Mongabay.co.id

Kala Lumbung Pangan Muaro Jambi Terancam Batubara

 

 

 

 

 

Cik Aminah, was-was. Tanggul besar yang dibangun perusahaan tak jauh dari sawahnya itu untuk stockpile batubara. Dia takut tak bisa panen tahun ini.

Kemarau panjang melanda Jambi pada 2019, membuat petani di Desa Kunangan, Kecamatan Taman Rajo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, gagal panen. Tanah kering, banyak debu batubara berterbangan ke sawah.

Aminah punya sawah 13 tumbuk—ukuran di Jambi, untuk luas 100 meter. Kalau hasil panen bagus, cadangan gabah cukup untuk makan keluarga setahun.

“Memang debunyo tu dak nampak, tapi kalau kito jalan, celano ne hitam-hitam keno debu batubara tadi,” kata Aminah.

Perusahaan ini bernama PT Prima Didi Nusantara, milik keluarga Djumarlie, yang bergerak dalam bidang usaha stockpile batubara, di Desa Talang Duku, persis berbatasan dengan sawah warga Kunangan. Usaha itu, tutup pada 2015 setelah setahun operasi.

Belakangan, Djumarlie atau orang biasa mengenal sebagai Akui membeli tanah enam hektar di pinggir Sungai Batanghari, beberapa puluh meter dari stockpile yang tutup. Warga mulai khawatir Akui kembali membangun usaha stockpile batubara.

Persis di samping pintu air irigasi, dia mengeruk tanah sedalam tiga meteran dan sekeliling dibuat tanggul. Aminah bilang, sawah kering karena semua air mengalir ke kolam raksasa yang dibuat Akui.

Aminah tak sendiri, banyak petani Kunangan takut sawah terancam. Kekhawatiran itu kontan menyulut aksi protes. Lebih 100 petani di Kunangan berkumpul, mereka menolak pembangunan stockpile batubara.

“Kalau untuk batu atau pasir dak papo. Tapi kalau untuk stockpile batubara, kami ndak setuju,” kata Aminah.

Ahmad Rifai, orang kepercayaan Djumarlie memastikan tak ada rencana membangun stokpile batubara, tetapi dermaga.

 

Kolam besar yang dibuat pengusaha Djumarlie untuk dibangun dermaga. Petani di Kunangan mengeluh sawah mereka kering lantaran air mengalir di kolam yang dalamnya tiga meteran. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

“Kalau dikaitkan dengan izin stockpile batubara itu keliru. Ini untuk ngurus izin aja masih panjang. Amdal [analisis mengenai dampak lingkungan] aja belum, baru izin timbun,” katanya.

Bujang panggilan akrab Rifai, juga menyinggung soal pintu air irigasi di tanah Djumarlie. Dia bilang, siap membangun pintu air di lokasi yang baru. Sebab, kemungkinan pintu air lama akan ditimbun untuk dermaga.

“Nanti, pemerintah desa yang dinentuin. Ini kan untuk kepentingan petani jadi harus sepengetahuan pemerintah Desa Talang Duku dan Kunangan.”

Aksi protes petani memaksa Firmansyah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Muaro Jambi, turun ke lokasi pembangunan dermaga. Dia mengaku telah menghentikan proses pembangunan terminal untuk kepentingan perusahaan.

“Saya hentikan, karena mereka tak memiliki izin permohonan apapun, jangan mentang-mentang itu lahan mereka sendiri, dia lakukan kegiatan-kegiatan yang sama dengan mengangkangi pemerintah daerah,” katanya, lewat sambungan telepon.

Firman bilang, kolam raksasa akan ditimbun pasir untuk menghindari penurunan tanah saat dibangun dermaga. Namun, katanya, pengelolaan lingkungan tetap harus jelas. “Ketika mereka melakukan kegiatan tanpa ada dokumen berarti ilegal. Kita bisa ambil tindakan.”

Bujang menunjukkan beberapa surat, ada berita acara izin mendirikan dermaga yang disetujui warga dan Kepala Desa Talang Duku. Juga, surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (SPPL) dari Dinas Lingkungan Hidup No:660.04/138 yang ditandatangani Firmansyah.

Djumarlie juga berkirim surat pada Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jambi perihal rencana penimbunan tanah dan pasir untuk bangun pelabuhan.

 

Sawah di Talang Duku sudah dibeli PT Pelindo. Foto: Yitno Soprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Lumbung pangan terancam

Sawah di Desa Kunangan, merupakan lumbung pangan di Kecamatan Taman Rajo. Kecamatan ini punya potensi 345 ton gabah kering atau sekitar 224 ton beras setahun.

Havis, Kepala Dinas Pertanian Muaro Jambi mengatakan, ada enam kecamatan di Muaro Jambi jadi lumbung pangan, yaitu, Sekernan, Jaluko, Maro Sebo, Taman Rajo, Kumpeh, dan Kumpeh Ilir. “Yang lain, ada Bahar, Mestong dan Sungai Gelam untuk holtikultura.”

Data Dinas Pertanian Jambi, Muaro Jambi memiliki luas sawah 6.141 hektar. Jumlah itu belum cukup mencapai swasembada beras. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi gabah, nyatanya, justru banyak sawah terancam tak bisa digarap dan beralih fungsi. “Kita ada upaya mengejar (swasembada) itu,” katanya.

Havis khawatir, pembangunan dermaga di Desa Kunangan, akan mengganggu saluran irigasi dan pintu air yang dibangun Dinas Pekerjaan Umum Muaro Jambi dan Dinas Pertanian Mauro Jambi.

Beberapa sawah yang dilewati jalur irigasi ternyata dikuasai pengusaha dan akan dibangun jalan.

“Jadi, kalau drainase ditutup, sawah akan kebanjiran saat drainase meluap.  Kalau (drainase) kering ya kekeringan. Mubazir yang kita bangun selama ini,” katanya.

 

 

Kawasan industri

Kurang dari sebulan, Yazid dan Aminah, akan panen. Padi ampara yang ditanam lima bulan lalu itu sebagian mulai menguning. Kalau padi bagus mereka bisa 1,6 ton gabah sekali panen. Ancaman banjir selalu datang jelang akhir tahun.

Nasib-nasiban, ini dak lamo lagi ini musim banjir. Kalau rezeki yo masih biso panen,” kata Aminah.

Sejak tepi Sungai Batanghari, banyak tertimbun untuk usaha stockpile batubara dan batu split, sawah di Kunangan, kerap terendam banjir saat musim hujan.

Yazid cerita, sebelumnya dekat sawah ada sungai kecil terhubung dengan Sungai Batanghari. Sungai itu jadi pintu masuk-keluar air dari Sungai Batanghari ke sawah warga. Sekarang, katanya, setelah pengusaha membangun jalan menuju lokasi penumpukan batu koral, sungai tak berfungsi lagi.

“Kalau hujan lebat yang baru nanam biso tenggelam sampai 4-5 hari, karno air gak biso keluar. Pintu air hanya dua, satu yang mau dibangun dermaga—tanah Djumarlie—itu, satu dekat PDAM tapi jauh,” katanya. Padi yang tenggelam terserang hama keong dan banyak mati.

Kondisi berubah drastis saat musim kemarau. Banyak sawah kekeringan, bahkan terbakar. “Kalau musim kemarau debu (batubara) berterbangan, sawah gampang terbakar.”

“Kemarin di sano terbakar, batubara menumpuk di tanah,” kata Yazid. Dia menunjuk ke sawah dekat lokasi stockpile batubara.

Tahun 2019, banyak petani gagal panen karena sawah kering. Debu batu bara juga ikut mempengaruhi hasil panen. “Semenjak ado batu bara air kering. Kalau belum ado batu bara sini tu dulu lumpur, nak nunggit—nungging—bae dak biso, jadi nanam pakai kaki,” kata Aminah.

“Di sini itu soal air jadi masalah. Sini (pintu air) sudah buntu, sano jugo,” sambung Yazid.

 

Temon, petani di Desa Talang Duku. Foto:  Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Sawah di Kunangan dikepung lokasi usaha penumpukan batubara dan batu split. Berdasarkan rancangan tata ruang wilayah Kabupaten Muaro Jambi, ada tujuh desa masuk dalam kawasan industri di sepanjang Sungai Batanghari, mulai Desa Kumpeh, Kemingking dalam, Talang Duku, Niaso, Muara Jambi, Teluk Jambu dan Desa Kunangan.

Setidaknya, ada 12 titik usaha penumpukan batubara milik 16 perusahaan yang beroperasi di kawasan industri. Beberapa stockpile di Desa Talang Duku bersebelahan dengan sawah Desa Kunangan dan satu aliran dengan sumber air PDAM. Ada juga pabrik sawit, dan pabrik pemecah batu.

Sebelumnya, Sekretaris Daerah Muaro Jambi, Fadhil Arief—kini diganti Jangning—pernah mengusulkan peninjauan kembali lokasi kawasan industri karena dianggap banyak bertentangan dengan fungsi lain. Setelah Fadhil mundur untuk maju di pilkada Batanghari 2020, usulan itu mandek dan belum ada keputusan sampai sekarang.

Nurbaya Zulhakim, Direktur Yayasan Setara, mengatakan, kawasan indsutri di Muaro Jambi jadi ancaman serius bagi sawah petani di Desa Kunangan. Dia mendorong pemerintah segera merevisi RTRW untuk menyelamatkan lumbung pangan warga.

“Tantangan petani Kunangan itu ya, kawasan industri,” katanya.

 

 

Alih fungsi lahan

Awalnya, Desa Kunangan memiliki luas sawah 120 hektar. Dalam 5-8 tahun belakang banyak sawah dijual dan beralih fungsi jadi lokasi usaha penumpukan batubara dan batu split. Bahkan, dua bidang tanah yang mendapatkan sertifikat redistribusi terancam beralih fungsi karena dikuasai pengusaha.

Sekitar 2013, Yanto menjual delapan tumbuk sawah pada pengusaha. “Tanam sekali gagal, tanam lagi gagal lagi sampai tigo kali gagal terus, jadi kito mikirnyo dak cocok jadi petani makonyo dijual bae.”

Dia tergiur, karena pengusaha berani membeli dua kali lebih mahal dari harga pasaran. Hasil jual sawah mereka belikan tanah di kampung untuk bangun rumah dan kebun sayuran.

Keluarga Temon di Desa Talang Duku juga menjual sawah ke PT Pelabuhan Indonesia II Cabang Jambi pada 90-an. Mereka diminta menjual untuk mendukung program pemerintah.

“Jadi yang punya sawah dikumpuli, diminta jual karena di sini jadi daerah industri, setumbuk Rp10.000,” katanya.

Sekarang, Temon masih bisa menggarap bekas sawah orangtuanya dengan perjanjian saat pelabuhan berniat membangun harus berhenti menggarap.

Alih fungsi lahan tak hanya terjadi di Desa Kunangan dan Talang Duku. Akhmad Maushul, Kepala Dinas Tanaman Pangan Holtikultura dan Peternakan Jambi menyebut, 17.000 hektar sawah di Jambi beralih fungsi. Sepanjang lima tahun terakhir, sawah-sawah berubah jadi perkebunan sawit, pertambangan emas ilegal dan sarang walet

Pada 2016, luas sawah di Jambi mencapai 96.589 hektar, pada 2020 menyusut drastis tinggal 79.396 hektar. Artinya, ada 9-10 hektar sawah di Jambi berubah fungsi setiap hari.

 

Sawah warga Desa Kunangan yang dibeli pengusaha untuk parit besar dan tanggul untuk dibangun dermaga. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Alih fungsi lahan tertinggi terjadi di Muaro Jambi, 4.476 hektar lebih sawah hilang selama lima tahun terahir. Disusul Kabupaten Kerinci 4.453 hektar, Kabupaten Merangin 2.542 hektar, Tebo 2.258 hektar, dan Tanjung Jabung Timur 2.180 hektar.

Nuril Hastuti, Kepala Bidang Prasarana, Sarana dan Penyuluhan (PSP) Dinas Tanaman Pangan Holtikultura dan Peternakan Jambi menyebut, sawah di Sarolangun dan Merangin, banyak dikeruk untuk tambang emas ilegal.

“Seperti di Pangkalan Jambu, itu banyak yang jadi lokasi tambang ilegal, sekarang coba dipulihkan jadi sawah lagi. Kalau di Bungo itu karena jadi tambang batubara.”

Peraturan Daerah (Perda) tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang dibentuk pemerintah kabupaten belum sanggup melindungi lahan pertanian dari alih fungsi lahan.

Saat ini, baru Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, Batanghari dan Bungo, yang memiliki Perda LP2B.

Sementara, Kabupaten Kerinci, Kota Sungai Penuh, dan Tebo yang jadi lumbung pangan di Jambi, masih proses. Masih ada empat kabupaten dan kota yang belum memiliki Perda LP2B.

Kondisi ini, katanya, mendorong alih fungsi lahan sawah akan terus terjadi.

Baya meyakini, luas penyusutan sawah di Jambi lebih besar dari catatan pemerintah. “Seperti di Batanghari itu jumlahnya (sawah) hanya sekitar 7.000-an hektar gak sampai 8.000 hektar. Banyak (sawah) yang jadi kebun sawit,” katanya. Kasus sama terjadi di Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur.

Sejak dua tahun terakhir, di Jambi tidak ada program cetak sawah baru. Untuk meningkatkan hasil panen pemerintah mendorong intensitas penanaman padi ditingkatkan jadi dua kali setahun.

 

Sawah mandiri

Mulai 1986, warga Desa Pasar Terusan, Batanghari, mencetak sawah swadaya. Sekarang, luas mencapai 500 hektar. Hampir semua warga Pasar Terusan, bertani. “Di sana, itu ada budaya malu beli beras,” katanya.

Pada 2013, pemerintah desa mengeluarkan peraturan desa (perdes) tentang larangan alih fungsi lahan sawah. “Kalau ada yang nanam sawit, kami bunuh sawitnya,” kata Atiq, Ketua Kelompok Tani Desa Pasar Terusan.

Perdes larangan alih fungsi lahan itu muncul saat dia menjabat Kepala Desa Pasar Terusan. Atiq berpikir, dengan bertani masyarakat mampu menjaga ketahanan pangan saat krisis. “Mau resesi, krisis kito tetap biso makan. Bahasonyo, ado padi serba menjadi, ado ternak serba enak.”

Dia mendorong, masyarakat tidak malu jadi petani. “Di sini kayo, miskin bersawah semuo, malu kalau gak beumo (bersawah).” Warga, katanya, bangga bila bisa keluarkan zakat hasil panen berupa gabah.

Mantan Kades Pasar Terusan itu memiliki sawah 60 tumbuk, sekali panen bisa tiga ton lebih gabah kering. Hasil itu cukup buat makan hingga tiga tahun. “Padi untuk mengatasi krisis,” kata pria yang pernah menerima penghargaan Adikarya Pangan Nusantara dari Presiden Jokowi 2016 itu.

Warga Pasar Terusan menanam banyak jenis padi, mulai padi gadis Jambi, ampara, karya rendah, kuning betung, PB. Masa panen rata-rata 5-6 bulan. Jenis padi ampara bisa panen sebulan lebih cepat. Kata Atiq sebenarnya, warga bisa tanam dua kali setahun, namun Desa Pasar Terusan, rawan banjir. Kondisi ini, katanya, menyebabkan petani hanya bisa menanam sekali setahun.

Beberapa tahun terakhir, Setara membantu menfasilitasi meningkatkan produksi gabah dan penjualan hasil panen dengan memberi pelatihan UMKM. Produksi beras dengan merek Beras Pinang Stingkil mulai dipasarkan di Batanghari dan Kota Jambi. “Ini akan membantu warga saat harga karet turun,” kata Baya.

 

 

Keterangan foto utama: Aktivitas bongkar muat batu bara di pinggir Sungai Batanghari di kawasan industri Muaro Jambi. Foto: Yitno Supapto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version