Mongabay.co.id

Rembug Pesisir Bahas Kepemilikan Sumber Daya Nelayan. Apa Masalahnya?

 

Perkumpulan Pikul, sebuah LSM di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) menyelenggarakan Rembug Pesisir via daring bertema ‘Ketika Hak Kepemilikan Sumber Daya Nelayan Jadi Pembicaraan’ pada Selasa (27/10/2020).

Rembug pesisir ini diikuti perwakilan stakeholder seperti nelayan di pesisir Kota Kupang, nelayan Adonara Barat Kabupaten Flores Timur, organisasi Kesatuan Nelayan Tradisisonal Indonesia (KNTI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Persaudaraan Perempuan Nelayan Indoensia (PPNI), akademisi dan masyarakat NTT.

Perkumpulan Pikul menyebutkan berbagai persoalan masih dialami nelayan di NTT terkait persaingan wilayah tangkap dengan nelayan skala besar yang menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan serta harga hasil tangkapan yang tidak pasti.

Project Manager Rights To Food Perkumpulan Pikul, Andry Ratumakin menyebutkan nelayan juga masih bergelut dengan hutang, akses informasi publik yang minim, perizinan yang dirasa sulit dan menyita banyak waktu serta sulitnya pemasaran.

Andry menyebutkan nelayan di NTT juga masih menghadapi masalah asuransi nelayan, terganggu dan tertutupnya akses nelayan atas ruang penghidupan di laut akibat privatisasi serta pencemaran pesisir dan laut.

“Nelayan di NTT masih berhadapan dengan pembangunan infrastruktur yang merusak ekosistem dan mengabaikan kepentingan nelayan serta minimnya partisipasi nelayan atas berbagai kebijakan dan program pemerintah,” sebutnya.

baca : Nelayan NTT Masih Miskin, Apa Penyebabnya?

 

Kapal Pole and Line (Huhate) milik nelayan desa Pemana kecamatan Alok Timur kabupaten Sikka yang berbobot 30 GT ke atas. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Kendala Privatisasi

Belajar dari studi nelayan di pesisir Bolok Kota Kupang yang dilakukan oleh Perkumpulan Pikul mengenai privatisasi, sejak ada PT TOM dan PLTU, akses nelayan terhadap pesisir pantai menjadi terbatas.

Andry katakan nelayan di NTT juga minim terhadap akses informasi publik misalnya bantuan-bantuan dari pemerintah yang semestinya dapat mereka jangkau melalui berbagai prosedur.

Dalam Undang-Undang No.45/2009 tentang Perikanan menyatakan bahwa tujuan pembangunan perikanan adalah meningkatkan kesejahteraan nelayan dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistemnya.

Pencapaian tujuan tersebut disokong tiga pilar utama, yakni sumber daya manusia, sumber daya alam/perikanan dan kelestarian. Hal ini harusnya menjadi dasar dari setiap pengambilan kebijakan.

Sementara itu, UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Pulau- Pulau Kecil dan UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya dan Petambak Garam  belum tuntas implementasinya.

“Kini kita mesti berhadapan dengan Omnibus Law yang menuai banyak protes dan aksi karena dianggap mengurangi otonomi dan substansi pengakuan atas hak dan keadilan bagi pelaku usaha kelautan perikanan skala kecil,” ujar Andry.

Sekjen KIARA Susan Herawati dalam diskusi tersebut mengungkapkan bahwa pada dasarnya pemerintah Indonesia berupaya mendorong adanya poros maritim dunia.

Namun pada kenyataannya pengambilan berbagai kebijakan pembangunan infrastruktur  maupun pelebaran destinasi wisata di Indonesia tersebut tidak melibatkan nelayan sebagai salah satu subjek penting dalam perumusan kebijakan.

“KIARA melihat adanya perampasan ruang secara perlahan, pembatasan akses (privatisasi) hingga penggerusan ruang hidup masyarakat pesisir,” ungkap Susan.

baca juga : Mengungkap Potensi Sumber daya Laut Indonesia dari Teropong Riset

 

Para perempuan buruh nelayan sedang menjual ikan hasil tangkapan di kapal purse seine atau lampara kepada pembeli di TPI Alok Maumere, kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Pemenuhan Hak Nelayan

Andry Ratumakin melanjutkan bahwa keadilan sosial harusnya sampai kepada nelayan, keadilan harusnya tidak hanya narasi tetapi dalam bentuk aktualisasi.

Andry mengatakan Perkumpulan PIKUL melalui program hak atas pangan telah menjembatani pelaku usaha kelautan dan perikanan untuk mengklaim identitas mereka.

“Perempuan pelaku kegiatan produksi dan pasca produksi adalah nelayan. Sejauh ini baru 20 persen nelayan yang diakomodir untuk mengklaim identitas mereka.Ini membuktikan bahwa pengakuan negara masih minim,” ucapnya.

Terkait pemenuhan hak, Plt. Dirjen Perikanan  Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Zaini menyampaikan bahwa pemerintah melalui KKP telah mengupayakan hak-hak atas nelayan maupun keluarganya termasuk hak atas pendidikan dan teknologi.

Zaini menyebutkan KKP telah mendirikan beberapa sekolah mulai dari SMK sampai perguruan tinggi yang difokuskan untuk 70% pelaku usaha kelautan dan perikanan baik itu nelayan, pembudidaya ikan, hingga petani garam.

KKP mengharapkan agar semua stakeholder dapat mensosialisasikan pentingnya beasiswa pendidikan dari pemerintah ini kepada putra-putri para pelaku usaha kelautan dan perikanan di seluruh Indonesia.

“Agar anak-anak pelaku usaha kelautan dan perikanan mempunyai akses yang setara dengan anak-anak lain di perkotaan serta dapat meningkatkan pendidikan mereka,” ungkapnya.

perlu dibaca : Banyak Sorotan dari Pemerhati, Menteri KKP Sukacita Sambut UU Cipta Kerja

 

Nelayan kecil di Kampung Nelayan Wuring, Kelurahan Wolomarang, Kota Maumere,Kabupaten Sikka,NTT sedang menjahit jaringnya yang rusak saat rehat melaut. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Mencegah Eksploitasi

Sementara Dr. Suhana, Dosen IPB dan peneliti isu kelautan dan perikanan mengharapkan agar kebijakan atau perundang-undangan harus memperhatikan pemenuhan gizi bagi masyarakat yang kerap masih menjadi permasalahan khususnya di daerah pesisir.

Suhana mengatakan, kebijakan juga harus mencegah eksploitasi atau budidaya ikan secara berlebihan agar kelestariannya tetap terjaga.

Ia harapkan, penyusunan UU Cipta Kerja jangan sampai melanggar amanah dari UUD 1945 khususnya pasal 33 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan” serta UUD 1945 pasal 27 ayat 2 bahwa “Setiap warga negara memiliki hak dan bebas untuk bekerja dan menghidupi dirinya serta keluarganya tanpa ada pelarangan dari pihak lain”.

Menurutnya, RUU Cipta Kerja perlu diapresiasi karena tetap memudahkan perijinan bagi nelayan kecil namun satu hal yang kurang konsisten adalah terkait surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin usaha perikanan (SIUP).

“Pengecualian hanya barlaku bagi SIPI tidak untuk SIUP. Perlu adanya konsistensi terhadap pemenuhan hak pelaku usaha kelautan dan perikanan karena kondisi perikanan tangkap perairan Indonesia meskipun terlihat mengalami peningkatan dalam produksi namun pertumbuhan produksi semakin menurun,” tuturnya.

Suhana katakan, jika setiap tahun produksi perikanan tangkap mengalami penurunan, keberadaan ikan di perairan Indonesia akan hilang sehingga perlu adanya upaya untuk mempertahan produksi agar stabil.

“Sebisa mungkin meminimalisir eksploitasi ikan agar tidak sampai melebihi penangkapan yang diperbolehkan,” sarannya.

Diskusi yang dimoderatori oleh Direktur Perkumpulan Pikul Torry Kuswardono menyimpulkan pentingnya usaha pemerintah dan berbagai lembaga mitra untuk memperjuangkan hak atas keadilan produksi dan keadilan ruang bagi pelaku usaha kelautan dan perikanan.

Sedangkan Kepala Bidang Pengelolaan Ruang Laut dan Budidaya Deselina M.W Kaleka mewakili Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT berharap pengembangan perikanan kedepannya dapat maju berkat kerja kolaborasi berbagai pihak.

 

Nelayan di Lamongan sedang menangkap ikan. Selain ikan tongkol, jaring ini juga digunakan untuk menangkap ikan kembung. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version