Mongabay.co.id

Orang Pahou Hidup Sulit Kala Ada Perusahaan Sawit

Kondisi rumah warga di Baribi. Untuk mendapatkan penghasilan, mereka ada yang bikin batako. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Orang Pahou Pinatali, rumpun Suku Kaili Uma di Sulawesi Barat, hidup dari berladang dan tanaman pangan yang tersedia dari hutan. Begitu kondisi sampai 1987, sebelum perusahaan sawit datang.

Ingatan Samsal mengenai masa kecil masih begitu kuat. Berladang, bagi Samsal menyenangkan, apalagi jelang panen. Saban hari, Samsal ikut berladang pamannya, Masei di Balanti, sisi timur pusat Baras.

Mereka pemukim di Pesisir Baras, Kabupaten Pasangkayu sejak dulu. Kala itu, Masei sebagai tetua. Samsal tinggal dengan Masei, sejak ayahnya meninggal dunia.

Baca juga: Nasib Warga Merbau dan Rukam yang Hidup di Sekitar Kebun Sawit Perusahaan

Pada pertengahan 1987, padi-padi mulai merunduk, menguning tanda panen sebentar lagi.

Sebelum sempat panen, buldozer perusahaan datang ‘menyerbu.’ Tak sebatang pun bisa mereka selamatkan. “Saya ingat persis, digusur begitu saja,” kata Samsal. “Alasannya jadi tempat turun helikopter menteri.”

Hati Masei mendidih. Parang sudah terhunus. Samsal berusaha menenangkan. Dia tak ingin tebasan Masei berbuah penjara.

Sebagai ganti, kepala desa saat itu menyerahkan dua karung beras dan duit Rp70.000 kepada Masei.

Menurut perusahaan, kala itu mereka mengganti rugi. “Tapi, meminta tanah diganti rugi, sama sekali nol!” ketus Samsal.

Baca juga: Fokus Liputan: Ironi Sawit di Negeri Giman (Bagian 1)

Waktu itu, Masei tak tahu, kalau pemerintah telah melepas lahan garapan orang-orang Pahou ke tangan perusahaan sawit, PT Unggul Widya Teknologi Lestari (UWTL), anak usaha Widya Corporation.

Masei dan kawan-kawan pindah berladang di Tamampode, bekas pembalakan kayu PT Sulwood. Belum lama, perusahaan mengusir kembali. “Ini HGU (hak guna usaha). Jangan disini,” kata Samsal mengenang.

Pengusiran itu memaksa Masei dan warga lain pindah ke Towoni, kamp pekerja Sulwood, sekitar 1990.

Towoni—kala itu—wilayah berbukit dengan hutan lebat, beberapa kilometer dari Balanti.

Baca juga: Kala Pala dan Cengkih Warga Halmahera Tengah Terancam Sawit

Di Towoni, jasad Pontu, ayah Masei, satu tetua Pahou, dimakamkan di punggung bukit selaras kantor desa. Nisan berupa sepucuk meriam hasil rampasan orang Pahou dari prajurit Belanda.

Di Towoni, orang-orang Pahou kembali berladang dan berkebun cukup lama. Perusahaan kembali melarang. Alasannya, lahan itu masuk HGU.

Orang-orang Pahou lalu membuka hutan, menyingkir lebih dalam di tepi Sungai To’o—kini masuk Desa Towoni. Wilayah itu menjadi lahan garapan baru. Kelak, daerah itu berubah nama menjadi Baribi. Orang-orang Pahou yang meninggal, dikubur di sini.

Baca juga: Nasib Orang Bunggu, Sawit Datang, Hutan dan Sagu Hilang

Meski sempit, Baribi bagi Samsal, suatu berkah. Sagu melimpah. Sungai begitu kaya, dialiri air bersih dengan ribuan ikan. Di sebagian tempat, mereka mengembala lepas kerbau.

Di hamparan lain, PT Agribaras, juga usaha UWTL, menanam kakao.

Warga kembali cocok tanam. Ada kakao, pisang, durian, langsat, dan kelapa. Di sela kebun, mereka bangun pondok sebagai tempat istirahat nyaman ketika berkebun.

Kakao pun berbuah. Hasil kakao bikin hidup warga bercukupan. Mereka bisa sekolahkan anak, renovasi rumah, beli kendaraan dan lain-lain.

Lagi-lagi, perusahaan melarang warga menggarap lahan itu. Warga jengah. Perlawanan pun muncul.

“Bagaimanapun, mati atau hidup, kita tetap bertahan,” kenang Samsal. “Hingga Towoni—sampai terbentuk menjadi desa, kita miliki sampai sekarang.”

 


***

Tigapuluh tahun setelah itu, usia Samsal sudah 46 tahun. Dia tinggal di Bambaloka, Baras, Sulawesi Barat. Pada 2016, Masei meninggal dunia.

Kondisi sekitar sudah berubah. Separuh lebih wilayah Baras, jadi kebun sawit. Udara yang sebelumnya sejuk, berubah panas. Bangunan modern, berderet menghimpit rumah panggung yang masih kayu. Jalan sudah teraspal. Kendaraan dari dan menuju Palu melesat kencang.

Ketika ke Balanti, lahan Masei sudah jadi hamparan bibit sawit, milik UWTL. Berseberangan, belasan tanaman sawit menjulang tinggi. Di bawah, ada tugu dengan reca buah sawit, terpagar dan terurus bak taman. Di sinilah, penanaman perdana terjadi, 9 Juli 1987, oleh Menteri Muda Tanaman Keras, Hasjrul Harahap.

Harahap adalah Menteri Kehutanan Kabinet Pembangunan V, era Orde Baru Soeharto, penggagas hak pengelolaan hutan.

Di prasasti itu, ada sembilan nama orang dengan ukiran berkelir emas. Di bawah nama Harahap, ada Tjiungwanara Njoman, sang pendiri UWTL. Ada Zainal Basri Palaguna, bekas Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel), provinsi yang memangku Pasangkayu sebelum 2004.

UWTL mengola kebun sawit di Baras, melalui investasi penanaman modal dalam negeri, dengan skema PIR-trans, program perkebunan inti rakyat untuk menyelaraskan program transmigrasi di Indonesia. Salah tu bertujuan membuka daerah terisolir. Para transmigran itu datang dari Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Timur.

Hingga kini, UWTL menguasai 8.823,33 hektar, atau sekitar 31% dari seluruh Kecamatan Baras. Sebagian kawasan dari pelepasan kawasan hutan produksi konversi (HPK), sebelumnya hak pengusahaan hutan (HPH). Sedangkan kebun plasma seluas 6.140 hektardigarap 3.070 keluarga.

 

Papan peringatan PT Unggul di salah satu kebun sawit perusahaan ini. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Sengketa lahan

Pada 2003, perusahaan meluaskan kebun sawit di Baribi. Agribaras, juga mengganti kakao jadi sawit, karena serangan hama. Kakao, satu-satunya penghasilan utama orang Pahou dibabat bertahap. Tiap penebangan aparat ikut mengawal.

“Kami minta ganti rugi, tidak ada sama sekali,” kata Hukma, tetua, pewaris Masei, sang ayah.

Di sudut lain Baras, penggusuran juga terjadi. Di Sarudu, Alex dan pemilik kebun pasrah melihat kakao mereka dirusak.

“Dulu dikawal aparat. Masih Brimob,” kata Anna, istri Alex. Mereka perantau asal Pinrang, Sulsel. Mereka beli tanah dari warga. Yang tertinggal, hanyalah surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah (sporadik), yang disimpan bagai harta berharga.

Sekitar 2005, warga mengadu ke pemerintah. Pemerintah bilang, bawa ke pengadilan. Orang Pahou lalu menggugat Unggul.

Ketika sidang bergulir, ada tim yang turun mengecek lahan. Hukma mengklaim, tim menyatakan lahan itu bukan bagian konsesi. Tapi proses gugatan itu tak dimenangkan hingga kasasi.

Sejak itu, UWTL terus meluaskan kebun. Pondok dan sagu warga bersih, begitu juga kakao. Di Baribi, perusahaan tidak menggusur kuburan.

Pada 2012, kata Hukma, warga mengadukan penebangan kakao ke polisi, tetapi ditolak dengan alasan kurang bukti.

Pada 2014, orang Pahou menduduki Baribi. Mereka minta, perusahaan mengembalikan lahan seluas 1.050 hektar. Kelompok Alex dari Sarudu ikutan. Di lapangan, mereka saling menguatkan.

Tahun itu, warga menutup akses masuk Baribi. Mereka melintangkan balok dan batang kayu besar. Tiap hari mereka berjaga dengan parang panjang. Warga melarang perusahaan masuk memanen.

“Pokoknya tidak boleh panen. Ini tanah nenek leluhur kami,” kata Muh Taufiq, belakangan bergabung, mempertahankan kebun garapan orangtuanya yang kena gusur.

Di Baribi, warga membangun pondok kayu. Ratusan orang tinggal seadanya. Hari-hari mereka penuh kecemasan.

Pada Februari 2015, Bupati Mamuju Utara (Matra) Agus Ambo Djiwa, berkunjung ke Baribi. Kali pertama kunjungan berujung ricuh. Pemerintah provinsi bentuk tim, tetapi, kata Taufiq, semua berakhir tanpa jawaban pasti.

Perlawanan warga berlanjut, meskipun begitu pada 2015 perusahaan boleh memanen kembali. Dengan kesepakatan, perusahaan memanen di pagi hari hingga siang, warga setelah itu.

Selang dua tahun, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) menggelar rapat kordinasi bersama Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan, di Pasangkayu.

Mongabay berupaya mengkonfirmasi hasil rakor itu, melalui surat permohonan wawancara ke Dirjen Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah ATR/BPN, pada 18 Agustus. Hingga kini, surat itu belum berbalas.

“Info terakhir (surat) masih di Pak Dirjen. Belum ada arahan,” kata Kepala Subbagian Pemberitaan, Publikasi dan Media Center Rizki Agung Nugroho, via WhatsApp.

 

Makam Pontu, tetua adat Pahou di Towoni. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Derita tiada akhir

Perjuangan belum ada titik terang, membuat sebagian warga Baribi lelah. Pada 2018, beberapa warga menyerah dan berhenti berjuang. Samsal jatuh sakit.

“Kembali dari rumah sakit, ada kabar teman, bahwa di sini, yang selama ini kita klaim, habis (dirusak),” kata Samsal.

Samsal naik pitam. “Saya marah ke mandor, dia biang keroknya. Membawa preman masuk. Akhirnya, saya tempeleng.”

Aksi Samsal berbuntut penjara. Samsal mengakui, menempeleng itu salah di mata hukum. Hukma yang hanya melerai juga diciduk. “Tuduhan pemukulan. Padahal melerai,” kata Hukma.

Dua orang itu meringkuk di penjara, bersama warga yang diduga terlibat. Samsal vonis setahun lebih, Hukma 10 bulan. Di penjara, mereka bertemu orang-orang bernasib serupa. Mereka saling menyemangati.

Bagi warga yang berjuang, Samsal dan Hukma, adalah pemimpin gerakan. Tanpa dua saudara itu, mereka kehilangan keberanian. Semangat warga menyusut.

Mei 2018, perusahaan memutus jalur warga. Alasannya, untuk meminimalisir pencurian buah. Warga pasrah melihat eksavator, menggali lubang di jalan itu. Polisi mengawal. Yang berseragam hitam menenteng AK-47. Kata warga, lubang itu digali sedalam tiga meter, lebar sekitar lima meter.

Warga tak bisa menghalau. Nyali mereka benar-benar menciut. Taufiq memberanikan diri. Modal kamera tangan, dia merekam pemutusan jalan itu. Video itu dia beri ke wartawan dan tayang di televisi swasta.

Akhirnya, Samsal dan Hukma bebas. Mereka tak berhenti melawan. Penjara menguatkan mereka.

Baribi, terletak beberapa kilometer dari pusat Baras. Di Baribi udara panas dan lengket. Di sini, tinggal 30-an keluarga. Yang bertahan dan bangun rumah pondok berdinding papan, beratap rumbia. Rumah mereka berderet mengikuti sempadan jalan perusahaan. Dapur, ruang tidur, dan beranda satu bangunan. Ketika malam, warga diterangi listrik genset.

Kehidupan warga di Baribi sungguh mengiris hati. Kehidupan sekarang tak menjamin dapur mereka terus berasap. “Jeleknya tidak makan sudah. Apa habis cokelat ditebang,” kata Hukma.

Puluhan meter dari pondok Hukma, Sungai To’o meliuk dan keruh. Menurut warga, ikan-ikan berkurang sejak ada kebun sawit di sekitaran sungai. Warga takut mengkonsumsi air.

Di sungai ini, warga mandi, cuci dan kakus. Mereka menjernihkan air itu melalui ember biopori. “Itu nanti kami masak untuk minum,” kata Ase, perempuan usia 40-an tahun.

Juli lalu Polisi menangkap Imran, anak lelaki Samsal, dengan tuduhan mengancam orang perusahaan. Saya melihat video yang merekam awal mula kasus itu.

Sebelum kejadian, warga memblokir akses perusahaan mau panen, di jembatan Baribi. Depan mereka, kata Samsal, orang perusahaan berdiri. Sebagian memegang parang, sebagian tidak. Beberapa merekam pakai gawai. Polisi menengahi.

 

Anna dan Alex. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Warga Baribi menyebut, sebagian dari mereka adalah pansus, sebutan bagi orang-orang sipil yang direkrut perusahaan untuk pengamanan kebun.

Pemblokiran itu, kata Samsal, untuk menghalau pansus, terlibat dalam mediasi. Sebelumnya, perusahaan melarang warga Baribi melintasi jalan perusahaan. Inilah alasan mereka mediasi. “Tapi bukan itu yang terjadi kemarin,” kata Samsal.

“Dipaksakan preman dengan mengancam masuk menyaksikan.”

Ketika preman yang disebut Samsal melewati palang, video itu berhenti. Video selanjutnya, situasi berubah kacau. Orang saling kejar-kejaran. “Itulah terjadi selisih paham antara Imran dengan [Menyebut nama preman],” tutur Samsal.

“Imran saat itu, kasihan lihat adeknya dipukul tangannya, Imran khilaf. Mencabut parang dan mengancam (menodong leher preman). Inilah yang menjerat anak saya.”

Imran dibekuk polisi setelah kejadian. Ini kali kedua Imran terjerat hukum. Imran kena sangkaan pengancaman. “Sampai sekarang saya tidak bisa ketemu, karena Corona.”

Menurut Samsal, kondisi seperti itu merupakan upaya perusahaan memancing warga berbuat masalah. Perusahaan menampik tuduhan itu. “Ada bukti dan saksi. Kami laporkan ke pihak berwajib dengan segala bukti foto pengancaman dan hendak menyembelih leher karyawan UWTL,” kata Kuasa Direksi UWTL, Muhtar Tanong melalui keterangan tertulis.

“Kami sangat menghormati proses hukum agar kebenaran ditegakkan sesuai ketentuan hukum.”

 

 

Sungai To’o di Baribi. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

***

Entah sampai kapan, konflik lahan ini ada penyelesaian. Muhtar bilang, perusahaan punya langkah dan prinsip. “Siapa yang mendalilkan dia yang harus membuktikan.”

Bagi perusahaan, putusan pengadilan membuktikan UWTL resmi atas Baribi.

Apakah warga Baribi benar di dalam konsesi? “Itu yang kita mau tahu,” kata Hukma. “Kalau memang dalam HGU, ini hari saya tahu, ini hari saya mundur.”

Agung Setyawan, pengkampanye Forest Watch Indonesia, mengatakan, kalau pemerintah membuka informasi HGU dengan jelas, upaya penyelesaian konflik agraria tidak berlarut. “Permasalahan tumpang tindih perizinan, kami yakin cepat terselesaikan.”

 

Ladang punah

Dulu, kala panen tiba, Orang Pahou menggelar serangkaian ritual adat, selama tujuh hari. Banyak hal mereka siapkan, termasuk persembahan manusia. Dengan mengutus, menculik pemuda dari kampung sebelah.

Ketika mereka memeluk agama samawi, persembahan manusia berganti kerbau. Proses ritual tidak banyak berubah.

Cara berladang orang Pahou nomaden. Lepas panen, buka lahan. Belakangan, ketika kakao merajai komoditi ekspor, warga menanam di bekas ladang.

Ketika sawit datang, lahan berladang menipis. Kerbau-kerbau—yang jadi unsur wajib ritual—tak ada lagi. Memasuki 2000, kata Samsal, praktik berladang benar-benar punah.

“Tidak bisa mi (juga) jadi padi begitu masuk sawit dan setiap berkebun, diancam bahwa itu HGU.”

Sekarang, ritual itu dilakukan di rumah saban tiga bulan atau ketika hari raya agama. Merapal doa-doa dan menyembelih ayam.

Orang-orang Pahou yang saya temui, mungkin generasi terakhir yang mengenali adat yang tengah di ambang kepunahan ini. Perusahaan juga tak mengakui keberadaan mereka.

“Kampung terdalam yang kami dapati adalah Kopohu, dan eksistensi sekarang masih ada dan sudah berasimilasi dengan masyarakat pendatang,” kata Muhtar.

Bagi perusahaan, kelompok Hukma adalah perambah dan encuri sawit perusahaan. “Perambah Baribi sangat jelas berasal dari mana, kapan merambahnya, siapa yang menyuruh dan lokasi yang dirambah adalah HGU dan tanaman UWTL,” kata Muhtar.

Dari mana? Kapan merambah? Siapa yang menyuruh? Muhtar tak menjawab pertanyaan itu. Pesan WhatsApp yang saya kirim hanya dia baca.

Rencana, Hukma bersama warga lain hendak mendorong pengakuan adat oleh pemerintah kabupaten. Hukma bilang, mereka perlu pendampingan. Untuk menyambung hidup, warga memanen sawit di lahan yang sebelumnya tempat orangtua mereka berkebun, kini lahan UWTL.

Bagaimana nasib orang Pahou ke depan? Akankah sirnanya budaya berladang  di sana bakal merembet pada kepunahan komunitas adat ini?

 

 

Keterangan foto utama:  Kondisi rumah warga di Baribi. Untuk mendapatkan penghasilan, mereka ada yang bikin batako. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version