Mongabay.co.id

Gajah di Riau dalam Rimba Konsesi

Gajah Riau, yang mati di konsesi PT Arara Abadi, Februari 2020. Foto: BKSDA Riau

 

 

 

 

Bangkai gajah teronggok di tengah perkebunan akasia. Bau busuk menyengat. Gajah ini diperkirakan sudah mati enam hari sebelum ditemukan pada 18 November 2019. Belatung berjubel, memenuhi pangkal belalai yang terpotong. Belalai gajah terpisah dari bagian kepala, tergeletak memanjang sekitar satu meter. Dua gading hilang, hanya tersisa sekitar 10-15 sentimeter di pangkal gading bagian kiri.

Gajah Sumatera ini mati di area perkebunan kayu PT Arara Abadi, di Desa Tasik Serai, Kecamatan Talang Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau. Arara Abadi merupakan perusahaan perkebunan kayu anak usaha raksasa industri kertas PT Asia Pulp ad Paper, Sinar Mas Group. Gajah ini adalah satu dari 40 populasi gajah di Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, yang sebagian besar wilayah jelajah di dalam konsesi Arara Abadi.

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau menyatakan, penemuan bangkai gajah ini pertama kali oleh pengawas tebang Arara Abadi, Yuyu, sekitar pukul 11.45 hari itu. Yuyu mendapat informasi penemuan bangkai gajah ini dari pekerja tebang pohon yang mencium bau busuk menyengat.

Baca juga: Nasib Gajah di Sorolangun dan Balai Raja Kala Habitat Terus Tergerus

BBKSDA Riau pun langsung menurunkan tim yang terdiri dari dokter hewan dan pawang gajah. Tim lakukan pemeriksaan detail atau nekropsi pada gajah ini. Tim juga berkoordinasi dengan Balai Penegakan Hukum (Gakkum) wilayah Sumatera.

Hasil pemeriksaan menyatakan gajah jantan berusia sekitar 40 tahun ini mati diduga kuat akibat perburuan dengan cara memotong bagian kepala. Dokter hewan Rini Deswita, yang memimpin pemeriksaan, tak menemukan tanda-tanda keracunan atau bekas jerat maupun proyektil peluru di tubuh gajah ini.

Hampir setahun Kepolisian Daerah Riau menangani kasus ini. Hingga kini, polisi belum mengungkap pelakunya. Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Riau, Komisaris Besar Sunarto berkomentar pendek atas perkembangan penanganan kasus ini. “Kami akan cari perkembangan kasusnya,” katanya ketika dihubungi 29 September lalu.

Kematian gajah kembali terjadi pada 8 Februari 2020. Gajah betina berumur 40 tahun tewas di desa yang sama, Tasik Serai, dan area perusahaan sama, Arara Abadi. Dokter hewan dari BBKSDA Riau, bilang, gajah ini alami gangguan pencernaan. Gajah dehidrasi parah dan mati.

Tim dokter hewan dari BBKSDA Riau, Rini Deswita dan Danang, memperkirakan, gajah betina ini mati sekitar lima hari sejak ditemukan karyawan Arara Abadi. Fungsi dan daya serap usus gajah berkurang. “Gajah mengalami gejala diare dan muntah-muntah hingga kekurangan cairan,” kata Rini.

Baca juga: Menyoal Kematian Gajah pada Konsesi Perkebunan Kayu di Riau

Sebelumnya, pada 26 Januari 2020, di KM 45, masih dalam konsesi Arara Abadi, satu kaki kanan depan gajah terjerat tali nilon.   Tim BBKSDA Riau pun segera melakukan penyelamatan terhadap gajah berusia empat tahun ini. Proses penyelamatan menegangkan karena tak jauh dari lokasi gajah terjerat ini, ada puluhan gajah lain yang satu kawanan, sedang menunggu.

Dian Inriati, Kepala Sub Bagian Kehumasan BBKSDA Riau, menggambarkan kawanan gajah menanti anak gajah ini saat mendapatkan perawatan dokter hewan. Setelah menjalani pemeriksaan dan pengobatan, gajah langsung bergabung dengan kelompoknya. “Kami berhasil menyelamatkan, dan tak ada evakuasi terhadap anak gajah itu,” kata Dian.

 

 

 

***

Kematian gajah di area konsesi tak hanya di Suaka Marga Satwa Giam Siak Kecil, juga terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo. Di sini, ada gajah mati di konsesi, ada pula di sekitar konsesi.

Pada 14 Februari 2020, anak gajah diberi nama, Puan Pandan Wangi, mati di Pusat Latihan Gajah (PLG), Minas, Siak. Anak gajah berusia tiga bulan ini evakuasi dari konsesi PT Rimba Peranap Indah (RPI), anak usaha April Group, pada Desember 2019. Kaki gajah ini luka kena jeratan.   Puan mengalami gangguan sistem pencernaan dan sulit menyerap nutrisi. Tubuhnya makin hari makin kurus, akhirnya mati.

Gajah di Kantong Tesso Nilo, mati lagi pada April 2020. Satu gajah terbunuh dengan luka dan tembakan di kepala di Kecamatan Kelayang, Indragiri Hulu.

Belalai terpisah dari kepala, tetapi gading masih utuh.   “Bagian kepala gajah ada bekas potongan menggunakan benda tajam, dua gading masih menempel, mungkin belum sempat diambil pelaku, namun sudah ada bekas potongan atau bekas kampak dari pangkal rahang gaja,” kata Ajun Komisaris Besar Polisi Efrizal, Kapolres Indragiri Hulu,, 3 Agustus lalu.

Penyelidikan cukup panjang, kata Efrizal, dengan proses awal melibatkan BBKSDA karena kasus menyangkut pemburuan satwa liar dilindungi. “Akhirnya, petugas berhasil mendapatkan petunjuk tentang pelaku atas nama ANR alias Ucok,” katanya. Polisi mulai mengungkap kasus ini, pemburu dan informan ditangkap. Sedangkan seorang lagi masih buron.

Para pelaku merupakan spesialis pemburu gajah yang biasa keluar masuk penjara, Ari alias Karyo dan Anwar Sanusi alias Ucok. Mereka pernah kena vonis hukum satu sampai dua tahun lebih.

Catatan Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo (YTNTN), di luar gajah-gajah terluka atau terkena jerat, dalam kurun waktu antara 2015 hingga awal 2020, setidaknya ada 24 gajah mati di Kantong Taman Nasional Tesso Nilo, Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, dan Suaka Margasatwa Balai Raja, Riau.

Di dalam konsesi perusahaan, gajah mati mayoritas terjadi di area Arara Abadi (APP) dan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Penyebab kematian beragam, ada yang ditembak, terjerat, racun, tombak, tersetrum pagar listrik maupun murni sakit atau terkena gangguan pencernaan.

Zulhusni Syukri, Direktur Rimba Satwa Foundation (RSF), mengatakan, banyaknya gajah mati di konsesi ini karena peburuan. Menurut dia, penjagaan dan pengawasan di area konsesi sangat lemah.

“Banyak celah bagi pemburu untuk masuk dan berburu ke areal konsesi,” katanya.

 

Tim kedokteran BKSDA Riau, mengukur belalai gajah yang terpotong dari kepalanya.Gajah ini mati di konsesi Arara Abadi pada 18 November 2019. Foto: BKSDA Riau

 

Menurut dia, harus ada peningkatan maupun perlindungan wilayah oleh pemegang konsesi. Dia contohkan, kondisi wilayah Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil yang merupakan kawasan rawa gambut. Jadi, tak semua area bisa ditinggali gajah. Selain itu, sekitar kawasan Giam Siak Kecil juga sudah jadi konsesi perusahaan. “Jadi, perlu peningkatan proteksi oleh pemegang konsesi,” katanya.

Senada dengan Zulhusni, Deputi Manajer Frankfurt Zoological Society, Albert Tetanus, mengatakan, gajah di luar kawasan konservasi akan mendapatkan intensitas konflik yang kian tinggi.

Saat ini, katanya, kawasan hutan telah terbagi-bagi ke dalam berbagai peruntukan seperti hutan tanaman industri dan hak guna usaha perkebunan. “Kondisis ini pasti sangat mengancam, karena hutan produksi sudah diberikan pada pihak swasta,” kata Albert.

Luas Riau sekitar 8,7 juta hektar, dengan 7,1 juta hektar hutan dan 3,9 juta hektar lahan gambut. Data Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menyebutkan, luas konsesi hutan tanaman industri per 2016 mencapai 2, 345 juta hektar. Areal konsesi ini terdiri dari perusahaan grup Asia Pulp and Paper (APP), dan rekanan seluas 1.072.746,01 hektar. Selain itu, ada lahan konsesi milik perusahaan grup April (RAPP), dan rekanan seluas 1.031.931,18 hektar. Ada juga grup Barito yang memiliki lahan konsesi 134.003,31 hektar. Belum lagi perkebunan sawit. Data Kementerian Pertanian menyebutkan, lahan kebun sawit di Riau per 2019 mencapai luas 3,387 juta hektar.

Supintri Yohar, Direktur Hutan Yayasan Auriga Nusantara, mengatakan, proses pelepasan hutan dan izin kawasan hutan di Riau sering mengesampingkan habitat gajah. Kondisi ini, menyebabkan banyak konflik di wilayah jelajah mamalia ini, yang mayoritas di konsesi perusahaan terutama hutan tanaman industri.

Menurut dia, habitat yang terfragmentasi, konflik gajah dengan manusia, dan perburuan menjadi pemicu kepunahan gajah. Gajah tak memiliki habitat mencukupi. “Kekeliruan pertama itu dari kebijakan, yang asalnya dari kementerian,” katanya.

Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tak memberi respons ketika dihubungi via telepon dan WhatsApp. Pada Kamis 9 September lalu, dia sempat menyatakan sedang webinar hingga belum bisa memberikan komentar.

“Saya sedang webinar,” kata dia. Setelah itu, upaya meminta konfirmasi melalui telepon dan aplikasi pesan teks Whatsapp tak dia balas.

 

Konsesi-konsesi perusahaan di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo

 

***

Deforestasi, termasuk kebakaran hutan, juga menyumbang kehilangan habitat gajah di Riau. Analisa Global Forest Watch, dari 2002-2019, Riau kehilangan hutan primer sampai 2 juta hektar. Data Jikalahari menunjukkan, hutan alam terus menyusut. Pada 1982, luas hutan alam 6, 727 juta hektar. Pada 2019, luas tersisa 1, 442 juta hektar, atau menyusut sekitar 78%.

Hutan alam menyusut, deforestasi terus terjadi, kawasan hutan terbagi-bagi dalam berbagai peruntukan, makin mendesak kehidupan satwa, termasuk gajah. Belum lagi, kata Yuliantony, Direktur Eksekutif Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo, kantong-kantong gajah di Riau, banyak sudah jadi hutan sekunder, meski status hutan lindung maupun suaka margasatwa.

Ada tujuh kantong gajah Sumatera di Riau, dua berbatasan dengan Sumatera Utara dan Jambi. Sebagian sudah kritis, bahkan ada yang tak ada gajah lagi seperti di Koto Tengah.

“Ada satu kantong Koto Tengah, sekarang diduga tidak ada gajah. Survei itu dilakukan tahun 2018,” kata Yuliantony.

Kantong yang masih menyisakan puluhan gajah macam di Tesso Nilo (Tesso Tenggara, Tesso Utara), Giam Siak Kecil dan Balai Raja. Kondisi mereka pun tak dalam kondisi aman hingga perlu penyelamatan.

“Hampir seluruh wilayah Tesso Nilo itu sudah seperti urat,” kata Yuliantony. Maksud Yuliantony seperti urat, itu terpisah-pisah, hutan terfragmentasi otomatis, habitat satwa pun terpecah-pecah.

Wilayah sebaran gajah di Tesso Nilo, Giam Siak Kecil maupun Balai Raja, di kelilingi konsesi-konsesi kehutanan (hutan tanaman industri) maupun perusahaan sawit dan pertambangan dengan luasan lebih 500.000 hektar. Dari data Jikalahari, ada PT Arara Abadi, PT Surya Intisari Raya, dan PT Adei CRF, PT Rokan Permai Timber, PT Riau Abadi Lestari, PT Riau Andalan Pulp Paper. Ada perusahaan sawit seperti PT Musim Mas, PTPN V dan PT Chevron Indonesia. Sebagian perusahaan data tak terditeksi.

Yuliantony mengatakan, perubahan habitat berefek domino pada kepunahan gajah. “Kalau seluruh pihak mau berbagi ruang, perubahan habitat gajah bisa berkurang. Gajah adalah hewan yang bisa beradaptasi terhadap lingkungan,” katanya.

Riau, menempati posisi kedua populasi gajah Sumatera yang tersisa setelah Aceh. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) menyebutkan, estimasi populasi di Riau, pada 2019, dengan rentang bawah 216, batas atas 318 gajah. Sedangkan perkiraan jumlah gajah di Aceh pada rentang 392-451 individu.

Populasi gajah di Riau, mengalami penurunan drastis. Pada 1985, perkiraan jumlah populasi gajah di Riau, pada rentang 1.067-1.647 individu, turun menjadi antara 700-800 individu pada 1999. Kini, gajah di Riau tersisa, 200-an atau maksimal 300-an individu.

Sebaran gajah di Riau adalah terluas kedua setelah Aceh. Dalam dokumen strategi rencana aksi konservasi (SRAK) 2007-2017, Aceh memiliki luas sebaran gajah 1,257 juta hektar dengan 860 ribuan hektar di kawasan hutan produksi. Sedangkan di Riau, dari sebaran wilayah gajah seluas 1.021 juta hektar, sekitar 950 ribuan hektar di antaranya berada di hutan produksi. Dari jumlah itu, sebanyak 93% wilayah sebaran gajah di Riau berada di hutan produksi atau konversi.

Dengan kata lain, hanya 3% gajah Sumatera di Riau berada di dalam hutan konservasi maupun lindung. Bahkan, sebagian kecil gajah sudah berada di dalam areal hutan dengan alokasi penggunaan lain. Di wilayah hutan produksi konversi maupun terbatas itu, sudah penuh dengan izin-izin kehutanan. Artinya, gajah Riau, sebagian besar hidup bukan di habitat terlindungi.

Donny Gunaryadi, Sekretaris Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) mengatakan, kantong populasi gajah yang tak besar, ditambah lagi habitat terfragmentasi bisa menyebabkan kematian gajah liar. Apalagi, konflik manusia dan gajah kerap terjadi. Gajah sering dianggap sebagai hama.

“Gajah diracun, dijerat, disetrum, dan ada perburuan untuk diambil gadingnya. Ini menyebabkan kematian gajah hingga populasi turun signifikan,” katanya.

 

 

***

Dalam lima tahun terakhir, setidaknya tujuh gajah mati di wilayah konsesi perusahaan yang berafiliasi dengan Asia Pulp and Paper dan Riau Andalan Pulp and Paper. Beberapa gajah ditemukan terkena jerat di lahan konsesi perkebunan kayu ini.

Supintri mengatakan rumit memberikan sanksi terhadap perusahaan dengan lahan konsesi terjadi kematian gajah. Menurut dia, tak mudah membuktikan perusahaan sebagai pelaku pembunuhan gajah. Yang bisa dilakukan, katanya, mengevaluasi kewajiban perusahaan melindungi satwa liar.

“Perlu mempertimbangkan tanggung jawab perusahaan terhadap satwa yang mati di konsesi mereka.”

Dolly Priatna, Head of Conservation APP Sinar Mas, mengatakan, lewat Kebijakan Konservasi Hutan (Forest Conservation Policy), perusahaan berupaya melindungi dan melestarikan spesies-spesies kunci, termasuk di area pemasok perusahaan.

Menurut dia, pemulihan populasi gajah Sumatera perlu upaya terintegrasi dan perubahan dasar melibatkan berbagai pihak. APP Sinar Mas bersama PT Arara Abadi, maupun perusahaan pemasok lain melibatkan lembaga independen menyiapkan dan memutakhirkan upaya mitigasi konflik agar spesies terjaga.

Dolly mengatakan, perusahaan membuat standar operasi prosedur untuk pencegahan dan penanggulangan konflik dengan satwa liar.

Selain itu, perusahaan membentuk Tim Satgas Distrik, dan memetakan jalur utama jelajah gajah. Sebagai upaya preventif, katanya, Tim Satgas Distrik Arara Abadi rutin sosialisasi dan edukasi kepada karyawan, kontraktor dan masyarakat soal konservasi gajah.

Mereka juga menggelar patroli terpadu dan sapu jerat untuk melindungi gajah. “Perusahaan melakukan ini bersama BBKSDA Riau, instansi pemerintah setempat, dan pakar konservasi gajah Indonesia,” katanya.

Senada dengan Dolly Priatna, Thamrin Hanafi, Kepala Komunikasi Korporat PT RAPP, mengatakan, perusahaan telah menerapkan best management practices (BMP) di areal konsesi. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain mengidentifikasi jalur gajah, memasang signboard lintasan gajah, dan pengayaan pakan satwa di nurseri anakan alam.

Ada juga penanaman pakan satwa di jalur lintasan gajah. Perusahaan juga melakukan penggaraman di jalur lintasan gajah agar satwa mendapatkan tambahan garam mineral bagi satwa. Perusahaan ini juga patroli rutin dan gabungan serta operasi sapu jerat.

Gajah sering masuk konsesi, dia duga mereka merasa nyaman dalam konsesi RAPP dibandingkan di luar seperti kebun sawit masyarakat. Dalam konsesi mereka ada riparian atau areal konservasi RAPP. Ia jadi koridor nyaman gajah karena air mengalir dan banyak pakan seperti teki ladang, rumput kerbau, dan rumput lampuyangan.

Thamrin mengatakan, kematian gajah di lahan konsesi perusahaan diduga karena diracun saat melewati kebun milik masyarakat. Menurut dia, gajah yang terkena racun akan merasa haus hingga masuk ke riparian atau kawasan di sekitar aliran sungi untuk mencari air.

Selanjutnya, gajah mati di areal konsesi perusahaan. “Kami selalu memantau gajah masuk ke konsesi dan memastikan gajah itu aman dalam kawasan perusahaan sampai kembali ke kawasan konservasi di lanskap Tesso Nilo dan Giam Siak Kecil atau Balai Raja,” kata Thamrin.

Menurut dia, setiap ada gajah mati akan dilaporkan ke BKSDA untuk investigasi. Guna mencegah kematian gajah berulang, kata Thamrin, perusahaan memperketat akses masuk ke areal konsesi. Perusahaan juga menerapkan praktik pengelolaan, termasuk memasang kamera pengintai untuk melihat aktivitas orang dan satwa di area itu.

Dia bilang, karyawan atau kontraktor yang terlibat dalam pembunuhan gajah akan dikenai sanksi tegas berupa pemutusan hubungan kerja atau pemutusan kontrak. “Kami juga laporkan ke aparat,” katanya.

 

 

Upaya penyelamatan?

Dengan kondisi lapangan begitu berat, kawasan hutan sudah terbagi-bagi dalam perizinan, deforestasi terus terjadi hingga gajah sebagian besar hidup di wilayah tak terlindungi.

Untuk penyelamatan gajah, para pihak dari organisasi masyarakat sipil, ilmuan sampai pemerintah menyusun strategi rencana aksi konservasi (SRAK) gajah 2007-2017. Dari evaluasi SRAK 2007-2017, harus ada pengelolaan habitat.

Wishnu Sukmantoro dari Elephant Conservation Specialist at Forest Wildlife Society, menyebutkan, kondisi sekarang perlu menyelamatan habitat untuk mengusir atau meminimalisir perambah. Perlu juga, katanya, mengatur pola komoditas yang bisa menyusutkan habitat gajah agar konflik dengan manusia berkurang.

Hasil evaluasi SRAK 2007-2017 menyimpulkan, konservasi gajah di Indonesia memiliki tantangan yang sama sepanjang tahun yaitu, penurunan populasi gajah di dalam kantong habitat gajah in-situ. Juga, konversi lahan karena rencana tata ruang wilayah dan rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) belum mendukung upaya konservasi gajah.

Pasca evaluasi, lanjut dengan SRAK 2019-2029. Dari sana ada rencana tindak mendesak (RTM) sebagai rencana jangka menengah, dalam tiga tahun, 2020-2023, dengan tujuan meminimalkan kepunahan gajah. Dalam dokumen RTM menyebutkan, penyebab kematian langsung pada gajah karena perburuan, konflik dengan manusia, jerat, racun, dan pagar listrik.

Untuk strategi penyelamatan, dengan perlindungan gajah di alam dan penguatan kapasitas aparat penegakan hukum dalam memerangi tindakan kejahatan satwa liar, terutama gajah.

Kemudian, penanggulangan dan adaptasi konflik manusia dengan gajah secara efektif melalui optimalisasi pengelolaan barrier, dan mendorong praktik hidup berdampingan manusia dengan gajah.

Selain itu, penyelamatan gajah dari populasi alami kritis dan pemindahan ke habitat aman dan layak.

Bagaimana penyelamatan gajah Sumatera di Riau? “Pilihannya memang ya kelola saja, karena mau revitalisasi kawasan seperti itu, mau hutankan kembali juga sulit. Jadi perlu kita kelola, tapi ada pendekatan yang perlu kita lakukan.,” kata Wishnu.

Pendekatan itu, dengan strategi tata kelola pada konsesi yang bisa mengakomodir gajah. Kalau mau mengakomodir gajah, katanya, ada tiga hal penting: peningkatan daya dukung habitat, pengelolaan kawasan agar mengurangi konflik, dan mengurangi angka perburuan dan jerat.

Dia soroti, selama ini kerjasama lintas sektor antara pemerintah dengan perusahaan maupun masyarakat, kurang.

Mengenai wilayah terfragmentasi, katanya, ada beberapa hal perlu dilakukan, antara lain, pengelolaan tata ruang, kajian, kesepakatan, tata ruang bersama dan setiap pihak saling menerima atas kesepakatan itu.

Dalam konteks penataan tata ruang, katanya, yang bisa dilakukan melihat ruang-ruang antara manusia dan gajah bisa berbagi. “Ada ruang yang mereka bisa saling hidup bersama. Ruang-ruang itu bisa dibangun, sifatnya netral. Artinya netral, saat mereka mengakses ruang-ruang itu tidak menimbulkan konflik.”

Upaya membuat zona netral, Wishnu sudah mulai, antara lain di Balai Raja sejak 2012. Dia bina warga dan pendampingan sekitar 5-10 hektar lahan tani singkong. Saat gajah lewat kawasan itu, warga terima. Tetap ada kerusakan tetapi kecil. Warga menerima. Jadi, terbangun ruang netral di sini.

Berbagi ruang tak hanya dengan masyarakat juga swasta atau perusahaan. Dia bilang, dari korporasi banyak kurang alias belum sampai tahap berbagi ruang tetapi sudah ada perkembangan lebih baik.

Dulu, kalau ada gajah masuk dan akasia rumah, gajah diusir atau diam-diam dilukai.

“Sekarang kalau masuk akasia, mereka terima, memang gak signifikan kerugiannya. Misal, di RAPP, mereka terima gajah. Ini menyebabkan banyak gajah di konsesi karena merasa aman dibandingkan di kawasan konservasi yang banyak perambah. Begitu fenomenanya. Di Giam Siak begitu, Jambi sama.”

Beda dengan pandangan Supintri. Dia menilai, melindungi dan menyelamatkan satwa langka dilindungi seperti gajah ini, utama perlu dilakukan mengevaluasi pemanfaatan penggunaan wilayah jelajah pada izin-izin yang sudah diberikan.

Dia contohkan, dua kantong terpisah oleh konsesi antara Suaka Margasatwa Balai Raja dan Giam Siak. Koridor satwa pun tak ada di sini. Evaluasi bisa dengan pencabutan atau penciutan izin.

“Dengan ada keterlanjuran pemberian izin, misal, dengan mengganti lahan [lain] yang konflik dengan gajah.”

Supintri mengingatkan, perusahaan jangan hanya memikirkan sudut pandang, ekonomi akan berkurang kalau ada penciutan. Kalau terjadi konflik dengan satwa, juga menimbulkan kerugian finansial.

Kalau menurut Yuliantony, perlu ada solusi dengan bikin suaka di hutan tersisa. Tata ruang untuk membuat suaka, katanya, dengan mengandangkan gajah di alam dalam satu kawasan terproteksi.

Memang pembagian ruang antara aktivitas manusia dan gajah jadi serba salah. Misal, SM Balai Raja, kalau gajah dipindahkan, keunikan wilayah akan hilang.

Jika berlarut, gajah makin terancam aktivitas manusia. Bisa juga membuat koridor Balai Raja dengan wilayah HTI di sekitar. “Juga peningkatan kapasitas dan perluasan tim mitigasi gajah.”

 

Puan, yang diselamatkan dari jeratan di konsesi PT RPI, grup RAPP, akhirnya, mati. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

Ada konflik gajah makin tinggi dan wilayah jelajah satwa mayoritas di luar kawasan, pada 2016, lahir skema Kawasan Ekosistem Esensial bagi pengelolaan habitat gajah di luar kawasan konservasi. Lewat peraturan Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem P.8 soal pedoman penentuan koridor hidupan liar sebagai ekosistem esensial.

Supintri mengatakan, kawasan ekonomi esensial (KEE) jadi harapan baru bagi pengelolaan habitat gajah di luar kawasan konservasi secara aktif. Tentu, dengan keterlibatan para pihak. Ia bisa jadi solusi yang mendesak untuk dijalankan. Meski, hingga kini implementasi belum terlihat.

Muhammad Wahyu, Direktur Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation (Vesswic) mengatakan, pelaksanaan KEE harus diikuti program perhutanan sosial.

Perusahaan-perusahaan perlu pola penanaman dan panen disesuaikan dengan pola jelajah gajah. Tak hanya itu, perusahaan juga perlu membuat ruang pakan alami yang tinggi dan rehabilitasi wilayah pakan dengan kawasan tertentu.

“Sedangkan, masyarakat melalui program perhutanan sosial. Konsep ini kami optimis bisa perlindungan gajah. Karena fakta gajah di luar kawasan konservasi yang bisa diintervensi pemerintah, melalui KEE dan perhutanan sosial serta bisa berpijak pada jalur migrasi gajah.”

Meski demikian, konsep KEE ini pun harus diikuti penjagaan habitat itu sendiri, monitoring penting pada tingkat keamanan populasi agar daya dukung habitat terpenuhi.

Sebelum itu, kata Wahyu, dalam upaya penyelamatan gajah, harus memiliki dan mempelajari jalur migrasi satwa ini terlebih dahulu. Dengan begitu, jalur migrasi mereka itu yang jadi koridor. “Dengan koridor tadi selanjutnya kami padukan dengan konsep KEE. Dengan konsep KEE dan koridor itu memiliki tujuan sama untuk melindungi spesies.”

Halasan Tulus, Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo, ingin kawasan bisa kembali pada fungsi habitatnya. “Kalau boleh jalur gajah itu jadi blok perlindungan baik perkebunan maupun lahan terbuka lain. Sekaligus peningkatan pakan,” katanya.

Menurut Donny, upaya konservasi perlu dukungan politik dari pemangku kepentingan baik di pusat dan daerah.

Kalau tidak ada aksi serius dan penyelamatan cepat, gajah-gajah yang berada di Tasso Nilo, Giam Siak atau Balai Raja, tak mustahil alami nasib seperti di kantong Koto Panjang, tak ada gajah lagi.

 

 

 

***

 

*Tim Kolaborasi Tempo dan Mongabay Indonesia:

Tim Mongabay Indonesia: Sapariah Saturi, Suryadi dan Lusia Arumingtyas

Tempo: Sunudyantoro

 

 

Keterangan foto utama:  Gajah Riau, yang mati di konsesi PT Arara Abadi, Februari 2020. Foto: BKSDA Riau

 

 

Exit mobile version