- Sampah plastik merupakan persoalan serius yang dihadapai masyarakat Indonesia
- Plastik yang bertebaran di laut sebagian besar berasal dari daratan
- Plastik yang memenuhi laut berdampak pada kerusakan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun
- Pirolisis coba dilakukan untuk mengurai sampah plastik menjadi bahan bakar minyak jenis solar, bensin, dan minyak tanah
Tiga bocah menceburkan diri ke laut. Sekelilingnya tampak sampah berserakan, namun tak menghalangi keasyikan mereka basah-basahan. Pandangan lain, seorang ibu yang menghadap ke laut penuh sampah, terlihat menikmati suasana sore seraya menyuapi makan anaknya.
Aroma menyengat berbalut pemandangan kotor itu melekat di permukiman Kampung Baru Tiga, Kecamatan Panjang Utara, Kota Bandar Lampung, Lampung.
Ketua Lampung Sweaping Center [LSC] Orima Davey mengatakan, warga di sana sudah membaur dengan kondisi tersebut. “Bahkan, kalau pagi mereka ada yang mandi, buang air besar, hingga melempar apapun,” katanya, Minggu [19/5/2019].
LSC tengah melakukan pendekatan agar masyarakat tidak lagi membuang sampah ke laut. “Kami adalah komunitas yang bergerak menanamkan kesadaran masyarakat terhadap pelestarian lingkungan,” kata dia.
Baca: Keinginan Gunata, Bebaskan Pesisir Timur Sumsel dari Sampah Plastik
Kegiatan pertama LSC adalah membersihkan pantai dari kontaminasi sampah manusia. Namun, karena sudah menumpuk 20 tahun, LSC bersama relawan, TNI, LSM dan sebagian masyarakat hanya mengambil sampah bagian atas. “Jumlahnya 3 hingga 5 ton.”
Sementara di tepi laut akan direklamasi. Warga sudah membuang segala sampah biologis di sana seperti feses, bangkai, makanan, plastik, hingga jarum suntik. “Kedepannya kami akan minta bantuan pemerintah dan swasta terhadap akses pembuangan sampah dan sterilisasi permukiman sebelum direklamasi,” ujarnya lagi.
Sasaran kegiatan kelompok pemuda peduli lingkungan ini adalah pemberdayaan masyarakat. Tapi, cara ini membutuhkan dukungan besar pemerintah selaku pemegang kebijakan. “Sejauh ini hasilnya belum terlihat,” papar Orima.
Baca: Bukan Sulap, Dimas Bagus Ubah Sampah Plastik Menjadi Bahan Bakar Minyak
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktorat Pendayagunaan Pesisir mengungkap kebocoran sampah di laut berasal dari darat. Sebanyak 87 persen kota, kabupaten, dan pesisir, berkontribusi terhadap sampah laut yang 30 persen merupakan plastik.
“Sebanyak 1.29 juta matrik ton per tahun, meningkat 14 persen di tahun 2013 dan menjadi 16 persen di 2016,” kata Hendi Koeshandoko, dari Kementerian Kelautan dan Perikanan pada seminar pengendalian dan pengelolaan sampah plastik dengan teknologi ramah lingkungan di Universitas Lampung, April lalu.
Sampah plastik yang memenuhi laut berdampak pada kerusakan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun. Hendi menambahkan, sampah plastik juga sudah masuk ke rantai makanan manusia.
“Hasil penelitian LIPI pada 2017, kandungan serpihan plastik ditemukan pada ikan teri.”
Penelitian dilakukan di Makassar terhadap 76 ikan dari 11 spesies yang menjadi sampel. Ditemukan serpihan plastik ukuran 0.1 – 1.6 mm. Sedangkan penelitian di California, pada 64 ikan dari 12 spesies dan 12 kerang-kerangan, ditemukan 67 persen spesies yang menjadi sampel memakan fiber debris ukuran 0.3 – 5.9 mm.
Baca: Foto: Sampah Plastik di Lautan Indonesia
Teknologi
Ketika sampah plastik kian sulit dikendalikan, Fakultas MIPA Kimia Universitas Lampung berupaya mengembangkan sebuah teknologi pengurai sampah plastik.
Syaiful Bahri, inovator pirolisis mengatakan, dari cara ini sampah plastik bisa menghasilkan tiga komponen bahan bakar minyak. Yakni, jenis solar sebanyak 60 persen, bensin 25 persen, dan minyak tanah 15 persen.
“Semua jenis sampah plastik bisa diubah menjadi BBM dengan teknologi sederhana ini,” katanya lagi.
Awal 2019 diterapkan di salah satu kecamatan di Lampung Barat oleh mahasiswa KKN. “Kami sudah melakukan dengar pendapat dengan Badan Pelenggara Kuliah Kerja Nyata [BPKKN]. Akan terus kami terapkan sebagai upaya menanggulangi sampah plastik yang merajalela,” terangnya.
Teknologi pirolisis yang tengah diupayakan untuk dipatenkan ini, tersedia dengan kapasitas 10 kilogram dengan harga Rp25 juta.
Alat ini pun tengah dibidik tim pengelola dana desa di Pesawaran, Lampung. Jika tersebar di sejumlah desa dan kota, ada kemungkinan, masalah sampah plastik di tempat pembuangan akhir dan laut berangsur terurai.