Mongabay.co.id

Para Pemburu Gading Gajah Riau

 

 

 

 

Deddy bersama tiga orang tengah mencari gajah jantan yang beberapa minggu ini masuk kebun warga, 14 April lalu. Mereka menyusuri kebun sawit, semak, kebun sawit lagi di bilangan Kecamatan Kelayang, Indragitu Hulu, Riau. Deddy jalan paling depan.

Tiap lima menit sekali, teman di belakangnya menghidupkan petasan.

“Dar..dor…dar…”

“Datuk..datuk…” Begitu mereka memanggil gajah jantan itu seraya bunyikan mercon.

Setelah lebih sejam berjalan, mereka mulai lihat tanda. Deddy melihat bekas laluan gajah dan kotoran. Mereka mengikuti jejak itu.

“Kalau bisa live streaminglah, biar dilihat BKSDA,” celetuk salah seorang kawan kepada Deddy. Dia awalnya keberatan, hanya dia yang bawa ponsel dengan kuota internet. Meski begitu, Deddy pun menyiarkan pencarian mereka itu di laman Facebook.

Baca juga: Gajah di Riau dalam Rimba Konsesi

Tiba-tiba, seorang laki-laki keluar dari balik tanaman sawit, di Kelurahan Simpang Kelayang, minta Deddy mematikan kamera. “Terkenal nanti awak,” kata lelaki paruh baya berkulit sawo matang itu.

“Joni.” Begitu si lelaki memperkenalkan diri. Dia menyangkutkan parang di pinggang dan mengaku dari Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Bagan Limau, Pelalawan, Riau.

Kok tak pakai seragam?” tanya Deddy.

“Polisi Hutan itu kan juga ada intelnya,” kata Joni.

Baca juga: Datuk Malang di Balai Raja

Joni menahan Deddy dan kawan-kawan supaya tidak makin masuk ke dalam. Gajah, katanya, tak ada lagi di sana karena sudah dihalau ke arah Pelalawan. Joni membawa keempat orang itu keliling dan menjauh dari tempat itu. Tiba-tiba muncul satu orang lagi, berkumis, pakai tas punggung. Dia menyebut dari Medan, namun tak beritahu nama.

“Kalau didengar dari gaya bahasanya, mereka orang Kuantan Singingi,” kata Deddy.

Mereka berhenti pada satu tempat, mengarah keluar ke jalan desa dan kembali berbincang-bincang. Deddy menawarkan minuman. Joni meyakinkan Deddy agar tidak khawatir. Dia berjanji mengganti satu batang sawit yang rusak Rp1 juta. Joni bahkan, memberi nomor ponsel dan minta Deddy beri kabar lewat SMS (short message service).

“Dia bilang tak biasa pakai WA (Whatsapp).”

Joni juga beri tahu kiat-kiat bila bertemu gajah. Katanya, bila bertemu gajah saat telinganya berdiri, segera cari pohon besar dan memeluknya sembari tahan napas.

“Mati kalau gitu, pak. BKSDA tak pernah mengajarkan begitu. Paling bunyi mercon atau menghindar kalau lihat gajah seperti itu,” sanggah Bujang, kawan Deddy.

Deddy menaruh curiga. Dia minta Bujang beritahu iparnya yang tugas di Polsek Kelayang, bahwa mereka bertemu petugas dari BKSDA. Budi, ipar Bujang, meneruskan informasi itu ke Sumadi, Bhabinkamtibmas Sungai Kuning Benio.

Sumadi menanyakan kebenaran informasi itu ke anggota BKSDA Riau yang bertugas di Resort Pekan Heran, Kecamatan Rengat Barat, Indragiri Hulu. Ternyata tak ada satupun tim BKSDA Riau yang patroli hari itu di sana. Tak ada pula bernama Joni.

Mereka pun meninggalkan kedua orang itu, dan pulang masih dengan penuh kecurigaan.

Sumadi bahkan langsung menduga dua orang itu adalah pemburu. Pasalnya, gajah sudah beberapa hari di lokasi yang dikatakan Deddy.

Sumadi, juga menonton siaran langsung yang tayang di Facebook Deddy, sebelum dikabari Budi. Malam itu juga, Sumadi membawa satu orang warga mengecek tempat itu. Mereka tak menemukan dua orang itu lagi.

Sumadi terus curiga. Siangnya, Deddy mengajak untuk memastikan kembali posisi gajah hari itu. Rencananya, warga ramai akan ikut mencari. Sumadi pun berangkat lebih awal bersama Srianto alias Tobas.

Belum semua berkumpul, Tobas menghubungi Deddy. Dia teriak-teriak dari balik telepon genggamnya.

“Ini gajah. Ini gajah.”

Deddy bergegas mendekat. Warga yang lain pun menyemut.

Jarak gajah tergeletak sekitar 25 meter dari titik pertama mereka bertemu Joni dan kawannya.

Gajah itu mati.

Sumadi langsung lapor ke Kapolsek Kelayang. Dia juga kirim sejumlah foto ke petugas BKSDA Resort Pekan Heran dan tim patrol gajah Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo (YTNTN). Mereka beberapa kali mengecek keberadaan gajah sebelum mati.

 

Lokasi kuburan gajah mati dengan belalai terputus dan gading belum sempat diambil, di Kelayang, Indragiri Hulu. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Gajah tergeletak. Gading masih utuh. Belalai terpisah sekitar satu meter dari kepala. Petugas dari Polsek Kelayang, Tim Patrol Gajah Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo, Syandrio Zico bersama tiga rekan berjaga. Mereka bermalam di lokasi, bikin tenda dengan penerangan genset.

Pagi hari, Tim Nekropsi BBKSDA Riau dan anggota Polda Riau. Tim Polda Riau mengorek informasi sembari membawa daftar nama dan foto-foto para pemburu gajah yang pernah mereka tangani.

Baca juga: Nasib Gajah di Sorolangun dan Balai Raja Kala Habitat Terus Tergerus

Dua foto yang dibawa polisi mengingatkan Deddy dengan dua orang yang mereka temui di kebun sawit. Ternyata mereka memang bukan petugas BKSDA. Mereka adalah para pemburu gajah yang sudah keluar masuk penjara. Satu orang bernama Ari alias Karyo. Satu lagi, Anwar Sanusi alias Ucok. Joni, sang petugas gadungan itu adalah Ari.

Sekitar 40 kilometer dari situ, di Desa Air Molek, Kecamatan Pasir Penyu, Robert terbangun ketika mendengar pintu rumah diketuk sekitar pukul 02.00 dini hari, Kamis 16 April. Ternyata, Ari dan Anwar membawa bungkusan plastik mau numpang tidur. Robert mempersilakan mereka tidur di ruang tengah.

Sebelum merebahkan badan, Anwar minta tolong pada Robert untuk mengambil senjata pada Sukar di Dusun Paku, Desa Sungai Banyak Ikan, Kelayang, Indragiri Hulu. Karena mengantuk, Robert kembali terlelap.

Ari dan Anwar meninggalkan rumah Robert, pukul 7.30, tanpa sarapan. Anwar hanya mengingatkan Robert, supaya tak lupa mengambil peralatan dengan Sukar, warga Simpang Kelayang.

Robert mengaku tak tahu mengenai gajah mati di Simpang Kelayang. Robert bahkan tidak punya firasat kedua orang itu tengah diburu polisi.

Pukul 14.30, sejumlah buru sergap (buser) dari Polres Indragiri Hulu mendatangi rumah Robert. Seorang buser bernama Naga, tanya soal senjata.

“Tak ada di sini. Kalau bapak tak percaya periksalah rumah saya,” kata Robert. Buser-buser itupun menggeledah rumah.

Melihat anak istri panik dan ketakutan, Robert akhirnya buka suara. Rumah sudah berantakan.

“Memang iya. Semalam orang itu (Ari dan Anwar) minta jemput senjata, cuma ndak berani awak. Orang itu suruh ambil alatnya ke rumah Sukar,” katanya.

Robert menghubungi Sukar, terlebih dahulu. Dia pura-pura hendak jemput senjata sesuai perintah Anwar dan Ari. “Ada di tempat aku ni. Jemputlah!” kata Robert, menirukan ucapan Sukar.

Sukar bersembunyi di gubuk dalam kebun karet mereka, sekitar empat kilometer dari rumahnya. Dia tak dapat berbuat apa-apa kala polisi datangi gubuk itu.

Robert bilang, Sukar ketakutan saat menunjukkan senjata yang disembunyikan dalam semak. Sukar mengaku, Ari dan Anwar yang menyimpan senjata itu. Polisi pun tak langsung menangkap Sukar.

Anwar dan Ari menghilang. Anggota Polres Indragiri Hulu akhirnya meringkus Anwar di Simpang Pematang Ganjang, Kecamatan Sei. Rempah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatra Utara, 1 Juli.

Anwar mengakui perbuatan itu bersama Ari dan Sukar. Keesokan malamnya, polisi kembali ke tempat Sukar dan mengikat kedua tangannya.

Polres Indragiri Hulu baru mengumumkan penangkapan itu satu bulan kemudian. Berdasarkan rilis yang dikirim Paur Humas Polres Indragiri Hulu Misran, barang bukti antara lain, sepucuk senjata api rakitan laras panjang, 29 butir amunisi aktif dan sebutir selongsong peluru.

Ada juga beberapa peralatan berburu gajah, seperti karung plastik kecil, tas kecil, batu asah kecil, jerigen kecil, senter penerang serta sebilah kapak dan parang. Barang bukti lain, sepasang gading, tengkorak kepala gajah dan sebutir amunisi yang bersarang di kepala gajah. Ari, masih buron.

Robert punya hubungan dekat dengan ketiga pelaku bahkan memiliki ikatan saudara dengan Anwar. Anwar, paman Robert karena menikah dengan bibi, adik dari ibunya.

Robert sebagai pengepul ular sawah. Dari pekerjaan ini dia mengenal Sukar, karena sering terima ular dari laki-laki yang usia belum genap 30 tahun itu. Kulit dijual untuk bahan tas dan dompet. Daging jual di kedai tuak, Pekanbaru sampai Simpang Buton, Siak, Rp10.000 perkg.

“Jualnya di Riau saja. Kalau sampai keluar kena tangkap kita.” Ari dia kenal karena menikahi mantan istrinya.

 

 

 

Pemain lama

Ari dan Anwar adalah pemain lama dalam perburuan gading gajah di Riau. Ari bahkan beraksi sampai ke Jambi. Keduanya, keluar masuk penjara.

Pada 6-7 Februari 2015, Ari dan Anwar menembak tiga gajah dalam konsesi PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), Desa Segati, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau. Keduanya dibantu Herdani Sardavio dan Ishak.

Usai dari sana, 10 Februari 2015, mereka melanjutkan berburu di konsesi PT Arara Abadi, Desa Koto Pait, Kecamatan Pinggir, Bengkalis. Tim mereka bertambah antara lain, Ruslan dan Mursid.

Dalam perjalanan pulau ke Pekanbaru sambil membawa gading gajah, mereka semua ditangkap tim Ditreskrimsus Polda Riau di Pekanbaru.

Dari dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri (PN) Bengkalis, Ari dan Anwar kena vonis setahun penjara, 9 Juli 2015. Di PN Pelalawan, keduanya dihukum lebih berat, 2,6 tahun penjara, pada 21 Januari 2016.

Ternyata, sebelum berburu di dua tempat itu, Ari, Herdani Sardavio dan Ishak, membunuh dua gajah di Desa Tanjung Simalidu, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo, Jambi, pertengahan November 2014.

Ari baru menghadapi putusan perkara itu, 17 April 2018, setelah vonis dua pengadilan berbeda di Riau, di PN Muara Tebo, majelis hakim menghukum Ari tiga tahun penjara.

Siapa pengumpul atau pemodalnya? Dari pembuktian di pengadilan, terlihat dalam putusan perkara, Ari mengaku dapat modal dan menjual gading gajah hasil perburuan pada seorang oknum anggota Perbakin, Fadly.

Fadly bahkan turut serta mengantar dan jemput Ari bersama kawan-kawannya ke lokasi perburuan, seperti saat di konsesi RAPP. Fadly juga meminjamkan senjata api berikut amunisi pada Ari.

Dia menghargai gading gajah hasil perburuan Ari dan kawan-kawan di Tebo, Jambi sebesar Rp15, 7 juta. Uang itu mereka bagi rata. Hanya Ari sedikit lebih banyak, karena penembak.

Fadly pernah menjanjikan pada Ari, akan membayar Rp4 juta per kilogram gading gajah hasil buruan di konsesi RAPP. Mereka keburu tertangkap.

PN Bengkalis menvonis Fadly hanya satu tahun, karena turut ditangkap bersama Ari dan kawan-kawan saat membawa gading gajah hasil perburuan di konsesi Arara Abadi.

Di PN Pelalawan maupun PN Muara Tebo, Fadly tak tersentuh hukum. Fadly bahkan beberapa kali mangkir dari panggilan majelis hakim PN Pelalawan, sekadar minta keterangan saksi.

Yohanes Widodo, selaku Direktur Reskrimsus Polda Riau, saat tangani kasus Ari cs kala itu—kini sudah bertugas di Sumatera Selatan–, menyayangkan, setelah tahu hukuman para pelaku itu sangat ringan.

Kala itu, katanya, telah memproses dan menuntaskan semua pelaku yang terlibat, baik kasus di Bengkalis maupun Pelalawan.

“Saya datang kedua lokasi itu. Perbuatan mereka sangat sadis. Anak-anak gajah masih menunggu induknya yang mati. Mereka termasuk pengkhianat karena hanya menginginkan gadingnya. Saya tak punya pamrih dan beban apapun. Siapapun terlibat saya jadikan tersangka,” kata Widodo saat dihubungi, 24 Juli 2020, malam. Dia mengaku agak lupa detil dengan kasus-kasus berapa tahun lalu itu.

Anwar menghirup udara bebas dua tahun lalu. Anwar kembali melakoni pekerjaan sebagai sopir sawit dan terkadang batubara.

Ari menyuruh Anwar pulang ke Cerenti dan kerja di kampung. “Pulanglah kau. Di sini saja kita kerja. Ngapain kau di Medan sana,” kata Robert, meniru ucapan bibinya.

Sebelum gajah mati di Kelayang, BBKSDA Riau dan anggota Polda Riau terlebih dahulu bergelut dengan kematian gajah lagi di Konsesi Arara Abadi, Desa Tasik Serai, Kecamatan Talang Muandau, Bengkalis, 18 November 2019. Lokasinya sebelahan dengan Desa Koto Pait, kasus perburuan gading gajah pada 2015, yang melibatkan Ari cs.

Berbeda dengan peristiwa Kelayang, gajah mati di Tasik Serai, gading hilang. Tak ada tanda-tanda satwa itu ditembak atau dijerat atau keracunan. Gajah ditemukan sudah kepala terpotong, lebih kurang enam hari, sejak pertama diketahui.

Sumber di Polda Riau menyebut, mereka menelusuri sekitar lokasi gajah mati, namun tidak menemukan petunjuk. Katanya, pelaku bekerja sangat profesional karena tidak meninggalkan jejak sama sekali. “Itu masih jadi pekerjaan rumah saya untuk mengungkapnya.”

Donny Gunaryadi, Sekretaris Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), mengatakan, yang ditangkap Polres Indragiri Hulu itu, pemburu kambuhan, dan spesialis. Mereka tak jera karena, hukuman tak setimpal dengan kejahatan. Nilai gading jauh lebih besar dibanding lama penjara dan denda yang harus dibayar.

 

Gajah mati di Simpang Kelayang, Indragitu Hulu. Pelaku tiga orang, dua penjahat satwa kambuhan, satu buron, satu orang diamankan bersama seorang informan warga desa setempat. Foto: Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo

 

Dari putusan Ari dan Anwar di PN Bengkalis, hanya denda Rp3 juta atau subsider satu bulan kurungan bila tak sanggup bayar. Begitu juga hukuman pada Fadly, pemodal dan pembeli gading.

Padahal, Ari dan Fadly juga bersalah atas penguasaan dan penggunaan senjata api maupun amunisi tanpa hak. Mereka kena Pasal 1 UU Darurat RI No 12/1951. Dengan pasal itu, mestinya hukuman mati atau penjara seumur hidup atau setinggi-tingginya 20 tahun.

Seorang yang pernah melacak perdagangan gading, katanya, sepasang gading gajah berat 30 kilogram jual sekitar Rp50 juta. Beberapa perhitungan di pasar gelap, katanya, perkg gading berkisar Rp5 juta-Rp10 juta. “Harga dan keuntungan yang diperoleh pelaku masih menggiurkan. Hasilnya besar secara finansial.”

Dia meminta, penegak hukum menyeriusi masalah ini. Donny bilang, pelaku masih melihat celah menguntungkan dan risiko sangat rendah. Pelaku punya peluang atau kesempatan, bahkan dia tahu masih mungkin lolos.

Donny bilang, pelaku tahu titik lemah penegakan hukum, termasuk kerja-kerja pengawasan di lapangan. “Mereka tahu jangkauannya. Kawasan juga belum tentu dijaga secara utuh.”

Forum Konservasi Gajah Indonesia, katanya, akan evaluasi mekanisme penjagaan, terutama di kantong-kantong gajah tersisa.

 

 

***

Kematian di Desa Kelayang ini, hanya satu dari banyak kasus kematian gajah Sumatera di Riau. Data Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo (YTNTN) dari 2015 sampai kasus Kecamatan Kelayang ini, April 2020, terpantau ada 24 gajah mati di kantong Taman Nasional Tesso Nilo, Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil dan Suaka Margasatwa Balai Raja, Riau. Dari 24 kasus kematian itu, sekitar tujuh gajah mati di konsesi perusahaan, yang lain ada di kawasan konservasi dan perkebunan warga.

Mereka mati, antara lain jadi target buruan untuk diambil gading. Ada juga yang terjerat, kena tombak, diberi racun, sampai tersetrum pagar listrik. Ada juga yang mati karena terkena gangguan pencernaan alias murni sakit.

“Dalam lima tahun terakhir ini kematian non alamiah lebih banyak,” kata Yuliantony, Direktur Eksekutif Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo. Kematian non alamiah ini , katanya, gajah mati karena konflik dengan manusia, baik ditembak, jerat, racun dan lain-lain.

Habitat gajah sudah terfragmentasi dalam berbagai peruntukan hingga makin memudahkan perburuan. Untuk itu, kata Muhammad Wahyu, Direktur Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation (Vesswic), perlu ada perhatian pemerintah dan pegiat gajah karena perburuan melalui jerat, racun atau menembak sesuai motivasi masing-masing. Ada aksi pemburu menarget gading, ada juga yang menganggap hama karena ganggu tanaman mereka dan alasan lain.

Jadi, katanya, bagaimanapun habitat gajah mesti terjaga dengan pengetatan pengamanan, misal, daerah jerat tinggi dengan lakukan operasi. Selain itu, harus monitoring populasi dan menilai daya dukung habitat itu maupun aksi lain.

Dengan kondisi konflik gajah dan manusia tinggi ini, kata Wahyu, menyebabkan gajah mati, maupun terluka hingga dokter hewan dalam penanganan satwa liar ini sangat diperlukan.

“Jika ditemukan dalam keadaan sehat, masih dibutuhkan pengobatan. Jika ditemukan mati, minimal, dokter hewan bisa nekropsi untuk forensik kematian disebabkan oleh apa, racun atau sengatan listrik, jerat. Atau mati karena penyakit dan lain-lain.”

Dalam lima tahun belakangan ini, kata Yuliantony, penyebab kematian gajah, empat secara alamiah, yang lain non alamiah, baik karena racun, kena jerat maupun ditemba. Dalam tahun 2020, ada tiga mati non alamiah, dua kena jerat, satu ditembak, yakni kasus di Kelayang ini.

Pasca gajah mati di Simpang Kelayang, BBKSDA Riau, kembali sibuk dengan temuan satu gajah jantan di sekitar lokasi. Mereka buru-buru menggiring ke habitat lebih aman, sebelum peristiwa pembunuhan di Simpang Kelayang, terulang.

 

 

 

Kolaborasi Mongabay Indonesia dan Tempo:

Tim liputan Mongabay Indonesia: Sapariah Saturi, Suryadi dan Lusia Arumingtyas

Tempo: Sunudyantoro

 

Pada April 2020, di Kecamatan Kelayang, satu gajah Sumatera, mati mengenaskan dengan belalai terputus dari kepala, tetapi gading masih utuh. Dari pengungkapan, pelaku bekerja sama dengan warga desa sebagai informan. Pelaku sempat bertemu dengan warga yang mencari gajah yang sudah beberapa lama muncul di pemukiman, dan mengaku sebagai petugas BKSDA Riau. Foto: Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo

 

Exit mobile version