Mongabay.co.id

Sampai Kapan Jerat Pemburu Melukai Satwa Liar Dilindungi?

Bayi beruang madu. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Jerat yang dipasang pemburu di hutan Kawasan Ekosistem Leuser [KEL], Provinsi Aceh, kembali melukai satwa liar. Kasus terbaru adalah seekor anak beruang madu yang menjadi korban di Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah, pada 22 Oktober 2020.

Kepala Seksi Wilayah I BKSDA Aceh, Kamarudzaman mengatakan, saat ditemukan anak beruang tersebut tergantung, kaki di atas dan kepala di bawah. Kakinya terlilit jerat.

“Anak beruang madu betina itu berusia sekitar tiga tahun. Satwa dilindungi tersebut mengalami luka pada bagian kuku,” ujarnya, baru-baru ini.

Beruang madu [Helarctos malayanus] merupakan satwa liar dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan juga Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

Baca: Jerat Pemburu Kembali Lukai Harimau Sumatera

 

Bayi beruang madu. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Beberapa hari sebelumnya, pada 18 Oktober 2020, BKSDA Aceh bersama Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser [BBTNGL], Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah V Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh, dibantu tim dari Forum Konservasi Leuser [FKL] dan WCS, dan Polsek Terangun, Kabupaten Gayo Lues, juga melepaskan satu individu harimau sumatera yang terkena jerat. Lokasinya di Desa Malelang Jaya, Kecamatan Terangun, Kabupaten Gayo Lues.

“Harimau tersebut terjerat di kawasan hutan yang masuk areal penggunaan lain, dekat Hutan Lindung Terangun,” terang Kepala BKSDA Aceh, Agus Irianto.

Agus mengatakan, saat ditemukan, jerat kawat telah menggulung leher, dada, dan punggung harimau yang diperkirakan berusia 2-3 tahun itu. “Harimau itu belum dilepasliarkan kembali ke habitatnya karena lukanya belum benar-benar sembuh.”

Baca: Kaki Anak Beruang Ini Diamputasi Akibat Jerat Babi

 

Kaki beruang madu yang kena jerat di Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah, pada 22 Oktober 2020. Foto: Dok. BKSDA Aceh

 

Koordinator Perlindungan Satwa Liar Forum Konservasi Leuser [FKL] Dedi Yansyah mengatakan, hingga saat ini tim patroli FKL bersama lembaga pemerintah masih menemukan dan membongkar jerat yang dipasang pemburu di hutan.

“Umumnya, yang sering ditemukan itu jerat babi, rusa, harimau serta perangkap yang terbuat dari kawat baja atau tali nilon. Biasanya, dipasang di pinggir hutan atau hutan dekat permukiman penduduk yang mudah diakses karena ada jalan.”

Dedi mengatakan, intensitas temuan jerat tidak menentu. Ada saatnya sedikit, tapi kadang banyak ditemukan.

“Kami menduga, ketika banyak jerat ditemukan di hutan, ada permintaan satwa tertentu. Dengan begitu, pemburu mulai banyak memasangnya.”

Dedi menambahkan, saat ini FKL memiliki 28 tim patroli yang bekerja di KEL. Jumlah ini dinilai masih sangat kurang, belum mampu mengawasi luas KEL di Aceh yang mencapai 2,25 juta hektar.

“Seharusnya dalam 100 ribu hektar kawasan hutan, jumlah tim yang berpatroli minimal empat unit. Luas seluruh hutan Aceh mencapai 3,5 juta hektar, tentu jumlah tim patroli harus diperbanyak,” ujarnya.

Baca: 3 Tahun Penjara, Hukuman untuk Penjual Kulit Harimau Sumatera di Aceh Timur

 

Kasus beruang kena jerat babi yang dipasang pemburu, hingga harus diamputasi, terjadi juga di Aceh pada 11 Juni 2019. Foto: BKSDA Aceh

 

Masalah utama 

Direktur Flora Fauna Aceh, Dewa Gumay mengatakan, jerat, racun, dan kabel yang dialiri listrik tegangan tinggi masih menjadi masalah utama matinya satwa liar dilindungi di Aceh. Harus ditangani serius.

Dia menuturkan, konflik satwa liar dengan masyarakat telah dimanfaatkan pemburu untuk melakukan kejahatannya. “Masalah ini harus ditindaklanjuti, karena populasi satwa dilindungi di Aceh semakin berkurang akibat konflik maupun diburu.”

Dewa menambahkan, untuk masalah jerat, racun dan kabel listrik bertegangan tinggi, di Aceh sudah ada aturan yang memasukkannya dalam perkara pidana.

“Qanun atau Peraturan Daerah Aceh Nomor 11 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Satwa Liar telah mengatur larangan jerat, racun dan kegiatan lain yang membunuh atau melukai satwa liar dilindungi. Kegiatan tersebut masuk ranah pidana.”

 

Shasha, anak beruang madu betina yang kena jerat babi di kebun liar kawasan Hutan Produksi Terbatas [HPT] Bukit Padas, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu, Senin [15/7/2019]. Foto: BKSDA Bengkulu

 

Pasal 31 Qanun menjelaskan, dalam rangka perlindungan satwa liar, setiap orang dilarang merencanakan atau melakukan: menangkap, melukai, menjerat, meracun, membunuh, memiliki, memelihara, mengangkut, atau memperdagangkan satwa liar yang dilindungi dalam keadaan hidup, menyimpan, memiliki, mengangkut, dan memperdagangkan satwa liar atau bagian tubuh satwa liar yang dilindungi dalam keadaan mati.

Pasal 32 mengatur, dalam rangka perlindungan habitat satwa liar, setiap orang dilarang mengganggu dan merusak habitat satwa liar, melakukan kegiatan yang dapat merusak atau mengancam plasma nutfah, mempergunakan dan memasang jerat dari jenis bahan yang dapat mengancam satwa liar yang dilindungi, meletakkan racun, atau bahan yang membahayakan kehidupan satwa liar yang dilindungi.

Serta, melakukan kegiatan atau usaha yang berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis pada koridor atau habitat satwa liar, mencemari sumber-sumber air dan atau sumber makanan di habitat satwa liar, dan melanggar aturan loka atau kearifan lokal terkait habitat atau satwa liar.

“Tapi aturan ini belum dilaksanakan di Aceh, bahkan rencana aksi Qanun tentang pengelolaan satwa liar belum dibicarakan,” ungkapnya.

Dewa juga mengatakan, penegakan hukum terkait membunuh atau melukai satwa liar pun belum berjalan baik. Jika pelaku ditangkap, itu hanya yang bekerja di lapangan, sementara yang membiayai atau pembeli besarnya tidak pernah terbongkar hingga saat ini.

“Pemodal atau pembeli satwa liar harus ditangkap agar jaringan kejahatan satwa liar dapat dibongkar,” tutupnya.

 

 

Exit mobile version