Mongabay.co.id

Lamban Ganti Rugi Lahan, Penyebab Maraknya Penambangan Batubara Liar di Muara Enim?

 

 

Maraknya penambangan batubara liar di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan [Sumsel], dikarenakan PT. Bukit Asam Tbk tidak segera mengganti rugi lahan warga yang masuk ke areal Izin Usaha Pertambangan [IUP] perusahaan. Benarkah?

Seperti diberitakan sebelumnya, aktivitas penambangan batubara liar di Kabupaten Muara Enim menimbulkan banyak persoalan. Selain menimbulkan persoalan ekologi, hilangnya pendapatan negara, juga merenggut korban jiwa seperti 11 penambang tewas tertimbun longsor di Desa Penyandingan, Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan [Sumsel], Rabu [21/10/2020].

Terkait peristiwa tersebut, Juarsah, Plt. Bupati Muara Enim, mendesak PT. Bukit Asam Tbk untuk segera mengganti rugi lahan warga yang masuk areal IUP perusahaan tersebut.

“Saya minta PT. Bukit Asam segera membebaskan lahan-lahan masyarakat. Sehingga, masyarakat tidak melakukan penambangan ilegal lagi,” kata Juarsah, Jumat [23/10/2020], dikutip dari Enim Ekspres.

Baca: 11 Pekerja Tewas Tertimbun di Tambang Batubara Ilegal, Tidak Jauh dari PLTU Sumsel 8

 

Kondisi jalan di lokasi tambang batubara ilegal di Sumatera Selatan. Foto: Najib Asmani

 

Dijelaskan dia, berdasarkan hasil evaluasi lapangan, lokasi tambang ilegal banyak berada di wilayah IUP PT. Bukit Asam Tbk. Bahkan, masyarakat pemilik lahan bebas melakukan penambangan liar dikarenakan minimnya pengamanan perusahaan.

Sebagai informasi, Juarsah bersama Gubernur Sumsel, Kapolda Sumsel, dan Danrem 044/Gapo meninjau langsung lokasi tambang ilegal. Mereka sepakat praktik tambang ilegal segera dihentikan.

“Saya sudah sampaikan untuk menutup tambang ilegal ini sesuai arahan yang disampaikan Gubernur Sumsel, sampai proses hukum atau proses lainnya dilakukan. Kita menghindari hal-hal yang tidak kita inginkan,” ujar Juarsah.

Baca: “Napas yang Terbunuh”, Kesedihan akibat Tambang Batubara Ilegal di Muara Enim

 

Batubara hasil penambangan ilegal di Sumatera Selatan. Foto: Najib Asmani

 

Penegakan hukum dan CSR

Dr. Rabin Ibnu Zainal, Direktur PINUS [Pilar Nusantara] Sumsel, lembaga non-pemerintah yang melakukan pemantauan batubara di Sumsel, kepada Mongabay Indonesia menjelaskan, secara aturan wilayah konsesi IUP tidak wajib dibebaskan oleh perusahaan sebelum batubaranya dieksploitasi.

“Tapi perusahaan wajib menjaga wilayah tersebut terkait potensi batubara milik negara di dalamnya,” kata Rabin, Senin [26/10/2020].

Di sisi lain, jika semua lahan sudah diganti rugi yang ditakutkan adalah terjadinya konflik baru. Sebab, dapat saja aktivitas perkebunan atau pertanian, yang dilakukan masyarakat di atas lahan tersebut sebagai sumber ekonomi dihentikan.

“Tanah itu milik masyarakat, tapi batubara di dalamnya milik negara.”

Apa yang harus dilakukan?

Pertama, penegakan hukum. Aparat hukum harus benar-benar menertibkan berbagai aktivitas penambangan batubara liar. Kedua, perusahaan [PT. Bukit Asam Tbk] menjalankan CSR yang bertujuan membangun masyarakat yang masuk wilayah IUP perusahaan, agar mendapatkan penghasilan, selain berkebun atau bertani.

“CSR jangan diterjemahkan sebagai bagi-bagi uang, tapi wujud kepedulian sosial dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” kata Rabin.

 

Sebanyak 11 pekerja tewas tertimbun di lokasi penambangan batubara liar, di Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Rabu [21/10/2020]. Foto: Dok. Polsek Tanjung Agung, Muara Enim, Sumsel

 

“Selama ini kami lihat proyek batubara mencicil, terkait pembebasan lahan. Akibatnya warga yang paling lemah secara ekonomi berpeluang melepaskan tanahnya lebih awal. Sementara warga yang lebih berkemampuan, punya kekuatan menawar. Ini mengakibatkan proyek batubara menghasilkan pemiskinan bagi yang terlemah,” kata Pius Ginting, Direktur Eksekutif AEER [Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat], menanggapi pernyataan Plt. Bupati Muara Enim Juarsah, kepada Mongabay Indonesia, Senin [26/10/2020].

“Jadi pembebasan lahan sebaiknya diinformasikan sejak awal kepada warga. Dilakukan dengan transparansi,” ujarnya.

Selain itu, banyak kasus, warga yang tidak hendak melepas tanahnya kepada perusahaan, menjadi terkepung penambangan batubara. Akibatnya, produktivitas kebun, pertanian, mereka menjadi berkurang. “Ini yang harus dipikirkan,” katanya.

Maka, harus dipandang perlu, pembebasan tanah sebaiknya menjaga kelangsungan produkvitas kebun warga yang belum mencapai kesepakatan harga pembebasan. “Undang-Undang Dasar kita mengakui kepemilikan, sehingga kepemilikan warga perlu dilindungi,” tegas Pius.

Menanggapi berbagai pernyataan terkait pertambangan batubara ilegal di konsesi IUP, PT. Bukit Asam Tbk menyatakan selalu melakukan koordinasi dengan regulator dan aparat penegak hukum.

“PT. Bukit Asam selalu berkoordinasi dengan regulator dan aparat penegak hukum untuk menanggulangi pertambangan tanpa izin,” kata Iko Gusman, Manager Humas PT. Bukit Asam Tbk kepada Mongabay Indonesia, Senin [26/10/2020].

Sebagai informasi, sebanyak 11 penambang tewas tertimbun tanah longsor ketika mengerjakan jalan di penambangan batubara liar di Desa Penyandingan, Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan [Sumsel], Rabu [21/10/2020] lalu.

Peristiwa tewasnya para penambang dari Jawa, Lampung dan lokal ini menarik perhatian banyak pihak. Mantan Gubernur Sumsel Alex Noerdin yang kini menjadi Wakil Ketua Komisi VII DPR RI langsung meninjau lokasi. Gubernur Sumsel Herman Deru, Kapolda Sumsel, Danrem 044/Gapo, didamping Plt Bupati Muara Enim datang juga ke lokasi penambangan liar tersebut.

 

 

Exit mobile version