Mongabay.co.id

Peraturan Daerah Diperlukan untuk Melindungi Sungai Musi

 

 

Indonesia dikenal dengan kebudayaan baharinya. Banyak peneliti sejarah, arkeologi, hingga etnobiologi, menyatakan kebudayaan bahari tersebut terbangun sejak Nusantara didiami bangsa Austronesia. Bukan hanya lautan yang membangun kebudayaan tersebut, termasuk juga sungai-sungainya.

Bahkan, jejaknya masih terbaca hingga saat ini, seperti di Sungai Musi. Namun, hingga kini belum ada peraturan daerah yang melindungi Sungai Musi dari segala kerusakan.

“Sungai Musi yang panjangnya sekitar 750 kilometer merupakan saksi terbangunnya kebudayaan bahari di Indonesia. Sebab, Sungai Musi selama berabad mampu menghubungkan wilayah pesisir dan pegunungan, yakni Bukit Barisan,” kata Dr. Husni Tamrin, budayawan Palembang, kepada Mongabay Indonesia, baru-baru ini.

Tercatat, sembilan sungai yaitu Sungai Musi, Sungai Komering, Sungai Ogan, Sungai Lematang, Sungai Rawas, Sungai Lakitan, Sungai Kelingi, Sungai Semangus, dan Sungai Batanghari Leko, yang sebagian besar airnya berasal dari wilayah Bukit Barisan.

Baca: Ketika Kaum Perempuan Tergerak Menjaga Sungai Musi

 

Perahu bidar merupakan tradisi masyarakat di sepanjang Sungai Musi yang masih dipertahankan hingga sekarang. Foto: Yudi Semai

 

Setiap sungai tersebut melahirkan berbagai komunitas atau suku, dan semuanya menyatu di Sungai Musi.

“Pertemuan berbagai suku ini yang melahirkan masyarakat awal Palembang, yang kemudian membaur dengan kelompok masyarakat dari pesisir atau juga pendatang, yang hadir melalui jalur air. Pembauran berbagai suku bangsa ini yang melahirkan masyarakat Palembang,” ujarnya.

“Jadi sangat mungkin kondisi geografis Sungai Musi melahirkan kebudayaan bahari yang puncaknya dengan munculnya Kedatuan Sriwijaya,” kata Husni.

Dikutip dari “Studi Pengelolaan Air Secara Menyeluruh Pada Wilayah Sungai Musi di Republik Indonesia” dijelaskan bahwa DAS [Daerah Aliran Musi] berasal dari tiga provinsi yakni Sumatera Selatan [96 persen], Bengkulu [3,6 persen], dan Jambi [0,4 persen].

Ini menandakan ada kemungkinan di masa lalu, ketika transportasi banyak menggunakan air, berbagai suku dari Sumatera Selatan dan Jambi juga masuk ke Sungai Musi.

Baca: Merajut dan Melestarikan Kebhinekaan Sungai Musi

 

Dua anak tampak mendayung perahu di Sungai Ogan, anak Sungai Musi. Foto Yudi Semai

 

Tradisi menjaga air

Sebagai bangsa bahari, kata Husni, tentunya adanya tradisi yang kuat antara manusia dengan sungai. Di Sumatera Selatan atau yang dikenal “Batanghari Sembilan” masih terjaga tradisi berupa “sedekah sungai” yang dilakukan secara komunal atau perorangan.

Mengapa masih ada? Selain mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan, mereka juga percaya Sungai Musi didiami berbagai makhluk hidup, termasuk makhluk halus. Misalnya “hantu banyu” atau “hantu air”.

“Hantu banyu membuat setiap orang menghormati dan menjaga etika selama di Sungai Musi, termasuk anak-anaknya,” katanya.

Husni juga menjelaskan beragam makhluk halus penunggu Sungai Musi yang dipercaya masyarakat melayu di Sumatera Selatan, seperti mambang, jerambang, jelambang, yang dikenal seperti mambang mayang terurai, mambang tali arus, mambang datuk hitam, mambang datuk merah.

“Mereka menyakini makhluk tersebut menjaga keseimbangan alam, khususnya di air,” jelasnya.

Berbagai tradisi ini, kata Husni, kian memperkuat keberadaan Kedatuan Sriwijaya dan Kerajaan Palembang yang berada di tepian Sungai Musi, sebagai buah kebudayaan bahari. Tradisi ini menunjang atau memperkuat berbagai temuan arkeologi seperti beragam prasasti, kapal, bangunan, tata kota tua, dan candi.

Baca: Perahu Bidar dan Tradisi Masyarakat di Sepanjang Sungai Musi

 

Perempuan di Sungai Musi dalam kesehariannya menggunakan perahu untuk beraktivitas. Foto: Yudi Semai

 

Perda perlindungan Sungai Musi

Dr. Yenrizal Tarmizi dari UIN Raden Fatah Palembang mengatakan, “Sudah seharusnya Pemerintah Sumatera Selatan melahirkan perda [peraturan daerah] tentang penyelamatan Sungai Musi. Jangan sampai setelah rusak seperti Sungai Citarum, baru dilakukan pembenahan. Biayanya pasti sangat tinggi,” ujarnya.

Perda ini gunanya sebagai tata kelola Sungai Musi, selain menata permukiman di tepian, keberadaan pabrik, perkebunan, juga mengatur sarana transportasi. Misalnya, apakah ada dasar hukumnya kapal-kapal tongkang menggunakan Sungai Musi sebagai jalur angkutannya.

“Ini penting, sebab batubara yang menggunakan kapal tongkang selain menganggu aktivitas masyarakat di Sungai Musi, seperti nelayan dan lainnya, juga berdampak pada persoalan lingkungan.”

Yenrizal menilai, minimnya kepedulian berbagai pihak terhadap Sungai Musi, karena mereka belum tahu cara memahami sungai ini beserta anak-anaknya. Padahal, jika membahas Sungai Musi, sama saja membicarakan peradaban Melayu di Nusantara.

“Sungai Musi wajib diselamatkan. Upaya itu harus dimulai dari kebijakan atau peraturan yang melindunginya,” paparnya.

Baca: Rumahku Tidak Mampu Meninggalkan Sungai Musi

 

Menangkul ikan, hal yang masih dilakukan masyarakat di Sungai Musi. Foto: Yudi Semai

 

Sudah lama diwacanakan

Dr. Najib Asmani, pakar lingkungan dari Universitas Sriwijaya, mengatakan peraturan daerah terkait perlindungan Sungai Musi merupakan salah satu target peraturan terkait lingkungan di Sumatera Selatan yang hendak diwujudkan.

“Perda perlindungan Sungai Musi sudah lama diwacanakan. Tapi karena banyak persoalan lingkungan lain yang lebih mendesak, seperti masalah rawa gambut, maka upaya tersebut tertunda,” kata mantan Staf Khusus Gubernur Sumatera Selatan [Sumsel] Bidang Perubahan Iklim, yang berhasil menggolkan Perda Perlindungan Gambut, kepada Mongabay Indonesia.

“Jadi saya sangat setuju jika kawan-kawan pegiat lingkungan dan budaya mengusulkan perda tersebut ke DPRD Sumsel,” katanya.

Foto: Mandi di Sungai Musi, Sehatkah?

 

Kapal Kerajaan Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terukir di Candi Borobudur. Sumber: Wikipedia Commons/MichaelJ Lowe/Atribusi-Berbagi 2.5 Generik

 

Dijelaskan Najib, di masa kepemimpinan Alex Noerdin, Sumatera Selatan telah melahirkan sejumlah peraturan daerah terkait lingkungan hidup. Selain Perda Perlindungan Gambut, juga Perda Karhutla dan Perda Pengelolaan Sampah dan Air Bersih.

Sungai Musi beserta anak-anaknya, kata Najib, sampai saat ini tetap menjadi sumber kehidupan sebagian besar masyarakat di Sumsel. Baik sebagai air bersih, pertanian, sumber pakan dan ekonomi seperti ikan, serta transportasi.

Namun, kondisinya kian hari kian memburuk akibat limbah. Mulai dari limbah industri, perkebunan, pertanian, pertambangan, limbah perkotaan, juga rumah tangga.

“Jadi memang sangat dibutuhkan peraturan perlindungan Sungai Musi, sehingga semua aktivitas yang memanfaatkan sungai ini dapat diatur atau bahkan dibatasi. Dengan begitu, kerusakan dapat diminimalisir,” kata mantan Ketua Tim Restorasi Gambut Daerah [TRGD] Sumsel.

 

 

Exit mobile version