Mongabay.co.id

Etika dan Dematerialisme Ekologis

Banjir yang terjadi di Lamandau tidak hanya merendam rumah tetapi juga menimbulkan kerusakan. Foto: Dok. SOB

 

 

Masalah etik jadi salah satu tantangan keberlanjutan atas keadilan ekologis karena etika menyangkut konsistensi ideologis dan praksis. Sekitar 80% dari metode, prosedur, layanan dan produk dampak lingkungan hidup sangat ditentukan etika lingkungan hidup. Selebihnya, strategi dan tahap rancangan pembangunan.

Tak hanya dunia secara global, Indonesia juga menghadapi masalah ekologis sangat rumit, namun strategi pembangunan masih bertumpuh pada sumber daya alam sebagai penopang laju pertumbuhan. Itulah mengapa persentase dari kerusakan dan kejahatan lingkungan hidup lebih banyak oleh cara-cara legal daripada tindakan ilegal.

Tesisnya – “Jika benar bahwa manusia menggunakan sumber daya bumi lebih cepat dari pada menggantinya,” maka disitulah makna etika dapat membantu membalikkan kecenderungan ini. Dengan mengubah cara dan proses produksi dan reproduksi sistem ekonomi politik kapitalisme jadi sebuah sitem yang dapat bertindak secara adil dan berkelanjutan terhadap penguasaan tanah dan pengelolaan sumber daya alam.

 

Perubahan iklim

 Krisis Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) kemungkinan memiliki konsekunesi dramatik bagi kemajuan dan pertumbuhan dunia terhadap perubahan iklim. Para perancang ekonomi dunia sedang gelisah dengan ancaman ini. Ia diyakini sebagai akibat dari meningkatnya suhu global karena emisi (gas rumah kaca) tinggi yang dilepas ke atmosfer dampak tindakan dan aktivitas eksploitasi sumber daya alam bumi secara ugal-ugalan.

 

Upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan melalui darat di Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: BPBD Sumsel

 

Untuk pertama kalinya, selama periode 800.000 tahun, konsentrasi CO2 di atmosfer melewati 400 ppm terjadi pada Juni 2013, bahkan terus mengalami peningkatan. Pada 2018, yang tertinggi dalam tiga juta tahun tahun terakhir.Sebelas persen populasi dunia, yakni sekitar 800 juta jiwa, kini rentan terdampak perubahan iklim seperti kekeringan, banjir, gelombang panas, cuaca ekstrem, dan kenaikan permukaan laut. Bahkan, dampak itu juga menyebabkan ketimpangan, kemiskinan dan konflik global.

Dia perkirakan dana US$140 miliar per tahun untuk membuat perubahan yang dibutuhkan manusia dalam beradaptasi dengan situasi dunia yang terus memanas. Dana ini setara kurang dari 0,1% PDB global, tentu itu bukan soal angka saja. Di balik itu semua adalah masalah keadilan dan kemanusiaan.

Secara nasional, perubahan iklim diprediksi mengakibatkan penurunan ketersediaan air bersih, perubahan produktivitas tanaman, kehilangan keragaman hayati. Bahkan, berakibat pada penyakit menular, kematian, krisis pangan, destruktif migrasi, bencana ekologis, kemiskinan dan konflik struktural. Kondisi ini merupakan salah satu ancaman besar bagi pertumbuhan dan kemakmuran Indonesia yang sedang merancang keberlanjutan.

Ada pengesahan UU Cipta Kerja–lebih awal dari jadwal– tidak mempertimbangkan semua itu. Kehawatiran kalangan yang menolak UU ini, karena substansi terlalu menyederhanakan strategi pengelolaan modal manusia, alam, sosial dan fisik dengan cara menempatkan hak atas tanah, keberlanjutan hak atas lingkungan hidup, hak atas ruang hidup serta harkat atas hak para pekerja -hanya masalah administrasi perizinan untuk mengejar pertumbuhan semata.

Asas pemerataan hak, kepastian hukum, kemudahan berusaha, kebersamaan dan kemandirian pada BAB II, Pasal 2, ayat 1 dalam UU ini nampak inklusif tetapi tereduksi sekadar kesempatan berusaha bagi masyarakat. Sedang akses seluas-luas penguasaan lebih utama kepada kepentingan modal besar.

Babonnya, adalah liberalisasi. Temanya, “kerja atau hak untuk bekerja,” namun bukan hak atas pekerjaan dan hak atas sumber-sumber agraria, perizinan bagi UKM dan Koperasi tetapi bukan hak atas kedaulatan ekonomi kelas bawah, serta genjot pertumbuhan minus pemerataan.

 

Begini tampilan tepian pantai kala ada tambang nikel. Foto: Jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

Etika lingkungan hidup

Dalam etika lingkungan hidup, manusia adalah bagian dari masyarakat dan makhluk hidup masuk dalam komponen ekosistem lingkungan. Bagian ini sangat penting dianggap sebagai relasi fungsional dari kehidupan bumi secara utuh.

Etika lingkungan hidup harus dilihat dalam tiga konteks saling berkaitan, pertama, etika lingkungan hidup petunjuk atau arah perilaku praktis manusia dalam mengusahakan terwujudnya keadilan lingkungan hidup. Etika lingkungan hidup, tak saja mengimbangi hak dan kewajiban terhadap lingkungan hidup, bahkan membatasi hak dan perilaku serta upaya mengendalikan berbagai kegiatan agar tetap dalam batas kewajaran pemanfaatan lingkungan hidup.

Kedua, alam berevolusi secara natural, disitulah alam memberikan hak esensialnya pada manusia untuk melindungi. Alam menggunakan hukum positivisme secara teratur dan pasti, suksesi dalam alam itulah peristiwa etis-nya, namun tindakan atau intervensi destruktif pembangunan terhadap alam akan mengubah etika alam jadi ancaman destruktif terhadap kehidupan manusia.

Ketiga, manusia dan sumber daya alam secara etis memiliki hak atas masa depan. Masa depan itu tidak hanya menyangkut generasi, juga ada hak bagi generasi datang atas penikmatan lingkungan hidup yang aman, baik, bersih, sehat termasuk berkelanjutan bagi generasi ke generasi.

Titik tekan etika lingkungan hidup adalah relasi moral, struktural dan material dalam sistim ekonomi politik dan sosial budaya mengenai semua kehidupan alam semesta kini dan generasi depan.

 

 

Dematerialisme ekologis

Pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan menjadi slogan semua dunia dalam menghadapi krisis iklim. Keberlanjutan berarti menawarkan peluang generasi berikutnya setidaknya sebaik yang tersedia pada generasi saat ini. Dengan asumsi, mereka berperilaku serupa dengan generasi berikutnya agar regenari ekosistem bumi berlangsung dengan aman dan damai.

Penekanan pada keberlanjutan harus dibaca sebagai kerapuhan dari strategi pembangunan sebelumnya, ini mencerminkan agar suatu upaya radikal harus ditempuh dalam menghadapi krisis di masa depan termasuk risiko besar perubahan iklim dan kerusakan lingkungan hidup.

Peluang bagi generasi mendatang ditentukan aset yang mereka warisi dari generasi sekarang. Terutama, modal fisik, manusia, alam dan sosial. Kesejahteraan masa depan akan dibentuk oleh konstruksi aset-aset ini. Disinilah bagaimana komitmen terhadap keberlanjutan akan mendorong inovasi yang adil (justice innovation).

Dematerialisasi ekologis adalah suatu upaya memanfaatkan sumber daya bumi dengan hemat melalui cara-cara yang baik dan bermoral, termasuk membatasi secara radikal kepemilikan besar pada segelintir orang atas sumber daya bumi.

Perkembangan baru dunia harus makin menyadari, bahwa kemerosotan modal alam dan tantangan seputar modal sosial karena ketimpangan penguasaan tidak saja antar orang juga antar negara.

Strategi pembangunan harus berada dalam panggung utama. Sistem kapitalisme yang menggunakan sumber daya alam berbasis anarkisme produksi dan konsumsi semata-mata untuk profit harus diakhiri. Kemudian mengganti dengan suatu sistem yang menempatkan produksi dan konsumsi sumber daya alam berbasis pada social needs.

 

*Penulis adalah aktivis HAM dan Lingkungan Hidup dan penulis buku: Ecocide: politik kejahatan lingkungan hidup dan pelanggaran hak asasi manusia. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Keterangan foto utama: Banjir yang terjadi di Lamandau tidak hanya merendam rumah tetapi juga menimbulkan kerusakan. Foto: Dok. SOB

Lubang tambang batubara di wilayah DAS Air Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Foto: Dok. Genesis

 

 

Exit mobile version