Mongabay.co.id

IESR: Ekspor Bakal Meredup, Hilirisasi Batubara pun Berisiko

Tongkang batubara dibawa ke muara Sungai Samarinda untuk dibawa kembali ke PLTU atau ekspor ke negara luar. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Tren transisi energi global akan membawa konsekuensi terhadap konsumsi batubara. Bagi Indonesia, kondisi ini akan berdampak bagi serapan ekspor. Sedang strategi menyerap pasokan batubara lewat membangun industri hilir, berisiko secara keekonomian maupun lingkungan hidup. Pengembangan energi terbarukan jadi pilihan dari sisi keekonomian  maupun kebaikan iklim dan lingkungan hidup.

Saat ini, sekitar 80% produksi batubara di Indonesia ekspor terutama ke Tiongkok dan India. Sementara, kedua negara ini terus mengembangkan energi terbarukan dengan masif dan dan berencana mengurangi PLTU batubara.

Dua negara ini, juga punya cadangan batubara besar dan mulai meningkatkan produksi batubara sendiri.

“Artinya, ekspor ke depan akan terkendala. India dan China juga akan membatasi impor batubara,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam peluncuran laporan “Peta Jalan Transisi Energi di Indonesia,” beberapa waktu lalu.

Fabby bilang, meskipun Indonesia juga mengekspor batubara ke Asia Timur, seperti Korea, Vietnam dan Jepang, negara-negara ini juga akan mengurangi impor. Tambah lagi, ada persaingan penjualan batubara pasar internasional mulai masuk ke pasar-pasar yang tadinya didominasi Indonesia.

Studi IESR menunjukkan, ada implikasi transisi energi terhadap industri batubara, tidak hanya mempengaruhi sumber penerimaan nasional bukan pajak (PNBP) juga sumber pendapatan asli daerah (PAD) sebagai andalan daerah penghasil.

“Perlu strategi komprehensif menghadapi fenomena ini hingga industri bisa siap. Ini bukan hanya isu energi juga ekonomi,” katanya.

 

Pangkalan nelayan Suralaya. Nelayan terdampak dengan ada PLTU batubara. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Deon Arinaldo, peneliti IESR, mengatakan, karakteristik batubara Indonesia termasuk kualitas rendah dan sedang. Jenis ini biasa untuk PLTU, pabrik semen, kertas, metal dan tekstil.

Studi IESR menyusun, tiga skenario proyeksi batubara hingga 30 tahun ke depan. Dari semua skenario, kata Deon, menunjukkan ada penurunan permintaan batubara Indonesia.

Skenario pertama, hanya berdasarkan kebijakan energi global hingga pertengahan 2018. Kedua, dari beberapa kebijakan ditambah perkembangan teknologi. Ketiga, skenario pembangunan berkelanjutan berdasarkan peningkatan pencapaian target dalam Kesepakatan Paris.

Hasilnya, skenario pembangunan berkelanjutan, pada 2050, potensi penurunan permintaan batubara mencapai 86% dari permintaan tahun 2018.

“Ada selisih jauh antara bussines as usual dan pembangunan berkelanjutan. Kondisi resesi akibat pandemi telah mengakselerasi penurunan permintaan batubara itu.”

Melihat kebijakan negara tujuan ekspor, katanya, misal Tiongkok, yang mengurangi penggunaan batubara karena polusi udara.

Pemerintah Tiongkok yang awalnya berencana meningkatkan efisiensi PLTU, belakangan saat harga batubara terus turun membuat kebijakan melindungi industri batubara domestik, hingga harga bisa ditahan.

Belum lagi, katanya, beberapa minggu lalu Presiden Tiongkok menyatakan menuju net zero emission pada 2050.

India juga akan mengutamakan produksi domestik untuk PLTU mereka. Jepang, meski tetap impor batubara namun kebijakan kini mendorong batubara kualitas tinggi. Korea Selatan juga menerapkan pajak batubara impor yang menggeser keekonomian batubara di bawah energi terbarukan dan gas.

 

PLTU batubara memberikan dampak-menurunnya kualitas kesehatan masyarakat antara lain karena debu mengandung logam berat dan zat beracun. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

Hilirasi batubara berisiko

IESR menilai, kebijakan energi seperti hilirisasi dan pengembangan PLTU akan berisiko. “Hingga perlu ditinjau ulang terkait penerapan kebijakan itu terutama untuk mendukung pembangunan jangka panjang lebih berkelanjutan, ” kata Deon.

Mengapa berisiko? Dari sisi keekonomian, katanya, penggunaan gasifikasi batubara untuk pembangkit listrik dengan harga U$18-20 sen per kwh, lebih mahal dari harga PLTU batubara, US$7 sen per kwh. PLTG jauh lebih murah dari PLTU gasifikasi.

Ada selisih hingga US$12 sen dari proses gasifikasi.

Dari sisi komitmen Kesepakatan Paris, katanya, clean coal technology tak akan mendukung pencapaian target penurunan emisi dan bukan opsi yang ramah lingkungan.

Penggunaan ultra super critical pun, hanya menurunkan emisi 20-30% di pembangkit, sementara dari hulu hilir, pembukaan lahan, pengerukan hingga pengangkutan tetap ada emisi keluar.

Kalau emisi siklus industri batubara tak ditekan, jadi sekitar 400 juta ton CO2 per megawatt hour, tetap masih setara dengan pembangkit gas.

PLTG, katanya, jauh lebih bersih dibanding PLTU batubara dengan teknologi paling canggih sekalipun.

Belum lagi, tahun lalu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan aturan baru untuk baku mutu emisi PLTU yang mewajibkan memasang alat pengendali emisi. Akhirnya, kata Deon, akan berdampak pada biaya pokok penyediaan (BPP) sekitar Rp104 per kwh. Jadi, subsidi listrik juga akan naik jadi Rp10,7 triliun per tahun. “Sangat mahal biaya investasinya, bisa meningkat 2-3 kali lipat.”

Melihat pengalaman negara lain, kata Deon, hilirisasi industri batubara tanpa persiapan matang akan menimbulkan kerugian besar. Dia mencontohkan, Inggris yang membangun industri PLTU pertama pada 1950 dan produksi hingga 300 juta ton yang sebagian ekspor.

Tahun 1960, saat mulai kalah ekspor, Inggris intervensi kebijakan transisi yang akan berdampak pada produksi batubara. Bantuan untuk pekerja tambang dan pemulihan daerah sekitar tambang masih berlangsung hingga kini. Sampai kini, untuk menciptakan lapangan kerja masih belum selesai.

Untuk itu, katanya, dampak ganda pada sektor lain khusus daerah penghasil batubara harus diantisipasi sejak kini, misal di Kalimantan Timur.

“Ada urgensi menetapkan posisi dalam transisi batubara atau setidaknya menghentikan pembangunan infrastruktur batubara untuk menghindarkan risiko aset tak terpakai di kemudian hari.”

Sujatmiko, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengatakan, Indonesia punya 149 miliar ton batubara dan 38 miliar ton cadangan aset, yang dalam perencanaan harus menghasilkan pendapatan.

Strategi pemerintah, katanya, akan konversi batubara hingga bisa berkontribusi terhadap konsumsi global dengan batubara lebih bersih.

“Kita mencoba mendorong hilirisasi batubara,” katanya.

Ada tujuh peluang hilirisasi batubara disiapkan KESDM yakni gasifikasi, pembuatan kokas, underground coal gasification (gasifikasi batubara bawah tanah), batubara cair, peningkatan mutu batubara, pembuatan briket dan coal slurry.

Saat ini, katanya, Indonesia masih mengimpor kokas untuk kebutuhan smelter mineral.

 

Aktivitas pencarian jenazah almarhum Alif di lubang bekas tambang batubara pada 2018. Foto dok Jatam Kaltim

 

Bagi KESDM, katanya, ini masa depan batubara kalau ekspor makin lama makin turun. Dengan kebijakan hilirisasi, pemerintah juga memberikan insentif fiskal dan non fiskal.

Salah satunya, kebijakan memberikan perpanjangan izin sesuai cadangan selama pemegang izin mau membangun industri hilirisasi batubara.

Sujatmiko membenarkan, kalau hilirisasi batubara masih tergolong mahal, hingga perlu kebijakan insentif agar bisa masuk pasar.

“Nilai tambah (hilirisasi) akan membuka lapangan kerja dan memberi manfaat untuk pengunaan energi setempat,” katanya.

Selain itu, pemerintah juga memberikan kelonggaran pembayaran royalti hingga 0% bagi industri batubara yang juga membangun industri nilai tambah. Kebijakan ini, katanya, banyak tuai protes berbagai pihak.

Deon menilai, mengubah batubara jadi gas bukan teknologi baru.

“Butuh investasi untuk gasifier-nya lagi. Feed stock sendiri juga berisiko,” katanya.

Dari sisi lingkungan, aspek keberlanjutan PLTU tetap harus pakai carbon capture storage (CCS) yang akhirnya menambah investasi dari produk gasifikasi itu sendiri.

Dari sisi polusi, gasifikasi lebih rendah elemen kimianya. Namun, kayanya, dibandingkan gas alam saja, emisi dan polusi lebih gas batubara lebih besar.

“Belum produk akhirnya, kalau gasifikasi diperluas apakah demand dari industri bisa menyerap?”

Tambahan lagi, kata Deon, untuk pengembalian investasi perlu kajian lebih jauh terutama terkait risiko jangka panjang.

“Kita bisa lihat ke China lagi, gasifikasi nomor satu di dunia. Penelitiannya sejak 1995 namun capaian baru 5% setelah 20 tahun support.”

Dengan berbagai kondisi ini, transisi ke energi terbarukan jadi makin penting. Fabby bilang, dua hal utama penting mendorong transisi energi adalah keekonomian energi terbarukan yang makin murah jadi bisa bersaing batubara. Tentu saja, katanya, komitmen Indonesia dalam Kesepakatan Paris.

 

 

Keterangan foto utama:  Tongkang batubara dibawa ke Muara Sungai Samarinda untuk masuk pasar, antara lain ke perusahaan PLTU maupun ekspor dan lain-lain. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version