Mongabay.co.id

Program Biodiesel Ancam Alih Fungsi Lahan? Libatkan Petani Sawit dalam Rantai Pasok

Sawit petani. Pengembangan biodiesel bisa mengamcam terjadi alih fungsi lahan dan hutan. Salah satu upaya tekan ancaman itu, bisa dengan melibatkan petani sawit dalam rantai pasok dengan jelas. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Sawit petani. Pengembangan biodiesel bisa mengamcam terjadi alih fungsi lahan dan hutan. Salah satu upaya tekan ancaman itu, bisa dengan melibatkan petani sawit dalam rantai pasok dengan jelas. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pengembangan biodiesel terus pemerintah jalankan dan dinilai belum melibatkan petani rakyat dalam rantai pasok industri ini. Program ini jalan juga dinilai tanpa peta jalan jelas dan hanya fokus pada produk hilir belum memperhatikan serius sektor hulu atau sumber sawit hingga alih-alih tekan emisi malah berpotensi lebih tinggi dari kala pakai solar atau fosil.

Tirza Pandelaki, Manajer Program dan Kemitraan, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), mengatakan, petani justru tak mendapatkan keuntungan apapun dari program biodiesel pemerintah.

Kalau pemerintah mau mensejahterakan petani, katanya, seharusnya melibatkan petani dalam pembuatan kebijakan. Pemerintah juga perlu memasukkan petani swadaya atau pekebun mandiri dalam rantai pasok industri biodiesel. Para petani sawit, katanya, memerlukan payung hukum dan jaminan pasar untuk melindungi mereka.

Selama ini, banyak petani jual panen mereka kepada tengkulak. Jadi, kata Tirza, sangat penting membantu petani swadaya. Kalau progam biodiesel pemerintah ini menerima pasokan petani, katanya, bisa membantu mereka.

Selama ini, katanya, klaim pemerintah bahwa biodiesel berdampak pada harga tandan buah segar petani, tak terlihat.

Dia menekankan, harus ada tanggung jawab perusahaan dalam keberlanjutan kerjasama dengan petani dalam rantai pasok biodiesel.

“Biodiesel harusnya terhubung dengan industri hulu. Perusahaan harusnya mengambil pasokan langsung dari petani di sekitar,” katanya dalam diskusi yang diselenggarakan Mongabay dan Journalist Learning Forum, pertengahan Oktober lalu.

Berdasarkan UU Perkebunan, katanya, prioritas penggunaan dana BPDP-KS untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, peremajaan dan sarana prasarana.

Kalau melihat alokasi dana, kata Tirza, dengan himpunan selama 2015-2019 sebanyak Rp47,28 triliun, sebesar 89,86% atau sekitar Rp30,2 triliun untuk insentif biodiesel.

“Dengan situasi COVID-19, negara menyuntik dana biodiesel Rp2,7 triliun dan sedang meminta insentif lebih lanjut,” katanya.

Data Kementerian Pertanian, luas kebun sawit Indonesia 16,3 juta hektar dengan perkebunan swasta 8,8 juta hektar serta kebun perusahaan negara 700.000-an hektar. Petani swadaya sekitar 6,7 juta hektar.

Dari jumlah petani swadaya, kata Tirza, seharusnya para petani jadi prioritas. “Bukan terkonsentrasi pada segelintir konglomerat sawit.”

 

Konglomerat sawit yang dimaksud Tirza, salah satu Wilmar Group. Dalam pengembangan B20, Wilmar Group memperoleh pasokan dari 83 perusahaan sawit dari 32 grup.

SPKS menemukan, dari semua pemasok ke Wilmar, ada 19 perusahaan dalam lima grup asal Malaysia dan satu asal Srilanka.

SPKS mempertanyakan pasokan yang diambil dari perusahaan asal negara lain sementara banyak petani swadaya kesulitan menjual hasil kebun dengan harga baik.

Pemerintah, katanya, harus serius meningkatkan produktivitas petani baik dalam pembentukan dan penguatan kelembagaan. Juga, pendampingan praktik perkebunan yang baik dan tepat bagi petani, maupun akses terhadap ketersediaan benih unggul.

Produktivitas, meliputi intensifikasi pertanian dengan benih, peremajaan dan sarana prasarana yang presisi untuk kebutuhan petani.

“Petani butuh benih berkualitas, pupuk, kelembagaan dan pendampingan berkelanjutan juga untuk peningkatan kapasitan dan lain-lain,” katanya.

SPKS meminta, presiden meninjau ulang BPDP-KS sebagai lembaga independen dan tak terkooptasi konglomerat sawit.

“KPK dan BPK juga perlu audit lembaga ini dan penerima dana subsidi sawit, karena diduga merugikan negara,” katanya.

 

 

Mana peta jalan? Defisit CPO picu ekspansi

Penetapan kewajiban minimal pemanfaatan biodiesel, kata Ricky H Amukti, Manajer Riset Traction Energy Asia, terlihat dari Permen ESDM No 12/2015 soal penyediaan, pemanfaatan dan tata niaga bahan bakar babati (biofuel) sebagai bahan bakar lain.

Di sana, ada soal penetapan kewajiban minimal pemanfataan biodiesel (B100) sebagai campuran bahan bakar minyak.

Sayangnya, kata Ricky, penetapan ini, Indonesia dan pemerintah hanya fokus pada kuota. Dia bilang, belum ada peta jalan (roadmap) jelas.

“Mereka terapkan tahapan 15%, 20% itu kuota, roadmap menuju kuota berapa persen itu gak ada,” katanya.

Dengan tak ada peta jalan jelas, katanya, terancam alami defisit minyak sawit. “Kita sekarang ada masa B30, mulai [terapkan] 2020, jika terus dilakukan akan alami defisit pada 2023.” Dia bilang, kalau terus terakumulasi maka pada 2025, Traction memperkirakan akan ada defisit sekitar 34 juta ton.

Padahal, katanya, kalau melihat pemerintah membuat kebijakan biodiesel ini untuk menyerap pasokan minyak mentah sawit (crude palm oil/CPO) karena terjadi produksi berlebih (over supply). “Jadi, bisa jadi bumerang kalau bauran terus naik [tak ada peta jalan], dari over supply jadi defosit.”

Mengantisipasi defisit, perlu penanaman kembali kebun-kebun sawit yang sudah tak produktif dengan perkiraan seluas 3,4 juta hektar. “Kalau tak replanting tak jalan, potensi alih fungsi lahan,” kata Ricky.

Kalau sampai terjadi alih fungsi lahan, katanya, emisi biodiesel secara analisis daur hidup (life cycle analysis/ LCA), jauh lebih tak ramah lingkungan dibading energi solar dan fosil.

 

Ekspansi pembukaan hutan untuk kebun sawit merupakan masalah besar yang terjadi di hutan Singkil-Bengkung. Foto: Nanang Sujana/RAN

 

Traction kajian gunakan LCA, dengan melihat proses perhitungan emisi dari produksi awal—kalau sawit dari mulai tanam sampai jadi biodiesel.

“Kenapa kita hitung ini, karena perencanaan pemerintah sebutkan bidosel ramah lingkungan. Kalau ramah lingkungan itu harus bisa hitung dari produk produksi sampai konsumsi.”

Dengan kondisi ini, katanya, guna mengurangi alih fungsi lahan, salah satu cara dengan mengoptimalkan potensi dari petani swadaya.

Potensi lahan petani, katanya, 40% total luas perkebunan sawit di Indonesia tetapi hingga kini belum memperoleh manfaat dari program bidosel. Kalau petani swadaya masuk rantai pasok sawit biodiesel, katanya, bisa membantu perekonomian rakyat kecil.

Pelibatan petani swadaya juga sejalan dengan semangat awal pengembangan biodiesel pada 2006. Kala itu biodiesel, katanya, dibangun dan dibentuk sebagai tim percepatan dan pembangunan.

“Kalau libatkan petani swadaya dan masuk dalam rantai pasok, akan tingkatkan kesejahteraan, kurangi kemiskinan sekaligus tekan alih fungsi, deforestasi dan hindari buka hutan alam,” katanya.

Dengan gunakan tandan buah segar sawit petani, kata Ricky, juga bisa mengurangi emisi keseluruhan proses produksi biodiesel.

 

 

Tahun lalu, kata Ricky, Traction riset model LCA dan menunjukkan, emisi perkebunan petani lebih rendah dari emisi perkebunan besar.

Yang perlu menjadi perhatian kini, katanya, petani swadaya hadapi berbagai masalah, antara lain, produktivitas kebun rendah, per hektar hasil sekitar satu ton bahkan ada yang kurang. “Jadi, yang perlu dilakukan intensifitikasi lahan mereka,” katanya.

Masalah lain soal rantai pasok panjang hingga menyebabkan, biodiesel untuk tingkatkan ekonomi petani tak jalan.

Rantai pasok TBS dari petani swadaya, ke pabrik sawit (PKS) bervariasi. Makin panjang rantai pasok, katanya, makin mengurangi keuntungan petani swadaya. “Kurangi rantai pasok perlu.”

Sayangnya, kata Ricky, kebijakan yang digadang-gadang untuk petani belum sampai intervensi ke rantai pasok petani.

Perwakilan dari Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, ESDM, berjanji memperhatikan berbagai masukan soal pelibatan petani dalam rantai pasok biodiesel.

 

 

Perkembangan biodiesel

Dari KESDM juga memaparkan perkembangan program biodiesel ini. Sigit Hargiyanto Kepala Seksi Perlindungan Bioenergi, Dirjen EBTKE, mengatakan, KESDM, PLN dan pihak terkait sedang mengkaji pemanfaatan biodiesel B40 dan B50.

“Pemerintah akan mulai mengembangkan green fuel berbasis CPO di kilang milik Pertamina baik secara co-processing maupun stand alone refinery unit,” katanya.

Untuk meningkatkan target bauran energi terbarukan, pemerintah akan mengembangkan co-firing biomassa dengan batubara pada PLTU yang sudah ada (eksisting). Selain itu juga pengembangan pellet biomassa yang memanfaatkan limbah padat termasuk limbah peremajaan sawit.

“Ditargetkan 1-3% pellet biomassa pada PLTU di tahun 2025,” katanya.

Sejak 1 Januari lalu mulai berlaku mandatori B30 untuk sektor transportasi public service obligation (PSO) dan non PSO, pembangkit listrik dan industri komersial.

Pada 2022, akan ada pemberlakuan B40. “Namun, perlu kesiapan produsen, infrastruktur, manufaktur dan pendanaan untuk insentif.”

Program biodiesel berbasis CPO menyumbang sekitar 3% bauran energi terbarukan dalam total bauran energi nasional pada 2019 melalui program B20. Dengan B30 kontribusi biodiesel untuk ketahanan nasional, dia yakini, makin meningkat pula.

Kapasitas pembangkit listrik berbasis limbah sawit pada 2019, ujar Sigit, mencapai 1.000 megawatt dan akan terus didorong melalui perbaikan tata kelola dan kerja sama dengan stakeholder terkait.

Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah kajian biodiesel 40% (B40) untuk bahan bakar kendaraan bermotor bermesin diesel. Penelitian ini meneruskan penerapan B30.

Uji ketahanan 1.000 jam pada engine test bench di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi dilakukan terhadap dua formulasi B40. Formulasi pertama, B40, yakni campuran 60% solar 40% fatty acid methyl esther (fame). Formulasi kedua, campuran 60% solar dengan 30% fame dan 10% distillated fatty acid methyl esther (DPME).

 

Pengembangan biodiesel berbasis minyak sawit, kalau tak ada peta jalan jelas mengancam terjadi alih fungsi lahan dan hutan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Dadan Kusdiana, Kepala Balitbang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan kajian penerapan B40 selesai akhir 2020. Namun, kata Dadan, karena pandemi COVID-19, Balitbang sementara tak akan uji jalan B40 seperti pada kajian penerapan B30.

“[Kajian] akan selesai akhir tahun, mungkin November kita mulai analisis lengkap dari semua. Sementara kita tidak akan uji jalan di jalan raya, kan agak sulit ya kita akan memulai, agak takut keluar. Jadi, kita mencari cara lain bagaimana ini tetap bisa berjalan,” katanya dalam kesempatan diskusi daring berbeda.

Sylvia Ayu Bethari, Ketua Tim Pengkajian B40 mengatakan, kajian penerapan B40 sampai tahap uji ketahanan 1.000 jam pada engine test bench di Laboratorium Lemigas.

Metode uji ketahanan ini, katanya, sudah mendapat persetujuan bersama dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) dan Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (Ikabi).

Saat ini, katanya, mereka uji ketahanan untuk dua mesin, mesin pertama gunakan contoh bahan bakar B40, sekarang sudah 370 jam. “Untuk engine kedua formulasi B30 dengan DPME 10% sudah 615 jam.”

Sebelum itu, Balitbang ESDM juga melakukan serangkaian kegiatan menguji B40, yakni uji karakteristik fisika-kimia formulasi bahan bakar B40 dan uji kinerja terbatas formulasi bahan bakar B40. Juga evaluasi karakteristik fisika-kimia formulasi bahan bakar B40, hingga didapatkan dua formulasi yang akan diuji lebih jauh, yakni. uji ketahanan 1.000 jam dan uji sampel pelumas.

Setelah uji ketahanan 1.000 jam selesai, tim kajian B40 akan persiapan dan uji presipitasi dan stabilitas penyimpanan.

Usai seluruh tahapan kegiatan uji selesai, kata Sylvia, mereka segera evaluasi, pelaporan, dan penyusunan rekomendasi terkait hasil kajian penerapan B40 ini.

 

Keterangan foto utama: Sawit petani. Pengembangan biodiesel bisa mengamcam terjadi alih fungsi lahan dan hutan. Salah satu upaya tekan ancaman itu, bisa dengan melibatkan petani sawit dalam rantai pasok dengan jelas. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version