Mongabay.co.id

Sampah Plastik Ancam Ekosistem Laut Makassar

 

Sampah plastik telah menjadi salah satu ancaman bagi ekosistem laut di seluruh dunia, tak terkecuali Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Beberapa riset menunjukkan paparan plastik dalam bentuk mikroplastik telah ditemukan di spesimen air laut, sedimen dan bahkan di tubuh ikan dan kerang. Sebuah riset juga menunjukkan ditemukannya mikroplastik di tambak garam yang ada di Kabupaten Jeneponto, yang berjarak sekitar 90 km dari Kota Makassar.

“Hasil riset menunjukkan ditemukannya 28 per size mikroplastik pada saluran pencernaan individu ikan konsumsi di Kota Makassar, yang sampelnya dikumpulkan di tempat pelelangan ikan. Sebanyak 4 dari 10 ikan teri untuk keperluan konsumsi itu terdapat mikroplastik di dalamnya. Selain itu ditemukan mikroplastik di padang lamun yang ada di Pulau Kodingareng dan Bone Tambung Makassar,” ungkap Nirwan Dessibali, Direktur Yayasan Konservasi Laut Indonesia (YKLI), dalam diskusi daring bertema ‘Makassar Bebas Plastik Sekali Pakai’ yang dilaksanakan YKLI bersama Econusa, Rabu (28/10/2020).

Menurut Nirwan, untuk sampai di tubuh manusia, mikroplastik masuk rantai makanan mulai dari manusia membuang sampah ke alam, lalu ke lautan, yang ketika terurai menjadi mikroplastik. Mikroplastik kemudian dikonsumsi ikan kecil, ikan kecil dimakan ikan besar, ikan besar dikonsumsi manusia.

“Jadi pada akhirnya kembali ke manusia. Kita sendiri yang membuang sampah namun pada akhirnya kembali ke kita. Dampaknya bisa menimbulkan banyak penyakit, termasuk penyakit kanker,” katanya.

baca : Bersama-sama Mewujudkan Makassar Bebas Sampah Plastik

 

Pengerukan ke dasar laut di kawasan pantai Losari, Kota Makassar, pada September 2016, menggunakan eskavator ampibi mendapati volume sampah yang mengendap di dasar laut cukup besar yang diperkirakan sudah menahun. Foto: Wahyu Chandra

 

Secara umum, Nirwan menjelaskan sejumlah dampak sampah plastik di laut, seperti mengganggu biota laut sehingga menyebabkan banyak kematian.

“Kemarin miris juga ditemukan banyak biota raksasa yang sudah dilindungi dan hampir punah harus mati dan terdampar di pinggir laut yang di dalam perutnya penuh dengan sampah. Sampah juga merusak rantai makanan karena sifat plastik yang mirip makanan sehingga banyak biota yang tertipu seperti penyu. Makanya banyak kasus ditemukan sedotan plastik di dalam hidung penyu.”

Sampah plastik juga mengganggu jalur transportasi laut, di mana banyak ditemukan keberadaan sampah yang sangat padat di jalur kapal-kapal dan perahu nelayan. Dampak lainnya adalah matinya ekosistem terumbu karang dan lamun.

“Dari beberapa riset, termasuk yang kami lakukan, khusus untuk terumbu karang, sampah kresek plastik bisa membunuh terumbu karang hanya dalam empat hari. Jadi jika ada terumbu karang yang di atasnya ada kresek plastik maka paling cepat terumbu karang akan mati dalam 4 hari. Dampaknya kemudian pada berkurangnya ikan-ikan dan biota laut. Lalu nanti kita makan apa?”

Nirwan juga menjelaskan pentingnya upaya bersama mengurangi sampah plastik di Kota Makassar mengingat keterikatan Makassar dengan laut yang cukup besar, baik secara geografis, kultur dan gaya hidup. Apalagi Makassar termasuk kota dengan konsumsi ikan terbesar di Indonesia.

YKLI sendiri telah melakukan berbagai upaya sosialisasi dan aksi, termasuk terlibat dalam aksi bersih laut bekerja sama dengan lembaga lain. YKL melalui perahu Pinisi juga melakukan edukasi ke anak-anak sekolah di Kota Makassar, dengan target 96 SD dalam tahun 2020 ini. YKLI bersama Econusa juga menggelar aksi Beach Clean Up di Pantai Tanjung Bayang Makassar 25-27 Oktober 2020, sebagai bagian dari aksi bersama di 8 kota di Indonesia.

“Makassar memiliki potensi generasi muda yang cukup besar yang bisa digerakkan dalam upaya mengendalikan sampah plastik ini. Aksi harus dilakukan demi masa depan laut dan pesisir kita,” tambah Nirwan.

baca juga : Ecobrick, Solusi Atasi Sampah Plastik selama Pandemi COVID-19

 

Relawan memilah sampah dalam acara bersih pantai dan laut di pesisir Kota Makassar, Minggu (15/3/2020). Foto : Pandu Laut Nusantara/Yayasan Eco Nusa/YKL Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Muhammad Farid, Direktur Program Econusa, sampah plastik adalah isu krusial yang perlu dibicarakan karena telah menjadi ancaman kehidupan yang kadang tidak disadari.

“Tanpa sadar kita menggunakan plastik sehari-hari tetapi ancamannya luar biasa. Kita tak pernah menyadari itu akan mengganggu karena ada mikroplastik yang bisa masuk ke tubuh kita. Saya mengetahui orang Sulawesi sangat senang makan ikan. Ternyata mikroplastik ini bisa masuk ke dalam tubuh ikan dan kita makan. Jadi plastik ini harus kita kendalikan bersama-sama,” katanya.

Menurut Farid, selama ini tanpa disadari setiap hari kita menggunakan sampah plastik, tanpa memikirkan bahayanya bagi lingkungan, karena sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Ia berharap ada kesadaran setiap orang dan kemudian membuat gerakan bersama.

“Dengan mengendalikan plastik yang diproduksi di darat maka akan melindungi laut kita yang terkaya di dunia di mana 75 persen tutupan karang ada di Indonesia bagian timur. Bayangkan kalau sampah plastik tidak dikendalikan maka masa depan kita juga akan suram.”

Econusa sendiri sedang melakukan gerakan pengurangan sampah plastik ini di seluruh Indonesia, ada 11 wilayah simpul-simpul gerakan bebas plastik sekali pakai mulai dari Kalimantan Timur hingga Papua.

perlu dibaca : Sampah Plastik Bertebaran di Laut, Teknologi Pirolisis Terus Dikembangkan

 

Sampah plastik yang dikumpulkan dari pesisir kota Makassar pada acara aksi bersih pantai pada 
Agustus 2018. Total sampah yang dikumpulkan dari aksi bersih pantai dan laut sekitar 8,81 ton, didominasi oleh sampah plastik 5,6 ton, sampah pecahan kaca sebanyak 117 kg, sampah logam 90 kg, sampah styrofoam 263 kg, dan sampah lainnya sebanyak 1,9 ton. Foto: Sapril Akhmady/Yayasan Makassar Skalia

 

Peraturan Walikota

Perhatian terhadap bahaya sampah plastik, khususnya plastik sekali pakai telah menjadi perhatian Pemerintah Kota Makassar setahun terakhir, dengan diterbitkannya Peraturan Walikota (Perwali) Makassar No.70/2019 tentang Pengendalian Penggunaan Kantong Plastik pada 15 November 2019.

Menurut Andi Iskandar, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar, lahirnya Perwali ini tak terlepas dari kondisi yang ada di mana sampah plastik telah menjadi isu global dan dampaknya juga sudah dirasakan di Kota Makassar.

Iskandar bilang kehadiran Perwali ini adalah pedoman baik pemerintah kota, masyarakat dan pelaku usaha dalam rangka mengurangi peredaran kantong plastik sebagai sumber penghasil sampah plastik. Iskandar merujuk sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Hasanuddin pada 2016 lalu yang menunjukkan paparan mikroplastik pada ikan-ikan konsumsi di sekitar perairan Makassar.

“Dari situlah pernah kita dengar agar hati-hati memakan ikan yang kecil seperti ikan teri. Inilah yang kemudian menjadi landasan kami menerbitkan Perwali ini. Bukan pelarangan tetapi pengendalian. Setelah dikendalikan pelan-pelan dikurangi. Apalagi Indonesia penghasil sampah terbesar, bisa kita bayangkan kalau tidak dikendalikan mulai dari sekarang, mungkin anak cucu kita tidak akan mendapatkan ikan-ikan segar lagi,” katanya.

DLH Makassar sendiri telah melakukan sejumlah kegiatan terkait Perwali ini, termasuk sosialisasi di lingkup pemerintah kota Makassar, pusat perbelanjaan, toko-toko modern, pasar tradisional hingga ke transportasi online.

Secara umum, produksi sampah plastik di Makassar cukup besar, yaitu sekitar 12 persen dari total produksi sampah per hari yang berjumlah 900 ton. Jumlah ini diperoleh dari hasil hitungan volume sampah yang masuk ke TPA Tamangapa Antang. Jumlah ini diperkirakan semakin bertambah seiring peningkatan jumlah penduduk dan perekonomian daerah.

baca : Sampah Plastik, Laut Tercemar, dan Target SDGs

 

Ilustrasi. Sampah di sepanjang pantai Muncar, Banyuwangi, Jatim, pada akhir Juni 2019. Selain di pesisir, sampah juga ada di perairan laut Muncar yang mempengaruhi nelayan mendapatkan ikan. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Menurut Iskandar, sampah plastik di TPA ini kerap menimbulkan masalah, khususnya di musim kemarau.

“Salah satu masalah pada bulan kemarau di TPA itu adalah plastik yang mudah terbakar, karena di bawahnya kan sudah ada gas metan yang telah melalui pembusukan sampah-sampah organik. Tahun lalu hampir dua bulan kami kendalikan kebakaran di TPA. Plastik cepat terbakar meski tak ada sumber api namun karena paparan sinar matahari ditambah kehadiran gas metan di lokasi tersebut,” jelasnya.

Mencontoh di Jepang, Iskandar berharap pengelolaan sampah di Makassar bisa diatur sedemikian rupa melalui penjadwalan secara selang seling antara sampah plastik dan sampah organik.

“Melalui Perwali ini Kota Makassar akan menerapkan jadwal pembuangan sampah minimal selang seling, Senin organik dan Selasa anorganik, sehingga pada Senin itu organik itu bisa digunakan untuk pengomposan.”

Bentuk lain pengendalian sampah di Makassar melalui pengolahan sampah plastik menjadi barang-barang kreatif yang pelatihan dan penjualannya difasilitasi Pemkot melalui Bank Sampah.

 

Exit mobile version