.

Apa dampaknya? Merah bilang, pasal itu mengurangi penerimaan pendapatan negara selama ini yang amat besar dari sektor sumber daya alam. Sementara laju eksploitasi, terus-terusan, tanpa moratorium.

Sedikitnya, sekitar 32 provinsi dan puluhan kabupaten kota yang sejauh ini turut ketiban dana bagi hasil royalti itu. Kalimantan Timur, kata Merah, adalah satu provinsi terbesar menerima dana bagi hasil royalti: Rp9 triliun. Disusul Kalimantan Selatan, sekitar Rp6 triliun.

Dari sisi perusahaan, Merah mencatat, Kaltim Prima Coal, Adaro, Kideco, dan Bukit Asam adalah penyumbang royalti terbesar.

“Artinya, daerah-daerah yang sebelumnya mendapatkan, itu otomatis akan berkurang transfer dana bagi hasilnya, karena negara sudah memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan raksasa ini.”

Beberapa bulan belakangan, Koalisi mencatat, ada bentangan proyek rencana atau eksisting menghilirisasi dan meningkatkan nilai tambah batubara, seperti yang diumumkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Antara lain, tiga proyek fasilitas coal upgrading di PT. ZJG Resources Technology Indonesia pada 2024, 2026, dan 2028, dengan kapasitas masing-masing 1,5 juta ton pertahun. Proyek gasifikasi batubara atau proyek coal to dimethyl ether (DME), yang dikerjakan konsorsium PT Bukit Asam Tbk (PTBA), yang bakal beroperasi tahun 2024.

Kemudian, proyek gasifikasi batubara dalam bentuk coal to methanol yang akan dikerjakan PT Kaltim Prima Coal dan, proyek pembikinan briket, PT Batubara Bukit Asam, yang bakal menambah pabrik briket, pada 2026 dan 2028 dengan kapasitas 20.000 ton pertahun.

“Sisanya, sudah ada proyek yang eksisting, sekitar enam pabrik pengelolahan batubara, yang berkaitan dengan briket di Banyuasin di Sumatera Selatan dan Karahan,” kata Merah.

“Ini semua adalah proyek-proyek yang akan meraup manfaat dari Royalti 0%, karena mereka menjalankan hilirisasi.”

Dalam konferensi pers beberapa waktu lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menjelaskan, kisruh pemberian royalti 0%.

“Ini intinya, bagaimana bahan baku bisa kompetitif dan kemudian investasi bisa dilaksanakan, tenaga kerja bisa diserap, juga mempunyai nilai kompetitif,” kata bekas Direktur Utama PT Pupuk Indonesia itu.

 

Hambat energi terbarukan

Lewat UU Cipta Kerja, Koalisi memprediksi, pengembangan energi terbarukan di Indonesia bakal kian terhambat. Sebelumnya, Greenpeace menilai buruk Indonesia terkait usaha bauran energi terbarukan di Asia Tenggara. “Karena salah satunya kecanduan pada batubara,” kata Tata Mustasya, dari Bersihkan Indonesia.

“Energi [kotor] dan batubara saat ini menjadi penyumbang emisi nomor dua. Kalau Indonesia gagal transisi energi dari batubara ke energi bersih terbarukan, akan gagal pula mengatasi perubahan iklim di Indonesia.”

Bagi Tata, UU Cipta Kerja bukan kunci berubah ke energi bersih, apalagi mengatasi krisis iklim. “Hanya dengan—salah satunya—mengakhiri energi batubara ini di Indonesia.”

Pada 2019, produksi batubara di Indonesia mencapai 600 juta ton, namun satu dekade terakhir, temuan cadangan baru tidak ada.

Dengan laju produksi berambisi ini, cadangan batubara di Indonesia, diprediksi habis 20 tahun mendatang.

“Kalau produksi, ekspor dan konsumsi seperti sekarang, Indonesia akan benar-benar impor [batubara] 100% pada 2026. Kalau kita hanya memenuhi domestic market obligation, itu kita bisa bertahan sampai 2039,” kata Iqbal Damanik, dari Yayasan Auriga Berkelanjutan, bagian Koalisi Bersihkan Indonesia.

“Itu artinya, UU [Cipta Kerja] ini tidak ada hubungannya dengan ketahanan energi. Malah akan memperparah kondisi ketahanan energi.”

Harusnya, kata Iqbal, sekarang ini menyelamatkan hutan tersisa untuk atasi perubahan iklim jadi isu serius. Dengan kehadiran UU Cipta Kerja, kemungkinan membuat hutan-hutan itu kian habis. “UU Cipta Kerja menghambat ruang pengembangan energi terbarukan, karena insentif besar masih diberikan pada sumber energi kotor.”

Menurut data 2015, emisi Indonesia mewakili 4,8% dari total emisi global dunia. Pertahun, Indonesia melepas emisi 2,4 miliar ton. Sumber emisi tertinggi dari deforestasi dan kebakaran hutan gambut, disusul emisi dari pembakaran bahan bakar fosil untuk energi.

 

 

***

Niatan pemerintah ingin memudahkan dan mendorong investasi, bukan hal yang salah. Dengan lapangan kerja luas, bisa mendorong peningkatan ekonomi. Koalisi menekankan, upaya mewujudkan semua itu tetap menghormati hak asasi manusia dan tak merongrong lingkungan.

Pengesahan UU Cipta kerja dan potensi konflik kepentingan yang menguak, sebut Koalisi, menjadi bukti, UU itu, hanya memuaskan kepentingan segelintir orang dalam menumpuk rente dengan mengeruk alam, dan mempertahankan kekuasaan.

Bukan hanya dari tambang dan energi kotor, anak rahim konflik kepentingan di balik UU Cipta Kerja ini, menurut Koalisi menyusup ke pabrik-pabrik, yang diprediksi menciderai hak buruh.

“Temuan ini menggambarkan, rezim sangat berfokus pada infrastruktur ekonomi, namun saat sama merobohkan infrastruktur demokrasi,” kata Arip Yogiawan, jurubicara Fraksi Rakyat Indonesia.

“Tidak ada jalan lain selain menyatakan mosi tidak percaya dan menuntut presiden, segera mencabut dan membatalkan UU Cipta Kerja.”

 

 

Sebagai daerah terpencil, Dusun Bondan, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap menggunakan pembangkit listrik surya dan bayu untuk memenuhi kebutuhan energi listrik sehari-hari. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia
Pangkalan nelayan Suralaya. Nelayan terdampak dengan ada PLTU batubara. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version