Mongabay.co.id

Perkemahan Hutan Merdeka 2, Upaya Bersama Pemuda Selamatkan Mangrove Lantebung

 

Sekitar seratusan pemuda berkumpul di sebuah lapangan seluas lapangan sepak bola. Tenda-tenda berjejer di sekitar lapangan. Jalanan becek akibat hujan deras beberapa jam sebelumnya.

Para pemuda ini, berusia sekitar 15-21 tahun adalah anggota pencinta alam dari Makassar, Maros dan Gowa, Sulawesi Selatan. Tujuan mereka berkumpul malam itu sangat mulia, bagaimana bersatu dan bersiasat menyelamatkan mangrove Lantebung, yang mereka sebut sebagai ‘mangrove terakhir Kota Makassar’.

Kegiatan perkemahan itu mereka namai ‘Hutan Merdeka 2’, sebagai kegiatan lanjutan kegiatan tahun 2019 lalu, berlangsung selama dua hari, Sabtu – Minggu, 24-25 Oktober 2020, yang diselenggarakan di kawasan ekowisata mangrove Lantebung, Makassar, Sulsel.

“Kita namakan Hutan Merdeka karena niat awalnya untuk peringatan tujuhbelasan, cuma karena pandemi jadi kami undur ke Oktober ini, jadi kami rangkaikan dengan peringatan hari Sumpah Pemuda,” ungkap Ade Saskia, pengurus organisasi Ikatan Keluarga Lantebung, pelaksana kegiatan ini, Sabtu (24/10/2020).

Tema perkemahan ‘Selamatkan Mangrove Terakhir Kota Makassar’ dipilih punya maksud tersendiri, yaitu terkait kasus pengrusakan mangrove di kawasan itu pada April 2020 lalu.

“Kita bikin kegiatan ini untuk mengajak teman-teman bersama menjaga mangrove ini, karena masih banyak yang tidak tahu persis kasus ini, bahkan dari warga Lantebung sendiri. Jadi ada diskusi malam ini lalu dilanjutkan penanaman sekitar 5.000 mangrove jenis bakau atau rhizophora besok pagi,” katanya.

baca : Kasus Pengrusakan Mangrove di Lantebung Makassar Terus Diusut, Aktivis Harap Ada Sanksi Pidana

 

Seratusan anak muda berkumpul berkemah untuk menyuarakan penyelamatan mangrove Lantebung. Foto: Ade Saskia/Mongabay Indonesia.

 

Ade berharap kegiatan ini bisa menjadi momentum penting untuk tetap mempertahankan mangrove dari berbagai ancaman, karena keberadaannya telah sangat dirasakan oleh masyarakat setempat.

“Ayo kita sama-sama jaga ini mangrove ta karena tinggal mangrove ini yang tersisa di Makassar. Semoga ini bisa menyadarkan pemuda, masyarakat, dan pemerintah supaya lebih bisa peduli lagi.

Menurut Yusran Nurdin Massa, dari Blue Forests, keberadaan mangrove di Lantebung memang sangat penting untuk menjaga degradasi pesisir yang memang telah menjadi ancaman sejak dulu.

“Sebuah kejadian angin puting beliung tahun 1970-an menggerakkan masyarakat untuk melakukan penyelamatan pesisir dengan menanam mangrove. Tapi tidak mesti menunggu ancaman untuk melakukan penyelamatan ini,” katanya.

Mangrove di Makassar sendiri menurut catatan tahun 2018 tersisa sekitar 56,61 hektar yang tersebar dari pesisir selatan hingga utara. Hanya saja jumlahnya semakin berkurang akibat berbagai aktivitas penimbunan pribadi dan reklamasi.

“Bagian selatan sebagian besar sudah hilang akibat penimbunan dan reklamasi, sehingga yang paling strategis sekarang adalah mangrove di wilayah utara, mulai dari Bira sampai Untia perbatasan Maros. Itulah mangrove yang kemungkinan besar bisa dipertahankan,” tambahnya.

Mangrove yang tersisa ini pun masih dalam kondisi keterancaman akibat berbagai rencana reklamasi dan pembangunan rel kereta api. Apalagi dalam RTRW Makassar kawasan tersebut dimasukkan dalam kawasan reklamasi untuk pengembangan energi.

“Mangrove seluas 56,61 hektar itu bisa saja hilang juga karena ancamannya besar sekali. Apalagi rata-rata wilayah pesisir kita menjadi bagian pengembangan kawasan perkotaan, misalnya dikembangkan untuk kawasan energi, rel kereta api dan pembangunan swasta.”

baca juga : Pengrusakan Mangrove di Lantebung Makassar, Bukti Lemahnya Penegakan Hukum di Wilayah Pesisir

 

Kawasan hutan mangrove kini berkembang menjadi kawasan ekowisata dan eduwisata di Kota Makassar meskipun masih tetap mengalami keterancaman reklamasi dan pembangunan rel kereta api. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Mengapa mangrove perlu dipertahankan?

Menurut Yusran, ada ancaman yang menanti jika mangrove terus digerus, tidak hanya dari angin puting beliung dan banjir rob, tetapi juga terjadinya amblasan tanah atau land subsidence.

“Di Demak dan Semarang, karena intensitas reklamasi tinggi dan tingginya pengambilan air tanah sehingga ada ruang kosong di dalam tanah yang ditinggalkan, menyebabkan terjadinya penurunan tanah hingga 13 cm per tahun. Dampaknya terjadi banjir rob setiap hari. Kita tak ingin itu juga terjadi di Makassar. Mangrove adalah salah satu upaya untuk memitigasi dan mengendalikan ini, selain upaya pengendalian pemanfaatan tanah,” jelasnya.

Salah satu upaya strategis menyelamatkan mangrove yang tersisa saat ini adalah dengan didorong sebagai bagian Ruang Terbuka Hijau (RTH). Dengan luas 56.61 ha bisa berkontribusi sekitar 4,36 persen dari RTH Makassar.

“Kalau mangrove ditebang maka RTH bisa hilang. Jadi ini juga menjadi catatan bagi kita untuk sama-sama menyelamatkan mangrove di Makassar karena RTH Makassar sendiri masih jauh dari kondisi ideal 30 persen.”

Yusran berharap upaya penyelamatan mangrove bukan sekedar seruan semata namun dibarengi dengan aksi nyata di lapangan, khususnya dari generasi muda.

“Harus ada aksi nyata. Harus ada upaya yang dilakukan bersama supaya ancamannya bisa ditangkal, supaya jalur kereta api tidak merusak mangrove, supaya reklamasi tidak merusak mangrove. Kalau kita tidak berbuat maka ini tidak sekedar ancaman tetapi sudah merusak. Tantangannya bagaimana ancaman itu bisa hilang dan mempertahankan apa yang sudah ada.”

Yusran juga berharap upaya untuk melindungi mangrove dibarengi dengan upaya pengelolaan yang baik supaya bisa memberi dampak ekonomi bagi masyarakat yang ada di sekitarnya.

perlu dibaca : Sentuhan Teknologi dalam Pemantauan Mangrove di Nusantara

 

Sejumlah nelayan melakukan penanaman mangrove di sepanjang pesisir Lantebung, Makassar, Sulsel. Sekitar 20 ribu bibit mangrove yang ditanam hari melengkapi sekitar 80 ribu pohon mangrove yang sudah ditanam sejak 2010 lalu. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Apresiasi Walikota

Kegiatan perkemahan ini serta kisah perjuangan masyarakat Lantebung menjaga mangrove mendapat apresiasi dari Pelaksana Tugas Walikota Makassar, Rudi Jamaluddin, yang sambutannya disampaikan Kepala Seksi RTH Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar, Masri Tajuddin Ros.

Menurut Rudi, kawasan mangrove Lantebung telah mengalami perkembangan pesat, tidak sekedar melindungi kampung dari banjir dan abrasi, namun telah dikembangkan sebagai kawasan ekowisata, yang menjadi salah satu destinasi ekowisata dan eduwisata penting di Kota Makassar. Apalagi salah satu pengelola ekowisata Lantebung ini, Saraba, mendapat penghargaan Kalpataru 2020 sebagai Pengabdi Lingkungan.

“Saya sangat percaya, usaha tidak pernah mengingkari hasil. Atas pengabdian lebih dari tiga dekade, pemuda yang dulunya bermimpi sederhana telah menjadi tokoh yang menginspirasi generasi berikutnya. Dari lubuk hati yang paling dalam, atas nama Pemerintah Kota Makassar, saya mengucapkan selamat dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada bapak Saraba dan masyarakat Lantebung yang telah menorehkan tinta emas untuk Kota Makassar,” katanya

Rudi juga mengapresiasi kegiatan ini karena diinisiasi oleh generasi muda dan mendukung penuh tema kegiatan ini “Selamatkan Hutan Terakhir Kota Makassar”.

“Tema ini lahir sebagai abstraksi pikiran para pemuda Lantebung yang memiliki kegelisahan masa depan eksistensi hutan mangrove Lantebung. Tema ini juga menjelaskan tumbuhnya rasa memiliki yang melahirkan kesadaran kolektif akan pentingnya ekosistem mangrove dalam menopang kehidupan Masyarakat,” ujarnya.

Rudi bilang tema ini sekaligus panggilan terbuka kepada stakeholders, untuk bekerja kolaboratif dalam satu barisan, bersama-sama berperan aktif menjaga kelestarian kawasan, dan menumbuhkan kawasan hutan mangrove Lantebung sebagai pusat pertumbuhan baru dengan mengelaborasi kepentingan ekologi dan ekonomi.

“Tentunya kami menyambut dengan hangat dan antusias ajakan ini. Kami berkomitmen memiliki kepentingan yang sama agar pertumbuhan kota dapat berjalan seiring dengan kelestarian lingkungan dalam koridor pembangunan berkelanjutan.”

Rudi menyatakan bahwa Pemkot juga akan terus berperan aktif, membangun kemitraan dengan masyarakat, serta aktif mengajak pemangku kepentingan lainnya khususnya dunia usaha untuk berkolaborasi mengembangkan kawasan ini menjadi kawasan hutan mangrove lestari, laboratorium mangrove, pusat pendidikan lingkungan, dan destinasi wisata unggulan.

“Bagi Pemkot Makassar, kawasan hutan mangrove Lantebung adalah ikon Kota Makassar dan sebuah monumen hidup di masa depan.”

Rudi berharap kegiatan perkemahan ini menjadi agenda rutin dan nantinya bisa mengundang lebih banyak lagi pemangku kepentingan, agar tercipta ajang tukar pikiran, dan tercipta ruang kerja kreatif untuk pengembangan Lantebung dan Kota Makassar.

 

Exit mobile version