Mongabay.co.id

Nasib Warga Lakardowo, Satu Dasawarsa Hidup dengan Limbah Berbahaya [2]

Warga Lakardowo saat berunjuk rasa di depan kantor PN Mojokerto, pada 6 Juni 2020. Foto: A Asnawi

Warga Lakardowo saat berunjuk rasa di depan kantor PN Mojokerto, pada 6 Juni 2020. Foto: A Asnawi

 

 

Tulisan sebelumnya: Nasib Warga Lakardowo, Satu Dasawarsa Hidup dengan Limbah Berbahaya [1]

 

Sejak awal operasi, sebelum ada insinerator pun, PT Putra Restu Ibu Abadi (PRIA) sudah mulai membakar limbah medis di area perusahaan. Sebelumnya, limbah-limbah itu mereka timbun dalam lubang-lubang di sekitar perusahaan. Beberapa orang yang pernah bekerja di perusahaan bercerita. Berbagai uji laboratorium pun mengungkapkan kandungan logam berat di sekitar.

“Ya dibakar di lahan kosong sudah dibuatkan lubang. Kan dulu belum ada insineratornya,” kata Sarpan, eks karyawan bagian maintenance, Juni lalu.

Limbah cair, katanya, juga dapat perlakuan sama. Meski ada bangunan instalasi pengolah air dan limbah (IPAL), konstruksi tidak standar karena tanpa landasan beton.

Sekitar tiga tahun bekerja, Sarpan tahu betul bagaimana fasilitas itu dibangun. Dia bilang, IPAL dibangun dengan kedalaman 20 meter itu tidak dilengkapi pelapis bawah hingga memungkinkan merembes ke tanah.

Alasan itu pula yang membuat perusahaan ini terkesan tidak pernah membatasi volume limbah cair yang masuk. “Tidak ada (lapisan). Langsung ke tanah. Jadi, limbah cair berapapun ya masuk aja.”

Bahkan, kalau ada kiriman limbah cair dan kesulitan mengolah, oleh perusahaan, biasa langsung ditumpahkan begitu saja ke hamparan tanah.

Cerita sama juga datang dari Mansur, warga Lakardowo yang sebelumnya sempat jadi sopir perusahaan. Saat itu, salah satu tugasnya mengambil limbah B3 dari sejumlah perusahaan untuk jadi batako.

Begitu juga penimbunan limbah di area perusahaan, Mansur tak mengelak. Terutama limbah medis. Biasa, saat malam hari, limbah-limbah ditimbun di kubangan tanah yang digali siang sebelumnya dengan alat berat. Bahkan, dia pun acapkali diminta kerja lembur untuk membantu menimbun.

“Pagi hari saya mensuplai bahan baku limbah untuk jadi batako dan kertas. Saat lembur malam, tugas saya mengambil limbah medis untuk dibawa ke lubang yang digali siang sebelumnya untuk ditimbun. Setelah limbah medis masuk, dibakar baru ditutup dengan tanah hasil penggalian sebelumnya,” katanya dalam kesaksian di pengadilan, Februari 2020.

Mansur sebelumnya sebagai saksi oleh warga atas gugatan terhadap PRIA. Dalam gugatan yang terdaftar dengan Nomor: 4/Pdt.G/LH/2020/PN.Mjk itu, warga menuntut PRIA meminta maaf atas penimbunan material.

Penuturan sama datang dari Sutama, usai mendapat cerita dari kakaknya, yang kerja di PT PRIA. Awal beroperasi, perusahaan banyak menggali lubang di area pabrik. Di lubang-lubang galian itulah material limbah banyak ditimbun.

Bukan hanya di area pabrik. Dalam praktiknya, perusahaan juga menjual material limbah beracun kepada warga sekitar. Oleh warga, limbah-limbah itu sebagai pengganti tanah urukan.

Ada banyak alasan warga nekat membeli bahan beracun itu. Selain lebih murah, mereka juga tak pernah tahu bila bahan yang timbunan di rumah mereka merupakan material B3. “Lebih murah, Rp150.000 satu dump truk-nya,” kata Ngatipan, warga setempat.

Nurasim, Ketua Pendowo Bangkit mengatakan, dari penelusuran mereka, ada 52 rumah terdapat timbunan limbah B3 diduga dari PRIA. Hanya dua yang sudah netralisasi (clean up) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sisanya, tanpa kejelasan.

Bukti lain, perusahaan illegal dumping bisa terlihat dari surat pernyataan Direktur Perusahaan, Luluk Wira Hidayati pada Oktober 2013. Surat ini didapat Mongabay dari warga yang sengaja disimpan sebagai dokumen.

Dalam surat itu, Luluk mengakui ada penimbunan limbah B3 di sekitar perusahaan. Atas praktik itu, Luluk pun berjanji tidak lagi menimbun, dan sepakat memberi kompensasi kepada desa Rp25 juta dan beberapa dusun lain, Rp10-Rp25 juta per tahun.

Kesepakatan itu sempat berjalan, hanya dua tahun pada 2014 dan 2015. Menyusul penyakit merebak pada 2016, warga menolak menerima bantuan apapun dari PRIA.

Soal timbunan B3 di rumah-rumah warga, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Mojokerto beralasan menunggu kepastian siapa yang menimbun. “Kan belum ada keputusan siapa yang membuang atau menimbun disana,” kata Aminuddin, Kepala DLH.

Baca juga: 60% Sumur Lakardowo Diduga Tercemar Limbah B3

 

Kepulan asap membungbung tinggi dari salah satu cerobong menandakan kurang pasokan searan. Foto: A. Asnawi

 

Prigi Arisandi, Direktur Ecoton, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang konservasi lahan basah dan restorasi sungai, mengatakan, pemerintah seharusnya mengkaji dan monitoring secara menyeluruh terhadap aktivitas PRIA. Dia meyakini, yang terjadi di Lakardowo akan berdampak terhadap masa depan warga.

“Ini kan jauh dari pengawasan, Kami lihat pemerintah tidak menangani dengan serius.”

Hasil pengujian kualitas udara ambien Ecoton di sekitar area pabrik akhir tahun lalu mendapati beberapa senyawa berpotensi mengakibatkan gangguan kesehatan.

Beberapa senyawa yang teridentifikasi dari pengujian itu meliputi sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO2),dan nitrogen dioksida (NO2). Juga, oksidan (O2), hidrogen sulfida (H2S), amoniak (NH2), timah hitam (Pb), hingga hidrokarbon (HC).

Beberapa senyawa ini ditemukan pada dua titik lokasi pengambilan sampel, masing-masing di belakang pabrik, masuk Dusun Sambi Gembol, Desa Lakardowo. “Senyawa-senyawa ini juga bisa menyebabkan orang mengalami dermatitis,” kata D.A.A. Marwadewanthi, ahli teknik lingkungan ITS Surabaya.

Pengujian sampel yang berlangsung satu jam belum cukup jadi acuan indikator senyawa kimia di sekitar lokasi pabrik. Namun, katanya, layak dicermati semakin mendekati area pabrik, kandungan senyawa kimia pada udara sekitar makin padat.

Satu contoh, pada titik pertama berjarak sekitar 20 meter dari pabrik, kandungan karbon monoksida mencapai 2.625,0 µg/Nm³. Pada titik kedua sekitar 400 meter di arah sama, kandungan lebih rendah, 2.450 µg/Nm³. Begitu juga dengan sulfur dioksida mencapai 20,4 µg/Nm³ pada titik pertama dan 7,64 µg/Nm³ titik kedua.

Hasil sama pada pengujian sampel tanah. Dua lokasi uji sampel mendapati sejumlah senyawa kimia berbahaya pada lahan di sekitar lokasi pabrik, seperti ammonia, calcium, magnesium, sodium, potasium, hingga timah hitam atau timbal.

Indonesia, katanya, sendiri sejauh ini belum memiliki parameter rujukan ambang batas senyawa kimia pada tanah. Paling tidak, latanya, pada timbal, kandungan senyawa berbahaya itu mencapai 18,7 Mg/Kg pada lokasi sampel pertama dan 25,4 Mg/Kg pada titik kedua.

Prigi meyakini, senyawa-senyawa berbahaya itu diduga karena pembakaran limbah medis oleh PRIA yang tak sempurna. Secara kasat mata, dugaan itu bisa dilihat dari kepulan asap hitam yang kerap muncul saat pembakaran berlangsung.

Jindrich Petrlik, ahli toksikologi asal Ceko juga sempat mengunjungi Lakardowo pada November 2019 mengamini analisa Prigi. Secara kasat mata, pembakaran limbah medis oleh PRIA berpotensi memunculkan senyawa kimia berbahaya berupa furan dan dioksin.

Sayangnya, untuk menguji itu, Indonesia belum memiliki parameter memadai. “Proses pengujian juga tidak sesederhana seperti menguji kualitas udara atau tanah. Pengujian hanya bisa melalui sampel darah atau telur,” katanya sesaat setelah mengunjungi Lakardowo.

Dia datang untuk penelitian bersama Ecoton terkait kemungkinan ada pencemaran dari operasi PRIA.

Hasil penelitian Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya pada 2017 bisa menjadi bukti lain. Dalam laporannya, penelitian yang dipimpin ahli geologi Dwa Desa Warnana, menemukan kandungan logam berat cukup tinggi di sekitar area pabrik.

 

Rumah Jamak, satu rumah di Lakardowo yang sebelumnya ditimbuni limbah B3. Satu dari dua rumah yang telah di-clean up. Foto: A Asnawi

 

Lokasi penelitian dengan mengambil sampel di lima titik. Pengambilan sampel dari kedalaman berbeda-beda. Titik 13 pada kedalaman 10 meter, titik 4-5 di kedalaman lima meter. Sampai di uji di setiap meter hingga pada kedalaman ditentukan. Proses pengujian dengan teknik fluoresensi sinar X (XRF).

Menurut Dwa, teknik ini untuk menentukan konsentrasi unsur kimia dengan cara mengukur panjang gelombang dan jumlah sinar X yang dipancarkan kembali setelah sinar X ditembakkan.

Prinsip kerja dari metode ini, dengan menembakkan radiasi elektromagnetik ke material yang diuji. Radiasi elektromagnetik yang dipancarkan akan berinteraksi dengan elektron di kulit suatu unsur. Pantulan dari sinar X itulah kemudian dihitung berdasar metode tertentu.

Kelebihan dari metode ini, katanya, dapat menentukan kandungan mineral dalam bahan biologi maupun tubuh secara langsung, dan memiliki akurasi tinggi. Juga dapat menentukan unsur kimia dalam material yang diuji.

Dari hasil pengujian sampel, terungkap ada kandungan logam cukup tinggi, misal, pada titik pertama, secara berurutan, kandungan Ferrum (Fe) berkisar antara 24.804-37.137 ppm pada kedalaman 5-6 meter; mangan 163,42-779,16 ppm di kedalaman 5-6 meter.

Ada konsentrasi Cobalt (Co) juga dengan jumlah 239, 68 ppm di kedalaman 4-5 meter. Bahkan, konsentrasi lebih tinggi hingga 282, 84 ppm terdapat pada kedalaman 8-9 meter. Senyawa timbal (Pb) atau timah hitam juga ada di kedalaman 7-8 meter. Konsentrasi mencapai 12, 63 ppm.

Temuan sama juga pada lokasi pengeboran titik kedua, misal, kandungan Fe mencapai 38.074 Ppm, mangan (Mn) 574, 01 Ppm, dan zirconium (Zr) 73, 45 ppm.

Pada pengeboran titik 3, senyawa ditemukan lebih parah lagi, seperti Fe 44. 475, 26 ppm, Mn 2. 619, 97 ppm, strontium (Sr) 497, 85 ppm, Cobalt (Co) 287, 26 ppm dan tembaga (Cu) 79, 25 ppm.

Ada juga Zirconium (Zr) 68, 92 ppm, seng (Zn) 60, 88 ppm, rubidium (Rb) 22, 79 ppm, timbal (Pb) 10, 3 ppm dan arsenik (As) 6, 42 ppm.

Baca juga: Kisah Wisata Limbah B3 di Desa Lakardowo

PT PRIA yang berada di kanan dan kiri jalan dengan posisi saling berhadapan. Perusahaan ini mengolah limbah medis bukan hanya dari seluruh wilayah Jatim. Tapi juga keseluruhan.  Foto: A. Asnawi

 

Menurut Dwa, logam berat sejatinya merupakan unsur esensial setiap makhluk hidup tetapi, dalam kadar tertentu justru jadi racun. Di alam bebas, unsur ini biasa ditemukan dalam bentuk terlarut atau tersuspensi bahkan ionik.

Keberadaan logam berat di lingkungan pada taraf tertentu, katanya, akan membahayakan kehidupan dan kesehatan manusia baik langsung maupun tidak. Sifat unsur-unsur ini sulit terdegradasi dan terurai ketika terakumulasi di perairan. Logam berat, katanya, sangat mudah terakumulasi dalam organisme, seperti kerang dan ikan, akhirnya berujung di manusia.

Sayangnya, penelitian Dwa tak pernah jadi rujukan KLHK dalam mengambil kebijakan soal Lakardowo. Alih-alih jadi perbandingan, KLHK justru menolak hasil pengujian itu dengan alasan laboratorium belum terakreditasi.

“Itu kan lab belum terakreditasi, hanya untuk kepentingan akademik,” kata Dyah Sulowati, Kepala Balai Lingkungan Hidup Jatim.

Sikap pemerintah yang terkesan acuh terhadap persoalan Lakardowo memantik ahli teknik lingkungan ITS, D.A.A. Marwadewanthi, ikut bicara. Menurut dia, timbunan limbah di rumah-rumah warga dipastikan berdampak dalam jangka panjang. Pasalnya, senyawa kimia pada material timbunan pada akhirnya akan terakumulasi.

“Itu kan sudah menumpuk selama bertahun-tahun. Tentu saja itu jangka panjang akan menimbulkan dampak terhadap kesehatan.”

Soal mencemari air, katanya, sangat bergantung pada kondisi tanah. “Kalau dekat timbunan, bisa saja terjadi,” katanya, Agustus lalu.

Praktik penimbunan ini terjadi lantaran masyarakat tidak mengetahui bahwa material yang dibeli merupakan bahan beracun dan berbahaya. Namun, katanya, praktik jual-beli limbah ini mengindikasikan ketidakberesan pada internal PRIA.

Sebagai negara hukum, katanya, seharusnya sudah cukup jelas dalam menyikapi setiap bentuk pelanggaran lingkungan.

“Aturannya jelas. Kalau terbukti terkontaminasi, harus clean up. Harus dilakukan pihak yang mencemari. Kecuali sudah tidak bisa dilacak lagi pelakunya, seharusnya itu menjadi tanggung jawab negara.”

Dewanthi meyakini, kehadiran PRIA di Lakardowo akan membawa dampak buruk terhadap lingkungan sekitar. Terlebih lagi, dari audit sejumlah tahapan pengelolaan limbah oleh perusahaan dinilai tidak sesuai ketentuan.

Temuan paling utama adalah ketentuan suhu pembakaran yang tidak sesuai. Hal itu, katanya, bisa dilihat asap cerobong yang acap kali mengeluarkan asap hitam pekat.

“Secara kasat mata begitu ya. Kalau suhu bakar memenuhi, asap akan kelihatan bening. Makin pekat, itu bisa menjadi indikasi proses pembakaran tak sempurna. Kalau temperatur memenuhi, turbulensi memenuhi, dan time-nya memenuhi, tidak akan menjadi masalah.”

“Karena kalau tidak, itu akan mengeluarkan senyawa-senyawa berbahaya yang terlepas ke udara. Seperti dioksin dan furan.”

Merujuk ketentuan, katanya, suhu pembakaran insinerator minimal 1.000 celcius. Bahkan, 1.200 celcius kalau mengacu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 56/MENLHK/Setjen.2015, tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah B3 dari Fasyankes.

Menurut Dewanthi, ketentuan ini dibuat untuk menekan senyawa kimia berbahaya terlepas akibat dari suhu pembakaran tak maksimal. Hal itu pula yang mengharuskan tingkat efisiensi pembakaran minimal 99,9%.

Belum lagi soal timbunan di sekitar area pabrik dan rumah-rumah warga. Menurut Dewanthi, tidak menutup kemungkinan material ini memberi kontribusi pencemaran, meski dalam skala tak begitu masif.

Hanya, hasil audit itu dengan kesimpulan bertolak belakang dengan kenyataan lapangan membuat masyarakat dan otoritas sulit bergerak.

Audit kontroversial itu, katanya, seolah jadi baju pelindung PRIA meski nyata, terdapat sejumlah ketidaktaatan dilakukan perusahaan.

Dewanthi mengatakan, selain furan dan dioksin, beberapa senyawa yang mungkin terlepas ke udara karena pembakaran tak sempurna itu antara lain NOx dan SOx, serta hujan asam yang akhirnya mengganggu pernapasan.

 

Surat yang ditandatangani Direktur PT PRIA, Wira Hiyatati pada 2013. Dalam suratnya itu, Wira menyatakan untuk tidak lagi menimbun limbah di sekitar area pabrik. Foto: A Asnawi

 

Penjelasan Dewanthi sejalan dengan data warga yang berobat ke klinik kesehatan PRIA pada Juli hingga Desember 2019. Dari 743 pasien, 25% didiagnosa mengalami gangguan pernapasan. Sisanya, mengeluhkan gatal-gatal di kulit.

Dokter klinik PRIA, Awan Budianto menyebut, gatal yang dialami warga merupakan scabies oleh kutu. Pernyataan itu dibantah Dewanthi. Menurut dia, scabies bukan satu-satunya penyebab sakit kulit. Sebaliknya, bukan tidak mungkin sakit warga akibat dari paparan senyawa yang banyak beredar di lingkungan sekitar.

“Bisa saja itu karena arsenik atau senyawa berbahaya lain akibat timbunan,” katanya.

Untuk mengujinya, ada satu tahapan dengan uji kandungan logam dalam darah warga. Pengujian ini dinilai Dewanthi lebih akurat ketimbang proses pengujian lain.

“Sakit kulit itu seringkali dibilang karena sanitasi jelek. Belum tentu. Sakit kulit, itu biasa juga karena kandungan arsenik besar. Kalau dokter bilang dari scabies, ya itu harus dibuktikan.”

Mongabay sempat mendatangi Puskesmas Jetis, Kabupaten Mojokerto. Dadang Hendryanto, Kepala Puskesmas tak banyak memberikan komentar terkait banyak warga Lakardowo sakit dalam kurun relatif singkat itu.

“Itu lagu lama, bukan sesuatu yang baru. Dulu, memang ada, tapi sekarang sudah tidak ada. Hanya satu dua saja yang gatal-gatal. Itu sudah biasa. Disini ini setiap musim kemarau begitu karena kan banyak debu,” katanya Juli lalu.

Saat disodori jumlah warga sakit sampai 743 orang dalam satu semester, Dadang terdiam. Terlebih, ketika disinggung kemungkinan penyakit itu karena pengolahan limbah B3 PRIA.

Meski begitu, Dadang sepakat bila kehadiran PRIA memberikan dampak pada lingkungan sekitar. “Kalau soal timbunan limbah di rumah warga, saya tidak tahu karena masih baru.”

Athoillah Isfandiari, ahli epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengatakan, banyak warga Lakardowo mengalami sakit kulit seharusnya cukup jadi landasan pemerintah menetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB).

Pemerintah, katanya juga perlu kajian mendalam terkait dugaan pencemaran di sana.  “Saya kira itu jumlah yang sangat banyak ya. Seharusnya pemerintah bisa membuat kajian epidemiologinya untuk mengetahui lebih jauh apa yang terjadi.” Hasil kajian epidemologi itu pula yang menjadi dasar penentuan kebijakan di Lakardowo.

Atho enggan buru-buru menyimpulkan bahwa sakit gatal-gatal ratusan warga merupakan scabies. Menurut dia, penentuan itu hanya setelah pemeriksaan kultur jaringan pasien.

Dalam banyak kasus, katanya, scabies yang terjadi akan berhenti setelah terapi. Kenyataannya, banyak warga yang mengalami gatal-gatal menahun hingga terus mengkonsumsi obat-obatan.

“Bisa jadi juga karena dermatitis kontak. Artinya, penyakit itu datang akibat alergi dari kontak terhadap zat-zat atau bahan kimia. Karena penyakitnya terus menahun dan tidak sembuh-sembuh. Kajian menyeluruh itu yang diperlukan.”

Tulisan selanjutnya: Nasib Warga Lakardowo, Satu Dasawarsa Hidup dengan Limbah Berbahaya [3]

 

* Liputan ini terselenggara berkat dukungan Earth Journalism Network (EJN).

 

***

Keterangan foto utama: Warga Lakardowo saat berunjuk rasa di depan Kantor PN Mojokerto, pada 6 Juni 2020. Foto: A Asnawi

 

Exit mobile version