Warga Desa Masure, Peniti, Damuli dan Banemo, selama ini hidup tenang dengan bertani antara lain, pala dan cengkih. Namun, belakangan mereka resah kala Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, memberikan izin perkebunan sawit kepada PT Manggala Rimba Sejahtera. Kebun mereka yang berada di kawasan hutan adat terancam.
Warga menyatakan, pemerintah dan perusahaan tak ada sosialisasi. Lebih parah, lokasi kebun sawit bakal mengambil lahan adat yang sudah menjadi kebun pala dan cengkih.
Masyarakat adat di tiga kecamatanpun, yakni, Patani Barat, Patani Utara dan Patani Timur, tegas menolak kehadiran perusahan sawit yang bakal menguasai hutan adat seluas 11.870 hektar ini.
Penolakan itu, diikuti pemasangan plang berisi tulisan “Hutan Adat Bukan Hutan Negara” berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi 35. Mereka melayangkan 15 tuntutan kepada Pemerintah dan DPRD Halmahera Tengah guna membatalkan izin perusahaan sawit ini.
Kementerian Kehutanan langsung memasang patok diatas kebun warga. Meskipun informasi petugas Kemenhut, patok bukan untuk perusahaan sawit tetapi batas Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, warga tak yakin.
Nasar Jumat, tokoh masyarakat Desa Peniti lewat rilis yang disampaikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara (AMAN Malut) mengatakan, petugas langsung memasang patok di kebun warga. Katanya, patok batas kabupaten dan perluasan desa,” kata Nasar Jumat, tokoh masyarakat Desa Peniti.
Mereka khawatir karena kebun sawit ini mengancam kehidupan dan menghilangkan sumber pencaharian yang sudah dikelola turun-temurun.
“Pala dan cengkih itu menghidupkan kami selama ini. Dari situ kami makan setiap saat, bisa sekolahkan anak, bisa bangun rumah, bisa naik haji, bukan sawit. Jadi kalau pemerintah mau menggantikan dengan sawit, itu akan membuat kami kehilangan segala yang dibangun selama ini,” kata Bakri Sanun, warga Masure.
Hutan bakal menjadi perkebunan sawit itu berisi puluhan ribu pohon pala dan cengkih. Dua produk ini sudah menjadi identitas masyarakat adat setempat. Sekali panen, mereka bisa menghasilkan uang sekitar Rp10 juta.
Penolakan warga tampaknya masih belum dianggap pemerintah daerah. Pada Agustus 2014, seperti dikutip dari Malut Post, Wahab Samad, kepala Dinas Kehutanan Halteng mengatakan, investasi sawit di Patani akan membawa manfaat kepada masyarakat. “Walaupun masyarakat menolak, investasi ini tetap jalan di Patani,”katanya.
Menurut dia, investasi itu bermanfaat ekonomi karena pengelolaan diserahkan kepada masyarakat. “Jadi manfaat sangat besar bagi masyarakat karena sawit dikelola masyarakat dan dijual ulang ke perusahaan.” Yang dimaksud Wahab, ini sistem plasma yang banyak bermasalah di berbagai daerah. Dia berjanji kebun warga akan dilindungi alias tak digusur.
Tuntutan Masyarakat Adat Tiga Kecamatan di Halmahera Tengah yang tergabung dalam Solidaritas Masyarakat Halteng Menolak Sawit di Patani
1.Menolak tegas pembukaan lahan untuk perkebunan sawit. 2.Meminta Bupati dan DPRD membatalkan izin pembukaan kebun sawit di Patani Barat. 3.Meminta Pemkab dan DPRD menertibkan izin pengelolaan hutan di Kecamatan Patani Barat. 4.Mendesak Pemkab dan DPRD mengakui hutan adat dan menghormati hak-hak masyarakat adat Banemo, Peniti, Damoli dan Masure. 5.Meminta Pemkab dan DPRD membangun jalan produksi untuk mempermudah akses masyarakat ke kebun. 6.Berdasarkan aspirasi masyarakat, kami menolak izin PT. Manggala Rimba Sejahterah (MRS) yang akan beroperasi di Desa Masure, Peniti, Damuli. 7.Bahwa lahan di konsesi adalah perkebunan masyarakat yang sudah dimanfaatkan sejak lama. 8.Kami hidup dengan hasil pala, cengkih, kopra, coklat, kelapa dan hasil kebun lain. 9.Kami bisa menyekolahkan anak mejadi sarjana dari hasil perkebunan Pala bukan hasil dari kelapa sawit. 10.Lahan tidak cocok untuk perkebunan sawit, karena banyak gunung, tebing, dan bebatuan. 11.Kami tidak mau banjir, erosi, pencemaran lingkungan, krisis air bersih dan lain-lain. 12.Masyarakat Peniti dan Damuli menolak perusahaan sawit karena masyarakat punya kehidupan bergantung, dari hutan. 13.Masyarakat Desa Peniti-Damuli menolak dengan sungguh-sungguh karena khawatir merusak dan menghancurkan hutan, hingga kami tidak bisa lagi berkebun. 14.Kami masyarakat Peniti-Damuli menolak perusahaan karena akan mematikan mata air. 15.Apabila perusahaan memasuki hutan yang selama ini masyarakat Peniti-Damuli jaga dan rawat, maka kami siap nyawa menjadi taruhan. |